Konten dari Pengguna

Enam Tahun Berlalu, Tragedi Tsunami Tanjung Lesung Diingat Sebagai Memori Pilu

Fedora Bintang Jovanka Atala
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret
24 Desember 2024 12:49 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fedora Bintang Jovanka Atala tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tangga di pinggir kapal menuju musala pada Sabtu (29/12/18) saat perjalanan pulang dari Pelabuhan Merak ke Pelabuhan Bakauheni
(Dokumentasi ini adalah dokumentasi pribadi yang diambil pada waktu berbeda)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tangga di pinggir kapal menuju musala pada Sabtu (29/12/18) saat perjalanan pulang dari Pelabuhan Merak ke Pelabuhan Bakauheni (Dokumentasi ini adalah dokumentasi pribadi yang diambil pada waktu berbeda)
ADVERTISEMENT
Membuka mata tanpa tau itu apa Menutup mata masih tidak tau apa yang terjadi Dengan santai memandang ombak tenang Terselubung bencana besar Hingga detik ini, menyangka yang baik akan selalu baik, tapi maut amat dekat di hari itu karena gelombang sangat besar hinggap setelah kapal itu bersandar. Kapal yang membawa rombongan study tour sekolah menengah pertama dan berbagai penumpang dengan sibuknya, tiba di Pelabuhan Merak, Sabtu (22/12/18) pukul 22.00 WIB. “Aku ngerasa kaya naik kora-kora di dalam kapal,” Erin berkomentar mengenai kejadian enam tahun lalu. Dini hari yang masih gelap, langit hitam berganti biru perlahan-lahan, pelan-pelan cahaya matahari mengintip, sampai suara lantang nyaris terdengar hingga penjuru lapangan kota Muara Enim, Sumatera Selatan. “Fedora Bintang!” Tentu aku mengangkat tanganku, “Hadir,” untungnya tidak terlewat. Masih pagi dan kami dituntut untuk fokus perihal kehadiran. Siswa-siswi itu menguap, membawa tas jinjing dan backpack, sekalian koper yang berjajar di pinggir lapangan. Beberapa dari mereka membawa bantal kecil dan bantal leher, maklum buat perjalanan jauh. Namun, dengan semua kantuk itu aku dan teman-temanku bercanda dengan riang karena tibalah hari besar yang amat ditunggu setelah melewati beban semester ganjil sekolah menengah pertama. Dari kejauhan, bus-bus itu datang, tampak tulisan “Rombongan Study Tour SMPN 1 Muara Enim” pada banner yang bertengger di body depan dan samping bus. Woah, bus-bus itu besar, ada yang berwarna biru, jingga, tapi aku dan Erin tiba-tiba tertawa saat tampak bus paling belakang berbeda dari bus lainnya. Bedanya bus itu lebih kecil, jadi aku dan temanku berjanji tidak ingin naik bus itu. Angkat-mengangkat koper dimulai, dibantu beberapa orang dewasa dan guru. Kami sigap masuk ke dalam bus untuk menentukan tempat duduk. Dapat! Aku dan Erin duduk bersama alias sebangku. Suasana bus sangat nyaman, sejuk dari AC terasa, tempat duduk lumayan luas dan tidak terlalu rapat dari depan dan belakangnya, serta kiri kanan depan belakang dari mereka yang duduk adalah teman-temanku, dan yang paling penting bagian dalam bus bersih, lengkap sudah kenikmatan perjalanan ini. Lambaian tangan, ucapan hati-hati, luapan tangis mengiringi perpisahan sementara dari rombongan kami dengan orang tua di pinggir lapangan kota. Perjalanan dimulai, aku sudah siap dengan semua cerita study tour ini. Hal apalagi yang bisa hadir di tengah perjalanan selain bernyanyi bersama, berbagi snack, karaoke, dan tidur? Itulah yang kami lakukan, khususnya di bus yang aku naiki, kami sepakat menamai bus ini Lani 3. Lani 3 menerjang jalanan sekitar sepuluh jam, Muara Enim – Lampung dengan drama berbeda jalur dari bus lainnya. Bus lain yang sampai lebih awal terpaksa menunggu kami untuk sementara waktu di pelabuhan. Jengkel tentunya, rombongan yang ada di bus lain sudah sibuk mengabadikan sunset di sekitar Pelabuhan Bakauheni dan membagikannya via group chat study tour. Sedangkan kami hanya bisa menikmati perjalanan yang entah dimana tanpa bisa melihat sunset karena keterbatasan pandangan. Melihat langit sore yang merah bercampur jingga, temanku bilang itu sunset, sejelas dan secantik itu. Langit gelap hadir begitu pula Lani 3 dan satu bus lain yang beriringan bersama kami hadir di Pelabuhan Bakauheni. Bus-bus yang membawa rombongan study tour ini masuk ke kapal untuk parkir, lalu kami diinstruksikan untuk naik ke atas, ke tempat dimana penumpang kapal beristirahat seraya melihat pemandangan laut Selat Sunda. “Apa yang bisa dilihat kalo malam begini?” Begitulah responku ketika temanku menarik tanganku dan berkata, “Ayo cari dugong.” Ya sudah, aku menurut saja walaupun aku ingat nasihat ibuku untuk tidak nekat berdiri di pinggir kapal karena berbahaya. Tidak ada dugong yang terlihat, tapi kami malah sadar, sedari tadi kapal ini tidak berjalan alias berhenti di tengah laut dengan suasana gelap laut di malam hari. Bingung, apa daya tidak mengerti apa yang terjadi, rasanya kapal hanya mengikuti ombak laut yang setengah tenang ini. Terkadang terasa maju dan diselingi mesin kapal yang berhenti. Hanya hamparan laut lepas yang bisa kulihat, tidak terlihat juga apa yang ada di air laut itu, tapi tunggu dulu, sepertinya aku melihat langit di ujung laut itu warnanya berbeda dari warna langit yang cenderung gelap malam itu. Tampak warna jingga kekuningan, tidak terlalu tampak bersinar, tapi warnanya hanya berbeda. Heran tentunya, tapi ya sudah, anak SMP ini sedang senang-senang tanpa mau berpikir lebih jauh, malah berfoto di pinggir kapal itu. Sampai terlambat, biasanya menyebrang dari Pelabuhan Bakauheni ke Merak hanya perlu dua sampai tiga jam, tapi ini memakan waktu empat jam? Unik, tapi mataku tidak bisa untuk tidak menutup alih-alih memikirkan hal lain, kuputuskan tidur seraya bus melanjutkan perjalanan ke destinasi awal, Masjid Istiqlal, Jakarta. Mataku mengedip saat terasa cahaya itu menyilaukan, matahari mengabarkan ini sudah saatnya bangun walaupun ia masih malu untuk sepenuhnya terlihat. Hal pertama yang aku sadari adalah bus sudah berhenti, tapi aku lihat teman-temanku belum bergegas turun. Di antaranya ada yang mengulet seraya berkata, “Sampai.” Aku? Tentu hal pertama yang ingin aku lakukan adalah mengabari orang tuaku. Kaget, ketika membuka benda pipih itu aku seperti anak hilang, spam chat dari orang tuaku ada di layar notifikasi. Berbagai artikel berita tiba-tiba muncul di layar notifikasi, percayalah saat itu aku dengan suara bangun tidur berkata, “Hah? Semalam kenapa?” Lalu, “Semalam tsunami?!” Kantuk yang tersisa pergi entah kemana digantikan dengan perasaan merinding. Reaksi pertama kali adalah reaksi jujur, bayangkan jika kapal itu tidak bersandar tepat waktu. Berita itu membuat rombongan study tour geger dan para guru tentunya bersikeras mewanti-wanti siswa-siswi untuk tidak membuka media sosial saat ini. Paham, demi menjaga perjalanan ini minim kekhawatiran berlebih. Aku dan temanku yang sedikit tidak patuh kadang mencari tau apa yang terjadi. Sesungguhnya, selama kegiatan study tour ke tiga kota (Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta) berlangsung, status Gunung Anak Krakatau adalah waspada level II. “Aku memang liat ada pusaran di tengah laut waktu kita otw dari Bakauheni ke Merak, kayanya sama kamu, deh, terus ada Najah juga, tapi disitu aku ga mikir apa-apa karena ga tau kalo ada kabar bakal tsunami,” jelas Erin pada saat kami mengenang perjalanan kami dari Pelabuhan Bakauheni ke Merak. Memang kejadian itu sudah diperingatkan oleh BMKG pada Jumat (21/12/18) pukul 07.00 WIB, ada gelombang tinggi di Selat Sunda. Pukul 13.51 WIB, BMKG melakukan update terjadi erupsi Gunung Anak Krakatau. Saat kapal yang membawa aku bersama rombonganku ada di tengah laut, Sabtu (22/12/18) pukul 20.56 WIB, terjadi kembali erupsi Gunung Anak Krakatau dan longsor dari erupsi inilah yang melahirkan Tsunami Tanjung Lesung hingga memakan 437 orang korban meninggal dunia. Tragedi ini juga menyisakan pilu bagi band terkenal Indonesia, Seventeen karena tsunami merenggut nyawa tiga member grup band-nya. Berita inilah yang pertama kali kulihat. Aku diliputi rasa takut, tetapi kadang aku melupakan hal itu untuk bersenang-senang selama study tour. Selama satu minggu, bus membawaku ke berbagai destinasi menyenangkan, Candi Borobudur dan Prambanan yang elok, wisata Tangkuban Perahu yang sejuk, dan Dufan, tempat dimana segala perasaan berubah menjadi bahagia. Dengan waktu yang terus beranjak, tidak pernah diam, 29 Desember 2018 menjadi tanggal dimana aku harus kembali dari segala hiruk pikuk tentang study tour. Update status Gunung Anak Krakatau yang menjadi siaga level III membuat perasaan was-was kembali bergemuruh. Bahkan, Erin bolak-balik menghubungi orang tuanya untuk tetap tinggal di Jakarta selama beberapa hari demi tidak bertemu laut. Jika begitu keadaannya, sama saja membawa risiko yang berbeda, orang tuanya tidak setuju. Hujan yang turun menambah kesan mencekam dan sesungguhnya tidak ada yang mengetahui masa depan. “Pas status siaga hari itu, jujur aku takut banget, takutnya nambah waktu ayah Tafazzul (teman kami) nanyain kartu pelajar dan suruh aku buat kasih tau ibuku aku pake baju warna apa di hari itu,” lalu ia menambahkan, “Jujur di bis aku nangis,” jelas Erin saat aku mengajak ia kembali pada memori enam tahun lalu. Ucapannya masih sama seperti apa yang dialami hari itu, aku melihat ia menangis akibat overthinking, bahkan hampir semua orang di bis kami kalut dan menangis bersama jalan yang basah bagai sembab akibat langit yang menangis. Pintu Pelabuhan Merak sudah di depan mata, alunan lagu Cinta Dalam Hati by Ungu dengan sepenggal lirik “dan izinkan aku memeluk dirimu kali ini saja, tuk ucapkan selamat tinggal untuk selamanya” mengisi hati dan pikiranku jikalau lagu ini adalah lagu terakhir yang bisa kudengar. Lagu ini diputar berkali-kali dan entah ulah siapakah itu, sampai tiba di dekat kapal lagu ini masih mengalun, semua wajah murung dan sedih, hujan berlinang di pinggir jendela, langit mendung, dan laut terlihat tidak tenang. Suasana sore itu pantas disebut kelam untuk sebuah perjalanan riang study tour. Ketika masuk ke kapal, aku bisa merasakan gelombang laut yang besar hingga demi berjalan saja harus berpegangan agar tidak jatuh. Gelombang ini adalah efek dari Gunung Anak Krakatau yang tak kunjung selesai dengan kemarahannya. Ketakutan akan adanya tsunami susulan nyata dalam benakku, tapi untungnya tidak terjadi. Aku dengan tertib masuk ke kapal dan duduk. Nasha datang ke arahku dengan tangisannya, “Bintang, gimana kalo kapal ini nanti ga sampai Bakauheni?” Aku juga berpikir hal yang sama, tapi aku hanya bisa menenangkan dia dibantu oleh guruku selama perjalanan menyebrang. Aku pun kerap ditegur karena ketahuan membaca update dari BMKG. Yah, tidak bisa kupungkiri aku sedikit penasaran dengan hal yang terjadi saat ini. “Ada kalanya aku mikir, sepanjang apa karangan bunga di depan SMP kalo keadaan ini memburuk?” Najah teringat kembali dirinya yang kala itu turut berada di kapal. Setengah perjalanan aku lewati dengan kapal yang berkali-kali bersinggungan dengan ombak, saat itulah penumpang akan bergoyang-goyang seperti naik wahana kora-kora menurut kesaksian Erin. “Waktu itu pasrah dan ikut berdoa bersama, kuliat di kapal terbagi beberapa kubu, takut, terima nasib, dan skeptis,” Najah, temanku, kembali menjelaskan keadaan kapal hari itu. Aku dan Nasha bergegas naik ke bagian atas kapal untuk melaksanakan salat Isya. Tangga yang licin dengan penerangan minim menjadi salah satu ketakutanku saat melewatinya, belum lagi lokasi tangga yang berada di pinggir kapal sehingga apabila melihat ke sebelah kanan aku sudah bisa melihat ombak. Untungnya ada pegangan sepanjang tangga, setidaknya aku bisa menjaga diriku. Apa kabar saat berwudu dan salat? Bergoyang ke kiri dan kanan mengikuti ritme kapal dan tak jarang terjatuh-jatuh di tengah salat. Musala di kapal tidak terlalu besar, tapi tidak terlalu kecil, dominan dengan cat biru langitnya. Keran wudu di depan musala itu langsung berhadapan dengan laut. Kadang aku melihat bagaimana tempat itu menjadi tempat casting film “Titanic” dadakan dengan adegan memegang pinggang demi menjaga satu sama lain agar tidak terpeleset. Perjalanan ini membuka memori riang dan pilu secara bersamaan. Pada akhirnya, aku merasakan bagaimana maut amat dekat tanpa aku menyadari itu.
ADVERTISEMENT