Konten dari Pengguna

Partai Politik: Antara Sovreign Power atau Diciplinary Power dalam Negri

Fathin Fadhilla
Saya seorang mahasiswa Prodi S1 Ilmu Politik di Universitas Andalas Sumatera Barat. saya menyukai politik dan budaya terutama jika mengkaji relasi antara kekuasaan trasional berbasis tradisi dengan kekuasaan modern yang membentuk pemerintahan resmi
24 April 2024 18:47 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathin Fadhilla tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar : Bing AI image . Ilustrasi para politisi dari berbagai partai dalam mempertahankan kekuasaan dan kekuatan politiknya
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar : Bing AI image . Ilustrasi para politisi dari berbagai partai dalam mempertahankan kekuasaan dan kekuatan politiknya
ADVERTISEMENT
Pemilu 2024 merupakan saat paling menentukan bagi nasib Indonesia untuk periode lima (5) berikutnya. Berbicara tentang nasib tentu tidak terlepas dari yang namanya pemegang kekuasaan di Indonesia kita tercinta ini, bahwa sebagai negara demokrasi, tidak mudah mencapai kursi kekuasaan dinegara kita, mungkin mudah bagi sebagian orang tentunya, dengan syarat anda harus memiliki beberapa keunggulan yang belum tentu dimiliki setiap calon kandidat dalam kontestasi. Kembali ke topik, menjelang pemilu terutama pilpres 2024 bukan hanya kita sebagai rakyat Indonesia yang bersemangat menyelenggarakan pesta demokrasi tersebut, tentu sebuah kontestasi tidak akan lengkap tanpa adanya peserta bukan? Seperti yang sudah sama-sam kita ketahui, setiap calon yang akan mencalonkan diri baik sebagai presiden maupun wakil presiden pastilah selalu berasal dari partai politik, selain itu biasanya menjelang pemilu nyaris semua partai berlomba-lomba membentu koalisi untuk mengusung capres dan cawapres yang akan mereka usung pada Pilpres nantinya, pertanyaannya mengapa demikian, apakah ada larangan untuk capres yang bukan berasal dari partai politik, karena rata-rata seluruh paslon tidak ada yang independen bahkan beberapa diantaranya merupakan ketua umum dari partai-partai besar di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pilpres di Indonesia merupakan sebuah ajang kontestasi dengan syarat tertentu, pertanyaannya bukankah sebagai negara demokrasi Indonesia membebaskan setiap orang selama beliau warga negara Indonesia berhak untuk memilih dan dipilih, lalu kenapa kandidat calon presiden harus mengikuti syarat tertentu? Baik dalam batasan usia minimal, strata Pendidikan hingga larangan paslon yang melaju dalam pilpres adalah suami istri, merupakan beberapa syarata yang harus dipenuhi seseorang jika ingin menjadi capres maupun cawapres, tetapi berkaitan dengan hal tersebut ada satu syarat penting yang harus dipenuhi seorang tokoh jauh sebelum berencana menjadi seorang presiden, syarat tersebut tertuang dalam pasal 6A ayat (2) yang berbunyi “ sertiap calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, pasal tersebut dengan tegas menyatakan bahwa syarat utama untuk menjadi capres maupun cawapres pada pemilu ialah harus berasal dari partai politik, jadi tentu dapat kita simpulkan bahwa sangat tidak memungkinkan seorang capres maupun cawapres berasal dari kalangan independen. Berdasarkan hal tersebut mungkin sudah sedikit memberi penjelasan mengapa menjelang pemilu saat ini setiap partai politik seakan berlomba-lomba membentuk koalisi, ibaratkan mengumpulkan kekuatan sebelum perang.
ADVERTISEMENT
Selain dengan berkoalisi dalam pilpres, ada banyak cara lain yang digunakan partai politik untuk meraih kekuasaan dipemerintahan. Melalui fenomena-fenomena politik yang banyak terjadi sekarang, jelang pemilu 2024 partai politik berlomba-lomba meningkatkan elektabilitasnya melalui pengusungan calon kandidat yang memang sudah memiliki tingkat popularitas tinggi dimasyarakat, contohnya saja seperti artis, tokoh-tokoh berpengaruh baik diperiode kekuasaan sebelumnya, ataupun anak dan keturunan tokoh-tokoh politik yang sedang ataupun pernah berkuasa. Berkaitan dengan hal tersebut tentu apakah tingkat popularitas dapat menunjang tingkat elektabilitas calon dalam pemilu terlepas dari apakah partai tersebut menguasai parlemen? Mungkin sudah tidak asing ditelinga anda bahwa hampir sama dengan pemilu-pemilu sebelumnya pemilu 2024 mendatang juga turut dimeriahkan dengan keikutsertaan para tokoh “public figure” yang ikut mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah maupun anggota DPR dari berbagai daerah pemilihan yang tersebar diseluruh Indonesia, terutama di pulau Jawa. Lebih lanjut sebagai sarana rekrutmen politik tidak lupa partai politik juga menggaek tokoh terkemuka untuk bergabung dan sama-sama berjuang demi kemenangan dalam pemilu.
ADVERTISEMENT
Dari panggung hiburan hingga senayan, bagaimana pendapat anda?
Kaum artis memang berbondong-bondong “goes to senayan” tapi yang menjadi pertanyaannya ialah apakah hal tersebut akan berdampak baik bagi proses perpolitikan di Inodonesia atau malah akan semakin memperbesar peluang terjadi kekuasaan dibalik layar para tokoh terkemuka di partai, apakah kedepannya Indonesia hanya akan dikuasai oleh pihak yang tidak mampu mandiri dalam menjalankan kekuasaannya? Perlu ditekankan bahwa dalam menjawab pertanyaan ini, saya tidak berrmaksud menyudutkan pihak manapun. Popularitas memang mampu membantu seorang calon menggaet banyak pendukung dan juga dapat mendongkrak jumlah suara yang didapatkan oleh seorang calon dalam pemilu, suara pemilih tersebut akan didominasi oleh kalangan penggemar calon tersebut, sebagai bentuk keuntungan nyata yang didapatkan jika partai politik mungusung calon yang berasal dari kalangan artis atau “public figure”, tetapi terlepas dari itu semua sebagai masyarakat yang dalam hal ini bertindak sebagai pemilih, perlu saya tegaskan bahwa tidak semua yang populer didunia hiburan memiliki integritas serta kredibilitas sebagai pemegang kekuasaan, saya tidak berpandangan bahwa artis tidak memiliki kompetensi sama sekali, memang benar popularitas itu faktor penting dan memberikan keuntungan dalam perolehan suara dan modal meraih kekuasaan, tetapi apakah popularitas mampu membuat sang tokoh bertahan dan menyelesaikan konflik maupun memecahkan masalah yang nantinya akan muncul dikemudian hari, politik itu bukan hanya sekedar apa yang dilihat mata saja, saya pernah menonton disalah satu media masa, ketika seorang artis ditanya visi misinya beliau menjawab tidak tahu, bahkan membedakan visi dan misi saja kurang bisa, dalam memberikan janji saja sudah tidak jelas, dan kurang mampu menjawab apa itu politik dan bagaimana kondisi politik masa sekarang dengan alasan ketidaktahuan beliau tersebut dikarenakan beliau belum mencoba masuk kedunia politik itu sendiri, jika diibaratkan kondisi ini sama dengan kita mau berperang tetapi tidak punya strategi mempuni maupun senjata walaupun hanya berupa janji. Terlepas dari semua itu juga tidak dapat ditolak fakta bahwa ada beberapa orang tokoh yang berasal dari kalangan artis yang telah sukses menjajal dunia politik bahkan masih menjabat hingga sekarang.
ADVERTISEMENT
Rekrukmen Parpol kurang independensi calon?
Pemilu yang kita tahu sangat identik dengan yang namanya partai politik, hal tersebut dapat kita lihat dari minimnya jumlah kandidat calon indenpendent, jika pilpres memang mewajibkan capres maupun cawapres diusulkan oleh partai politik, tapi tidak demikian halnya dengan pilkada setiap, adanya calon independent masih dimungkinkan dalam pelaksanaan pilkada. Sebagai negara yang demokratis proses pencalonan melalui partai politik pastilah memiliki dampak tersendiri dalam dunia politik Indonesia. Dimulai dari pro kontra yang ada berkaitan dengan calon pilpres harus diusung partai, dilansir dari laman mkri.id, proses pencalonan semacam ini diangap telah membatasi hak asasi rakyat Indonesia baik dalam memilih ataupun dipilih, semuaanya ditentukan oleh partai, hal tersebut tentu menjadi ironi tersendiri mengingat sebagai negara demokrasi undang-undang menjamin kebebasan hak dipilih maupun memilih bagi seluruh rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Teori kekuasaan politik Michel Faucault menyatakan bahwa kekuasaan itu terbagi dua yang pertama itu sovereign power (bentuk kekuasaan yang berbasis pada legalitas secara hukum dan secara sah dimiliki oleh seorang individu dalam struktur maupun relasi kekuasaan) dan yang kedua ialah diciplanary power (kekuasaan yang bukan berbabis pada otoritas resmi, melainkan lebih ke bentuk pengendalian serta pengawasan tubuh melalui relasi sosial), dalam teori tersebut dengan jelas menyatakan bahwa kekuasaan di era modern mulai bergeser dari sovereign power menjadi disiplinary power. Jika dihubungkan dengan kondisi partai politik Indonesia sekarang, sejalan dengan teori kekuasaan yang disampaikan Faucault, pergeseran tersebut semakin jelas telihat ketika zaman sekarang baik otoritas maupun kekuasaan yang sebenarnya sekarang berada ditangan ketua partai politik yang sekarang menguasai parlemen, mengapa demikian, karena selama kekuasan itu didapatkan dengan syarat harus melalui rekrukmen partai politik maka secara tidak langsung sebagai anggota partai maka selama periode kekuasaannya sang tokoh harus selalu patuh dan tunduk dengan segala keputusan ketua parpolnya, secara sederhananya ketika seorang tokoh sekaligus anggota partai menduduki kursi kekuasaan, maka selama beliau berkuasa, jasa partai yang membantu beliau mendapatkan kekuasaan akan selalu membayangi kekuasaannya, pada kondisi seperti inilah disiplinary power terjadi, bahkan jika terus berlanjut mungkin dimasa depan sovereign power hanya tinggal legalitas tanpa kedaulatan yang mengiringinya.
ADVERTISEMENT