Konten dari Pengguna

Ormas dan Izin Tambang: Hak yang Dipersoalkan

Fendi Agus Syaputra
Dosen Sosiologi FISIP Universitas Andalas
7 Agustus 2024 8:36 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fendi Agus Syaputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tambang batu bara. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tambang batu bara. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pimpinan Pusat Muhammadiyah baru saja mengumumkan kepada publik soal sikap Muhammadiyah mengenai tawaran Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari pemerintah. Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan menerima tawaran tersebut.
ADVERTISEMENT
Dengan keputusan tersebut, Muhammadiyah menjadi Organisasi Masyarakat Sipil (ORMAS) kedua, yang menerima tawaran tersebut, setelah Nahdlatul Ulama. Publik bereaksi dengan keputusan tersebut. Kontra terhadap pendirian Ormas keagamaan tersebut menjadi reaksi yang cukup keras bermunculan.
Sebelumnya, Nahdlatul Ulama sebelumnya juga menerima reaksi keras tersebut dari berbagai elemen masyarakat sipil, muncul ada selorohan yang membalik akronim NU menjadi UN atau Ulama Nambang. Selorohan “Dipisahkan qunut, disatukan tambang” juga mengemuka setelah Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan sikap yang sama dengan Nahdlatul Ulama yakni menerima tawaran Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari pemerintah.
Selorohan itu juga diiringi dengan adanya aksi yang meminta tuntutan terhadap Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk menolak tawaran tersebut, aksi tersebut dilakukan di Universitas Aisyiyah Yogyakarta. Aksi dan selorohan tersebut merupakan bentuk ekspresi kekecewaan publik atas sikap kedua dua organisasi masyarakat sipil besar tersebut.
ADVERTISEMENT
Kekecewaan yang muncul bukan tanpa alasan. Mereka menganggap bahwa seharusnya organisasi masyarakat menolak alih-alih menerima tawaran izin tambang. Mereka beralasan bahwa tambang menimbulkan dikaitkan dengan berbagai persoalan lingkungan dan sosial, seperti kerusakan lingkungan dan serta konflik sosial.
Tambang juga dianggap sebagai wajah keserakahan para oligarki. Oleh karena itu, bagi yang kontra, organisasi masyarakat sipil tidak seharusnya mengambil posisi “pendosa” yang sama dengan para oligarki itu.
Tak ada larangan atas keresahan dan kekecewaan publik mengenai sikap kedua organisasi masyarakat sipil itu. Hanya saja, muncul pertanyaan mengapa organisasi masyarakat dan tambang menjadi dua hal yang terkesan haram jika saling berhubungan? Mengapa organisasi masyarakat begitu dikecam saat menerima tawaran izin tersebut? Atas dasar apa organisasi masyarakat dilarang?
ADVERTISEMENT
Memanfaatkan kekayaan sumber daya alam yang ada merupakan hak untuk semua warga negara, tak terkecuali dalam hal ini organisasi masyarakat. Sama halnya dengan perusahaan yang selama ini memperoleh izin dalam pengelolaan tambang, organisasi masyarakat tentunya juga berhak atas itu. Lantas publik mempersoalkan ketika pemerintah dalam hal ini memberikan tawaran kepada organisasi masyarakat untuk menggunakan haknya.
Reaksi seperti itu seolah-olah menunjukkan bahwa tambang hanya boleh untuk pengusaha dengan perusahaannya. Kita sepertinya masih terjebak dalam pandangan bahwa organisasi masyarakat hanya boleh berjuang dalam “jalan suci” yang dihiasi dengan semangat memberi tanpa menerima. Kita marah ketika organisasi masyarakat mencoba memasuki lini-lini usaha, yang sejatinya merupakan hak mereka.
Harus disadari munculnya tawaran izin dari pemerintah yang diperuntukkan untuk organisasi masyarakat merupakan sebuah bentuk distribusi sumber daya alam. Jika diperhatikan, selama ini sumber daya alam khususnya lini tambang sebagian besar dikuasai oleh perusahaan swasta.
ADVERTISEMENT
Dengan munculnya tawaran izin ini memberikan alternatif pilihan dalam upaya memanfaatkan potensi sumber daya alam yang awalnya terpaku pada perusahaan yang semangatnya hanya berorientasi kepada keuntungan. Organisasi masyarakat yang dibangun atas dasar semangat sosial kemasyarakatan tentunya lebih dapat dipercaya agar sumber daya alam yang nantinya dikelola tidak diperuntukkan diluar semangat itu.
Kita tentunya tidak mengabaikan kekhawatiran publik soal dampak dari tambang yang selama ini kita lihat. Tak jarang dampak lingkungan yang begitu merusak alam. Dampak kesehatan yang membawa akibat buruk dan merugikan bagi masyarakat sekitar area tambang akibat.
Proses pengelolaan tambang yang tidak memperhatikan hak-hak masyarakat tempatan. Kita mengakui dampak-dampak itu. Akan tetapi, kita juga harus menyadari bahwa pelaku utama dari dampak-dampak yang kita sebutkan tadi adalah perusahaan. Begitu tidak adil jika kita menghukum organisasi masyarakat dengan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh perusahaan.
ADVERTISEMENT
Begitu tidak adil kita menjadikan alasan-alasan tersebut tanpa memberikan kesempatan kepada organisasi masyarakat untuk membuktikan bahwa mereka mampu untuk mengelola tambang dengan menghindari dampak-dampak tersebut.
Kekhawatiran lainnya juga muncul berkaitan dengan kemampuan organisasi masyarakat. Apakah ormas memiliki kapasitas? Adalah pertanyaan yang mengemuka. Kita dapat melihat track record organisasi masyarakat yang ada. Bukankah selama ini organisasi masyarakat kita juga sudah memasuki berbagai lini seperti pendidikan, bisnis, kesehatan dan lain sebagainya.
Tak asing lagi kita dengan rumah sakit, sekolah mulai dari TK hingga perguruan tinggi yang merupakan di bawah pengelolaan organisasi masyarakat. Jika kita memaklumi lini-lini tersebut dimasuki organisasi masyarakat, lantas mengapa kita mempermasalahkan saat mereka mencoba menggunakan haknya dalam izin tambang.
ADVERTISEMENT
Perhatian kita seharusnya tidak ditujukan kepada siapa yang mengelola. Kita harusnya kritis pada bagaimana prosesnya dan ke mana manfaatnya akan digunakan. Peluang organisasi masyarakat saat ini melakukan kesalahan-kesalahan sama besarnya dengan peluang mereka melakukan jauh lebih baik daripada perusahaan. Mereka layak mendapatkan kesempatan untuk membuktikan itu. Begitu tak adil jika karena kita khawatir lalu kita membatalkan hak yang melekat pada organisasi masyarakat.
Keebit von Benda-Beckmann dalam bukunya goyahnya tangga menuju mufakat mengatakan “tanpa prosedur yang benar, maka tak ada hak”. Ini yang seharusnya menjadi perhatian kita. Bukan mempermasalahkan siapa yang mengelola, entah itu perusahaan atau organisasi masyarakat.
Tapi perihal apakah prosedur yang seharusnya sudah dipenuhi sehingga hak mengelola tambang tadi diperoleh. Siapa pun berhak, asal segala hal yang berkaitan dengan kewajiban terpenuhi, seperti status lahan sudah clean and clear, analisis dampak lingkungan terpenuhi. Dan siapa pun terlarang memperoleh izin jika kewajiban-kewajiban itu mereka abaikan. Bukankah itu lebih adil?
ADVERTISEMENT
Publik yang awas akan isu ini adalah hal yang tepat, dan sudah merupakan sebuah keharusan. Akan lebih tepat jika mata publik yang awas dan telinga publik yang waspada diarahkan kepada bagaimana tambang ini dikelola dan ke mana arahnya akan dibawa.
Bukan justru membatalkan hak yang sejatinya sudah melekat. Bukankah organisasi masyarakat akan lebih mudah kita “teriaki” ketika mereka melakukan kekeliruan? Biarkan mereka menggunakan haknya, seperti halnya kita yang juga berhak mengawasi dan mengkritisi mereka saat mereka abai akan kewajiban mereka yang seharusnya.