Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Yang Tersisa dari Pemimpin
11 Desember 2024 8:10 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apapun yang ada di dunia ini ada batasnya, baik itu sesuatu yang dianggap baik atupun sesuatu yang dianggap buruk. Semua adalah fana dan ada akhirnya. Termasuk jabatan, pangkat, atau gelar yang diemban seseorang.
ADVERTISEMENT
Bulan lalu, direktur di tempat saya bekerja, secara mengejutkan dipindahtugaskan menjadi direktur jenderal di tempat lain. Dia meninggalkan jabatan yang ada, menuju jabatan mentereng lainnya. Sementara direktur lain, masih di lingkungan tempat saya bekerja, memasuki masa purna.
Kedua orang tersebut, dari sudut yang saya ketahui, adalah orang-orang baik. Saya menaruh respect yang cukup untuk keduanya. Kualitasnya dalam memimpin, emosinya dalam mengelola konflik, dan manajemen pekerjaan yang mumpuni.
Keduanya adalah profil pemimpin yang baik, paling tidak atas kesan selama beberapa waktu saya mengenalnya. Kepergiannya “disayangkan” dan keberadaannya dirasakan.
Tentu saja tidak semua orang yang pernah menjadi pemimpin mendapat respect yang sama. Pun terhadap yang saya atau Anda alami. Beberapa dari mereka mungkin kita nilai sebagai orang-orang dengan kualitas “B” saja atau bahkan minus.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks pemerintahan, di antara pimpinan yang dianggap minus adalah bukan sekadar ketidakmampuannya dalam menjalankan organisasi, namun juga pada aspek moral dan integritas. Aspek ini termasuk barang mahal bagi sebagian aparatur pemerintah.
Ragam kasus korupsi dengan variannya sangat banyak dan mudah bagi kita temukan. Bukan hanya dari googling atau hasil olahan aplikasi artificial intelligence (AI), namun sangat mungkin temuan atau pengalaman langsung.
Pemimpin sebagai orang yang memiliki status sebagi penanggung jawab sebuah jabatan, bagian, atau pekerjaan adalah orang yang juga memiliki kewenangan besar. Ragam jabatan seperti kepala tim, kepala seksi, kepala bagian, kepala biro, atau ragam nomenklatur jabatan lainnya semestinya berbanding lurus dengan tanggung jawabnya yang melekat.
Tanggung jawab tersebut bukan sekadar program atau tugas dan fungsi berjalan, tapi di dalamnya ada nilai-nilai pertanggungjawaban materil dan moril, termasuk pertanggungjawaban kepada Tuhan. Bagaiamana tidak, setiap kali seorang pegawai pemerintah mendapat jabatan baru, apalagi ketika menduduki jabatan lebih tinggi, maka sumpah jabatan menjadi kewajiban baginya.
ADVERTISEMENT
Sumpah seorang pejabat (baca: pemimpin) adalah sumpah dirinya kepada Tuhan. Ada saksi manusia dan saksi malaikat, ada tanda tangan di atas lembaran janji dan pengawasan yang bersifat ilahiah. Sakralitas seharusnya terbentuk karena kitab suci berada lebih tinggi dari kepala setiap orang yang disumpah.
Satu indikator atas kepemimpinan yang amanah adalah ketika orang-orang baik bersedih hati ketika orang tersebut tidak lagi menjabat. Seperti cerita saya di awal tulisan ini.
Indikator yang sama juga berarti sebaliknya, ketika orang-orang baik gembira ria saat pemimpinnya atau bosanya hengkang ke tempat lain, sekadar mutasi, promosi, atau pensiun. Saya sengaja menyebut frase orang-orang baik, karena memang ada orang-orang tidak baik dan bersikap sebaliknya.
Orang-orang baik yang dimaksud tentu saja adalah orang yang mau bekerja dengan baik dan tidak mengharap lebih dari apa yang semestinya diatur oleh norma.
ADVERTISEMENT
Saya, Anda, atau siapapun, utamanya adalah orang-orang yang bekerja di pemerintahan, mempunyai pilihan apakah akan dikenang sebagai pemimpin yang baik atau pemimpin yang buruk di mata orang-orang baik.
Pemimpin dengan segala kewenangannya adalah orang-orang yang mempunyai potensi untuk berprilaku koruptif. Segala macam aturan hanya sebatas tulisan di atas kertas jika seseorang tidak membersamai dengan kendali moral.
Guru, kepala sekolah, bahkan rektor sekalipun yang seharusnya menjadi pengawal moral pada akhirnya terjebak di lubang yang sama karena tergoda dengan kewenangan yang dimilikinya dan sama-sama melakukan tindakan kolutif dan koruptif. Lagi-lagi, ini soal pilihan jejak apa yang hendak kita tinggalkan, kita sisakan.
Tugas kita sesungguhnya adalah meninggalkan jejak-jejak kebaikan di setiap amanah yang menghamipiri kita sehingga yang bersisa dari kita adalah nilai-nilai kebaikan. Bayangkan juga, jika perilaku buruk seorang pemimpin kemudian menjadi tradisi bagi pemimpin berikutnya. Inspirasinya adalah inspirasi keburukan.
ADVERTISEMENT
Sungguh, apakah ada yang lebih buruk lagi dari contoh-contoh pemimpin buruk tersebut. Yang tersisa darinya adalah jejak-jejak keburukan.