Konten dari Pengguna

Media Sosial: Hak Berbicara dan Otoritas Ilmu

Fendi Agus Syaputra
Dosen Sosiologi FISIP Universitas Andalas
14 September 2024 17:14 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fendi Agus Syaputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: freepik.com
ADVERTISEMENT
Hak kebebasan berbicara yang menjadi konsekuensi dari peristiwa reformasi. Menjadikan siapapun memiliki hak untuk berpendapat dan memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya di ruang publik. Latar belakang profesi, agama, suku, termasuk latar belakang keahlian dan keilmuan tidak menjadi penghalang dan pembatas hak berpendapat. Semuanya mempunyai hak kebebasan berpendapat yang sama. Lebih jauh hak ini ditegaskan dan dilindungi oleh negara melalui UUD 1945 Pasal 28E ayat 3 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Tentu dengan hal itu membuat banyak orang berani mengungkapkan pandangannya dalam berbagai kesempatan tak terkecuali para pengguna media sosial.
ADVERTISEMENT
Hak kebebasan berbicara ini menjadi begitu terlihat dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Internet yang kini bisa diakses hampir oleh semua kalangan masyarakat. Siaran Pers Kominfo No.80 tahun 2024 melalui hasil survey APJII memperlihatkan bahwa pengguna internet di Indonesia pada tahun 2024 mencapai angka 221 juta jiwa, jumlah yang tak sedikit. Hak kebebasan berbicara ini didukung dengan tersedianya panggung untuk bersuara dengan berkembangnya berbagai platform media sosial yang dengan mudah dijangkau dan mudah cara penggunaannya. Masyarakat kita saat ini setidaknya memiliki akun di salah satu platform media sosial yang di antaranya Facebook, Instagram, X, Tiktok, Youtube, dan lain-lain.
Hak kebebasan berbicara yang didukung perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membuat siapapun dapat berbicara mengenai apapun. Konsekuensinya membuat bermunculannya influencer dengan ratusan ribu bahkan jutaan pengikut menjamur di berbagai media sosial. Para Influencer tersebut dengan aktif berbagi tentang pendapat mereka tentang berbagai hal seperti politik, sosial budaya, agama, kesehatan, pendidikan dan berbagai topik lainnya.
ADVERTISEMENT
Hak kebebasan berbicara tentu memiliki banyak aspek positif, Namun, di lain sisi juga tersimpan aspek negatif dari hak kebebasan berbicara ini. Hak kebebasan berbicara ini membuat siapapun dapat berpendapat mengenai apapun yang dia inginkan. Tak ada batasan yang menjadi syarat untuk mengungkapkan sesuatu, salah satunya yang diabaikan adalah latar belakang kepakaran dan keilmuan.
Saat ini banyak orang berpendapat mengenai suatu topik yang sebenarnya berada di luar kepakaran dan keilmuan yang dia kuasai. Berbekal kemampuan pengambilan gambar atau video, kemampuan editing dan kemampuan public speaking membuat pendapat yang dikeluarkan seolah-olah benar. Hal ini membuat kesulitan untuk menakar tingkat kebenaran pendapat yang disampaikan. Dan tak jarang pendapat tersebut berlawanan dengan pendapat dari para ahli yang memiliki kepakaran mengenai topik yang tengah menjadi pembahasan.
ADVERTISEMENT
Terjadinya pergeseran standar kebenaran yang digunakan dalam menakar sebuah pendapat. Jika dulunya kepakaran dan keahlian seseorang dalam bidang tertentu akan menjadi bahan pertimbangan untuk menilai apakah sebuah pendapat dapat diterima. Sayangnya hari ini terjadi perubahan, para pengguna media sosial tak lagi mementingkan latar belakang kepakaran dan keahlian dari orang yang menyampaikan pendapat. Tolak ukurnya berubah menjadi berapa banyak jumlah pengikut di akun orang tersebut dan bagaimana sebuah pendapat itu disajikan dalam konten-kontennya. Seringkali dalam pembahasan mengenai topik tertentu pendapat seorang influencer dengan ratusan ribu bahkan jutaan pengikut lebih didengarkan dan dipercaya daripada pendapat seorang doktor yang menguasai topik tersebut.
Harus disadari dengan adanya perubahan tolak ukur dalam menilai kebenaran suatu pendapat tersebut dan memicu berbagai persoalan. Pertama, terjadi kebingungan dalam menentukan mana pendapat yang akan diterima dan mana yang akan ditolak. Tolak ukur yang berubah membuat tidak jelasnya batasan mana yang benar dan mana yang salah, menciptakan kebingungan pendapat mana yang akan didengarkan. Kedua, dapat memicu terjadinya kegaduhan. Tentu kita sepakat bahwa pendapat yang diterima dan dianggap benar akan berlanjut dalam wujud tindakan. Tindakan paling minimal adalah ikut menyebarluaskan pendapat tersebut agar makin banyak didengar. Tindakan lainnya menjadikan pendapat tersebut sebagai dasar dalam keseharian. Ketiga, dapat mengganggu diseminasi dan implementasi kebijakan tertentu. Hal itu dikarenakan jika influencer yang mereka ikuti menolak, maka mereka akan ikut untuk menolak, walaupun mereka sendiri belum mengkaji secara menyeluruh mengenai kebijakan tersebut. Keempat, menyebabkan keberanian orang-orang menentang suatu pandangan yang sejatinya membutuhkan kepakaran hanya dengan bermodalkan argumentasi influencer, hal ini dapat terjadi dalam aspek pembahasan agama, sosial, budaya, dan politik.
ADVERTISEMENT
Beberapa contoh berikut dapat membuat kita memahami lebih jauh soal aspek-aspek negatif di atas. Pada masa Covid-19 pemerintah berdasarkan arahan dari para ahli kesehatan mengkampanyekan penggunaan masker sebagai upaya untuk mencegah penularan Covid-19. Kampanye dilakukan dengan berbagai cara salah satunya di media sosial. Penggunaan masker sudah sesuai dengan pendapat ahli kesehatan, artinya dikeluarkan oleh pihak yang memiliki kepakaran dalam bidang kesehatan. Kampanye penggunaan masker tersebut mendapatkan penolakan oleh salah seorang influencer yang menolak menggunakan masker dan mengajak pengikutnya untuk tidak menggunakan masker. Influencer ini berprofesi sebagai drummer di salah satu band dan mengenyam pendidikan di fakultas ekonomi, tak memiliki riwayat kepakaran dalam bidang kesehatan. Namun, ia dapat mempengaruhi banyak orang yang akhirnya ikut meyakini bahwa harus menolak penggunaan masker yang menjadi arahan pemerintah atas yang didukung oleh para ahli kesehatan.
ADVERTISEMENT
Contoh lainnya, kita tentu tidak lupa bahwa beberapa waktu yang lalu berbagai perguruan tinggi menyatakan sikap mengenai keadaan demokrasi yang dianggap sedang tidak baik-baik saja. Pernyataan sikap ini dilakukan oleh berbagai elemen perguruan tinggi yang salah satunya adalah para guru besar. Terdapat berbagai reaksi di media sosial mengenai hal tersebut. Diantara berbagai reaksi tersebut adalah bermunculannya konten-konten dari berbagai akun influencer yang mempertanyakan para guru besar tersebut. Suatu hal yang aneh saat guru besar diragukan keahliannya oleh pihak yang tidak memiliki kepakaran.
Kita juga sering disajikan dengan berbagai influencer yang menjadi “ahli segala bidang”. Influencer ini mengomentari semua hal bahkan hal-hal yang tidak dikuasainya. Ia bahkan berani mendebat seorang ulama yang sejatinya memiliki kepakaran dalam bidang kajian agama Islam. Keberanian yang ia miliki muncul karena para penggemarnya yang menjadi pengikut akun media sosialnya akan membenarkan pendapat yang ia miliki dan membela pendapat itu.
ADVERTISEMENT
Kebebasan berbicara adalah hal yang baik dan harus dipertahankan. Namun, terdapat pekerjaan rumah bagi semua pihak untuk membangun kesadaran bahwa siapapun boleh berpendapat tapi harus dipahami bahwa kebebasan berpendapat itu bukan berarti asal berpendapat yang dapat memicu kegaduhan. Semangat untuk berpendapat tentunya harus berbanding lurus dengan semangat belajar.