Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
7 Oktober: Simbol Perlawanan dan Panggilan untuk Keadilan Palestina
10 Oktober 2024 13:40 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Feizal Reza Pahlevi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dipicu dari deklarasi sepihak atas kemerdekaan Israel di tanah Palestina pada Mei 1948, perang antar kedua negara tersebut belum menemukan titik terang hingga hari ini. Walaupun beberapa perundingan yang dimediasi oleh berbagai aktor negara kerap diperjuangkan untuk menuntaskan konflik, acapkali hasil atas perjanjian tersebut tidak lain hanyalah sebuah formalitas hitam di atas putih. Pada akhirnya, Israel kembali ingkar dan tetap mengokupasi tanah Palestina dengan segala sumber dayanya yang berkali-kali lipat lebih besar.
ADVERTISEMENT
Memperluas pemukiman penduduk di wilayah Tepi Barat secara ilegal dan memblokade jalur Gaza sehingga membuat penduduk Palestina hidup di bawah bayang-bayang kesengsaraan selama beberapa dekade adalah cara yang dilakukan entitas Zionis tersebut untuk membunuh musuhnya secara masif.
Dengan hal ini, penulis melihat bahwa aksi 7 Oktober 2023 bukanlah sebuah perlawanan biasa. Melainkan upaya yang melambangkan ledakan amarah atas seluruh kekejaman yang dihadapi bangsa Palestina kepada pihak Tel Aviv setelah sekian lama. Peristiwa ini adalah reaksi atas bentuk pertahanan diri dan juga merupakan sebuah simbol yang menunjukkan kepada dunia internasional bahwa bangsa Palestina masih dalam proses perjalanan berjuang untuk menghapus tindakan penjajahan (Aljazeera, 2023).
Bagi Israel, aksi 7 Oktober adalah hari paling mematikan dalam sejarah negaranya. Mengutip Kompas, dari sisi Israel, peristiwa itu menewaskan 1.200 orang dan menyebabkan 240 orang disandera oleh pihak Hamas (Aulia, 2023). Sehingga sudah menjadi rahasia umum bahwa sejak aksi bela diri yang dilakukan faksi Hamas tersebut, Israel menjadikan aspek itu sebagai panggung justifikasi untuk memanfaatkan tindakan genosida terhadap Palestina.
ADVERTISEMENT
Melalui pelbagai pernyataan, Israel mengeklaim bahwa operasi militer di Gaza bertujuan untuk menyingkirkan eksistensi Hamas. Namun kenyataannya, tindakan militer asimetris yang dilakukan oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF) sering kali menyebabkan banyak korban sipil yang berjatuhan.
Tepat pada bulan ini, aksi 7 Oktober telah mencapai umurnya ke-satu tahun namun sayangnya serentetan tindakan militer masih berlangsung hingga kini, bahkan meluas ke wilayah yang dikuasai Hizbullah sebagai sekutu Hamas di Lebanon. Data Otoritas Kesehatan Gaza merilis laporan bahwa serangan balik Israel ke wilayah Palestina itu telah menewaskan korban jiwa sebanyak 41.689 nyawa. Lebih lanjut, dari total korban tewas yang sebagian besar adalah warga sipil, sebanyak 11.300 diantaranya adalah anak-anak dan hampir 6.300 adalah perempuan.
ADVERTISEMENT
Hingga September 2024, laporan analisis yang dirilis oleh Corey Scher dari CUNY Graduate Center dan Jamon van Den Hoek dari Oregon State University menyatakan bahwa hampir 60 persen bangunan di Gaza telah luluh lantah. Lebih lanjut, laporan dari Pusat Satelit PBB juga menginformasikan bahwa jumlah fasilitas Rumah Sakit yang masih berfungsi di wilayah itu hanya tersisa 17 dari awalnya 36, yang mana seluruhnya mengalami kekurangan bahan bakar, pasokan medis dan air bersih (Sarwindaningrum, 2024).
Setelah peristiwa 7 Oktober, cobaan yang dihadapi bangsa Palestina tidak berhenti sampai dengan kerugian yang dialami baik secara materiil ataupun imateriil. Israel juga melarang masuknya segala persediaan bantuan ke wilayah Gaza. Fasilitas infrastruktur penyalurannya pun dihancurkan melalui serangan serangan udara pasukan IDF. Dengan kata lain, Israel telah membatasi mobilitas relawan yang membawa bala bantuan. Desakan internasional yang meminta agar Israel mengizinkan masuknya pasokan bantuan tersebut juga tidak digubris.
ADVERTISEMENT
Keadilan yang Tertunda
Para pejabat Israel yang bertanggung jawab atas serangan brutal terhadap warga sipil Palestina tidak dapat dibiarkan lolos dari tanggung jawab mereka. Tindakan mereka yang secara sistematis melanggar hak asasi manusia, mulai dari pembunuhan massal hingga penghancuran infrastruktur sipil yang vital, sudah seharusnya dikategorikan sebagai kejahatan perang dan genosida. Hal ini mengingatkan kita pada peristiwa setelah Perang Dunia II, di mana para pemimpin Nazi diadili di Pengadilan Nuremberg atas tindakan genosida terhadap kelompok tertentu.
Seperti halnya para pemimpin Nazi, para pejabat Israel yang memberikan perintah atau mengabaikan penderitaan sistematis warga Palestina juga harus diadili di Mahkamah Internasional. Prinsip tanggung jawab komando yang mengikat pejabat militer dan sipil dalam hal kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan jelas berlaku di sini. Tindakan blokade, serangan udara, dan pembunuhan warga sipil Palestina adalah pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional yang tidak dapat dibiarkan tanpa konsekuensi hukum.
ADVERTISEMENT
Afrika Selatan, selaku negara pioneer yang menuntut Israel ke Mahkamah Internasional telah menghasilkan beberapa putusan yang setidaknya dianggap bisa menjadi langkah awal sebagai pertanda lampu hijau untuk menghentikan tindakan kebengisan Israel terhadap Palestina.
Adapun keputusan yang dimaksud adalah Mahkamah Internasional memerintahkan supaya Israel bertindak dengan segala upaya untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tertulis di Pasal 2 Konvensi Genosida, mencegah dan menghukum mereka yang menyerukan genosida, dan menghilangkan kondisi hidup yang buruk dengan menyediakan layanan dasar dan bantuan kemanusiaan (Antara, 2024).
Namun diskursus (Muhammadin, 2023) dalam sebuah artikel Republika cukup menyita perhatian saya atas isu hukum ini. Beliau menerangkan bahwa preseden pelaksanaan mayoritas kasus di Mahkamah Internasional bersifat sukarela. Layaknya Indonesia yang tidak lagi mengklaim pulau Sipadan dan Ligitan dikarenakan turut menghormati keputusan Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa kedua pulau tersebut merupakan milik Malaysia.
ADVERTISEMENT
Namun sebagaimana marwah diksi “sukarela” yang berarti bahwa penerapannya bisa dilakukan atau bisa sebaliknya. Contoh lainnya, Ukraina pernah menyeret Rusia ke dalam pengadilan ini atas tindakan agresinya dan menghasilkan keputusan untuk memerintahkan Rusia menghentikan agresi militernya. Namun apa yang terjadi? Rusia masih berusaha menginvasi Ukraina hingga sekarang.
Pertanyaannya untuk saat ini adalah apakah Israel akan bersikap seperti Indonesia atau Rusia dalam menanggapi putusan Mahkamah Internasional yang diajukan oleh Afrika Selatan? Dalam kacamata penulis, para ahli pasti akan meyakini bahwa Israel akan mengambil langkah yang sama seperti Rusia. Langkah percaya diri yang diambil entitas Zionis tersebut tidak lain dikarenakan memiliki dukungan yang sangat kuat dari sebuah negara Adidaya, Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Negeri Paman Sam tersebut dapat menggunakan hak vetonya untuk memblokir resolusi Dewan Keamanan yang bertujuan menegakkan keputusan Mahkamah Internasional terhadap Israel. Ini berarti bahwa meskipun Mahkamah Internasional mengeluarkan keputusan yang menentang Israel, Dewan Keamanan mungkin tidak dapat mengambil tindakan efektif jika AS menggunakan hak vetonya.
Jika jalur diplomasi dan hukum internasional kerap menemui jalan buntu akibat berbagai kendala politik, maka satu-satunya langkah yang masih mungkin diambil untuk mengecam tindakan Israel adalah melalui tekanan opini publik global. Seperti yang telah terjadi pada masa apartheid di Afrika Selatan, ketika tekanan dari masyarakat internasional berhasil mengubah sikap pemerintah dan sistem yang diterapkan, masyarakat dunia saat ini juga memiliki kekuatan yang besar untuk mempengaruhi perubahan melalui protes, boikot, dan seruan keadilan di platform global.
ADVERTISEMENT
Tekanan dari masyarakat, terutama melalui gerakan grassroots dan media sosial, dapat menarik perhatian dunia dan memaksa pemerintah yang selama ini mendukung Israel untuk mempertimbangkan kembali dukungannya. Gerakan global seperti Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) yang telah lama menyerukan boikot terhadap Israel juga merupakan contoh nyata dari kekuatan opini publik untuk menciptakan perubahan.
Sebagai penutup, dalam menghadapi kebuntuan diplomasi formal, suara masyarakat global menjadi instrumen penting untuk menyuarakan keadilan bagi Palestina. Dengan terus menyoroti isu ini, menekan negara-negara yang mendukung Israel, dan menggalang solidaritas internasional, ada harapan bahwa tindakan brutal Israel terhadap Palestina suatu saat dapat dihentikan. Adalah tugas moral kita sebagai masyarakat global untuk terus berjuang melalui cara-cara damai, memastikan bahwa keadilan tidak lagi tertunda.
ADVERTISEMENT