Konten dari Pengguna

Perpecahan Akar Rumput dan Elit Politik

Fendi Agus Syaputra
Dosen Sosiologi FISIP Universitas Andalas
23 Oktober 2024 21:30 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fendi Agus Syaputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumen Pribadi Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Dokumen Pribadi Penulis
ADVERTISEMENT
Pemilihan kepala daerah tak lama lagi akan digelar di seluruh Indonesia. 27 November 2024 adalah jadwal yang telah dirilis oleh KPU. Saat itu, para pemilih di daerah akan menentukan suaranya akan diberikan ke siapa, yang akan mereka jadikan “petugas” untuk menunaikan kepentingan-kepentingan rakyat masing-masing daerah lima tahun kedepan. Pilkada hanya salah satu bentuk agenda politik yang kita lalui, Sebelumnya kita sudah melalui pemilihan presiden dan anggota legislatif. Residunya masih mengganggu hingga hari ini. Residu itu adalah perpecahan akar rumput, yang mengganggu dan tidak dapat diabaikan bahayanya.
ADVERTISEMENT
Secara sederhana, aktivitas politik melibatkan dua pihak: politisi dan rakyat akar rumput. Salah satu jenis politisi yang bernaung dalam partai politik adalah elit politik. Jumlahnya tak banyak, tapi pengaruhnya dalam pengambilan keputusan politik justru paling besar. Elit politik ini jugalah yang paling banyak mendapatkan keuntungan dalam berbagai aktivitas politik yang berlangsung selama ini.
Kekuasaan merupakan tujuan yang dikejar oleh para politisi. Dalam berbagai kontestasi politik, tak jarang pula ada diantara mereka melakukan strategi kepicikan politik untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satu syarat mereka mendapatkan kekuasaan yang sah adalah perolehan jumlah suara sebanyak-banyaknya dalam pemilihan, seperti pilkada salah satunya. Syarat itu hanya dapat terpenuhi jika mereka mampu meyakinkan para pemilih, yang merupakan pihak yang memegang hak suara. Para politisi menggunakan berbagai strategi untuk mendapatkan suara-suara tersebut. Membeli suara juga merupakan cara yang digunakan, dengan berbagai bentuk suara-suara itu “dibeli”. Secara terang-terangan menggunakan amplop-amplop, atau yang secara terselubung dengan menggunakan paket-paket sembako yang muncul hanya ketika mendekati pemilihan. Strategi yang lainnya adalah dengan berkampanye bahwa partai politiknya merupakan yang terbaik, berkampanye bahwa calon-calon yang mereka usung adalah calon-calon terbaik untuk rakyat. Pesan bahwa mereka yang terbaik diiringi dengan pesan bahwa partai politik lainnya, kandidat saingannya adalah yang buruk kualitasnya, tak baik bagi rakyat jika calon-calon lainnya yang menang.
ADVERTISEMENT
Mereka membungkus pesan-pesan dengan bermacam-macam kemasan atau framing, tergantung pada partai politik yang sedang mengirimkan pesan-pesan. Jika partai politik menampilkan identitas diri sebagai partai nasionalis, maka pesan yang disampaikan adalah penegasan merekalah yang paling mencintai Indonesia, yang menjunjung tinggi Pancasila;partai lainnya dicitrakan berbahaya bagi kesatuan nasional, terindikasi anti-pancasila. Jika partai politik menggunakan agama sebagai jubah kebesaran partai mereka, maka pesan-pesan itu disebarkan dengan diiringi narasi-narasi agama yang begitu kental. Pesan bahawa kebaikan umat adalah misi utama mereka, memberikan mereka suara adalah bentuk jihad dalam melawan kezaliman. Guna memperkuat pesan-pesan itu maka dipilihlah wajah-wajah shaleh sebagai penyampai pesan. Seiring dengan pesan-pesan itu disertai dengan pesan bahwa partai-partai lainnya adalah partai dzalim pada umat, partai yang meminggirkan agama, calon-calon yang diusung diragukan keimanannya dan berbagai pesan-pesan yang senada. Sayangnya, rakyat yang menjadi target pesan-pesan itu sebagian besar menelan mentah-mentah berbagai pesan yang disampaikan oleh politisi dan partai politik. Mereka meyakini dengan seyakin-yakinnya dan mempercayai pesan-pesan itu sebagai yang sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
Setelah pemilihan usai, mereka kemudian menjadi pembela partai-partai yang mereka percayai, menjadikan diri mereka sebagai tameng bagi partai, menjadi pagar hidup bagi politisi yang mereka yakini. Bahkan, perilaku pembelaaan itu disertai dengan ketidaksukaan yang bahkan tak jarang menjadi kebencian terhadap partai politik dan politisi yang lain. Tindakan Kebencian juga diarahkan kepada siapapun yang memilih partai dan politisi yang berbeda dengan pilihan mereka. Mereka lupa bahwa yang memilih dan membela partai dan politisi lain itu juga sesama rakyat.
Jika kita kembali melihat kebelakang, maka kita akan teringat dengan bagaimana sesama rakyat dengan pilihan politik yang berbeda saling serang. Saling serang ini terjadi mulai dari interaksi di sosial media hingga saling serang dilakukan secara fisik. Pesan-pesan politik yang mereka terima menjadi bahan bakar kebencian pada pihak yang lain. Mereka menganggap bahwa rakyat yang memiliki pilihan politik yang berbeda adalah musuh. Miris memang, tapi itu kenyataan.
ADVERTISEMENT
Saat mendekati kontestasi politik, saling serang itu mudah kita temukan. Iklim media sosial menjadi begitu panas. Konten saling hujat dilakukan oleh akun-akun pendukung yang kolom komentarnya menjadi arena pertukaran cacian dan hujatan. Grup-grup percakapan seperti Whatsapp juga diwarnai dengan hal-hal serupa. Bagi mereka itu adalah sesuatu upaya memperjuangkan kebenaran dan yang berbeda dengan mereka adalah orang-orang yang berada dijalur yang salah. Kita juga sering mendapati berita-berita bentrokan karena pilihan politik saat mendekati kontestasi politik. Bentrokan antar pendukung politisi-politisi tertentu yang sedang berlaga. Bentrokan antar pendukung partai politik juga tak kalah sering terjadi.
Ketegangan antar pendukung ini tidak selesai meskipun kontestasi politik yang diikuti oleh partai dan politisi yang mereka junjung ikuti sudah mendapatkan siapa yang lebih unggul dalam perolehan suara. Pendukung partai yang menang tetap melanjutkan olok-olok mereka kepada pendukung partai yang kalah. Sementara itu, pendukung partai yang kalah melanjutkan ketidaksukaan mereka kepada partai pemenang dengan berbagai cara mulai dari mengkritik dengan tidak berdasar hingga menyebarkan hoax di berbagai media sosial.
ADVERTISEMENT
Rakyat sepertinya tidak menyadari, bahwa pesan-pesan yang disebarkan oleh partai politik maupun politisi hanya sebatas bahan kampanye. Ini merupakan realitas hiper. Rakyat justru memegang teguh pesan-pesan yang hanya bahan kampanye tersebut sebagai sebuah keyakinan yang begitu kuat. Padahal dikemudian hari partai politik, politisi yang saling hujat tadi bisa saja membangun koalisi bersama. Partai politik yang awalnya menyampaikan pesan bahwa politisi tertentu merupakan ancaman bagi kepentingan rakyat, kemudian hari bisa saja menjadi partai pengusung politisi tersebut. Padahal rakyat sudah terpecah belah begitu saja karena pesan-pesan sebelumnya.
Sudah begitu sering hal ini terjadi. Partai politik maupun politisi begitu dinamis dalam upaya mendapatkan kekuasaan termasuk dengan “menjilat ludah sendiri”. “Tak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan abadi” terlihat begitu jelas dan sayangnya rakyat seolah buta tak mampu melihat semua itu. Lawan politik dalam satu kontestasi tertentu, menjadi kawan politik dalam kontestasi yang lain.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) adalah salah satu partai yang bergabung dalam koalisi besar Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Prabowo-Gibran. Politisi PSI adalah salah satu partai yang seringkali muncul di media untuk membela pasangan Prabowo-Gibran. Jika kita mundur ke masa-masa pemilihan presiden tahun 2019, maka kita akan menemukan kondisi yang berkebalikan dengan hari ini, PSI yang saat itu mendukung Jokowi-Ma’ruf justru menjadi “penghujat” utama Prabowo yang kala itu maju bersama Sandiaga Uno pada kontestasi saat itu. Tentu kita tidak akan lupa begitu saja PSI pernah menghadiahi Prabowo dengan award kebohongan.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah contoh lainnya. Pada kontestasi pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017 menjadi salah satu pengusung Anies Baswedan yang maju menjadi calon gubernur saat itu. Anies Baswedan berhadap-hadapan dengan Basuki Tjahaja Purnama yang maju dalam kontestasi pilkada dengan membawa beban kasus penistaan agama. Kasus penistaan agama BTP saat itu memicu aksi bela Islam yang kemudian kita kenal dengan 212, PKS adalah bagian dalam aksi itu. Kasus itu juga membuat label “partai penista agama” disematkan kepada partai-partai pengusung BTP saat itu. Kemudian hari, di Pilpres 2024 kita justru disuguhkan dengan koalisi yang dibangun oleh PKS dan Nasdem, padahal Nasdem adalah salah satu dari “partai penista agama” yang mengusung BTP. Partai yang membangun citra sebagai partai yang membela agama justru bersanding dengan partai yang menyandang penista agama. Bagi mereka ini sebuah hal yang biasa dalam politik, sayangnya akar rumput yang bergesekan hebat tidak menjadi soal yang mereka pedulikan.
ADVERTISEMENT
Kita menyadari bahwa rakyat perlu diedukasi bahwa partai politik maupun politisi begitu cair dalam interaksi sesama mereka, sebagian besar ucapan dan perbuatan mereka adalah strategi untuk mendapatkan kekuasaan yang kemudian hari bisa saja berbalik arah. Rakyat harus sadar bahwa yang seharusnya kita pegang adalah nilai dan kita mendukung partai yang membawa nilai itu dengan tetap menyadari bahwa mereka akan berbalik arah suatu hari nanti. Oleh karenanya, mendukung secukupnya, tidak suka sekedarnya. Rakyat justru harus menyadari bahwa sesama rakyat justru harus saling pikul, karena ketika partai politik dan politisi berubah arah, hanya sesama rakyatlah yang tersisa untuk saling bantu.