Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
FOMO Mendaki Gunung Jadi Ladang Bullying
3 Desember 2024 16:46 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Fauzil Azhim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) telah merambah berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam aktivitas pendakian gunung. Menurut survei Kementerian Pariwisata pada 2022, jumlah pendaki gunung di Indonesia meningkat drastis hingga 70% dalam lima tahun terakhir, dengan mayoritas didominasi oleh generasi milenial dan Gen Z. Media sosial menjadi katalisator utama lonjakan ini, di mana platform seperti Instagram dan TikTok menjadi ajang pamer prestasi pendakian. Sebuah studi dari Universitas Indonesia mengungkapkan bahwa 68% pendaki muda mengaku mendaki gunung utamanya untuk mendapatkan konten foto yang menarik, bukan sekadar menikmati keindahan alam atau pengalaman spiritual sejati.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, fenomena FOMO ini membuka ruang lebar bagi praktik bullying dalam komunitas pendakian. Hasil penelitian dari Forum Pendaki Nusantara menunjukkan bahwa 45% pendaki pemula pernah mengalami intimidasi atau perlakuan merendahkan dari pendaki berpengalaman. Standar-standar tidak rasional bermunculan, di mana seorang pendaki dinilai dari jumlah gunung yang pernah didaki, ketinggian puncak yang dicapai, atau kelengkapan peralatan mahal yang dimiliki. Ironisnya, Indonesia memiliki lebih dari 127 gunung aktif yang tersebar di seluruh kepulauan, namun bukan jumlah gunung yang dicapai yang menentukan kualitas seorang pendaki, melainkan sikap dan penghormatan terhadap alam.
Realitas bullying dalam dunia pendakian memerlukan perhatian serius. Data dari komunitas pendaki menunjukkan bahwa praktik intimidasi ini tidak hanya berdampak psikologis, tetapi juga dapat membahayakan keselamatan pendaki. Sebuah kasus di Gunung Rinjani pada 2021 menunjukkan bagaimana tekanan sosial membuat seorang pendaki pemula memaksakan diri mendaki dalam kondisi tidak fit, yang berujung pada kecelakaan. Sudah saatnya komunitas pendakian melakukan introspeksi dan mengembalikan esensi sejati kegiatan mendaki gunung. Pendekatan kolaboratif dan edukatif jauh lebih penting daripada kompetisi tidak sehat. Berbagai komunitas pendakian mulai menggencarkan program pendidikan pendakian aman dan berkelanjutan, yang tidak hanya memperhatikan aspek teknis, tetapi juga etika dan rasa saling menghargai antarpendata. Hanya dengan cara inilah aktivitas mendaki gunung dapat kembali menjadi kegiatan yang bermakna, menyehatkan, dan memberdayakan.
ADVERTISEMENT