Konten dari Pengguna

Ferienjob dan MBKM: Di Mana Peran Perguruan Tinggi?

Fernandito Dikky Marsetyo
Research and Development Associate, Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol, Universitas Gadjah Mada
14 April 2024 1:34 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fernandito Dikky Marsetyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Publik baru-baru ini dikejutkan dengan berita mahasiswa di sejumlah universitas di Indonesia menjadi korban perdagangan orang dalam kasus program magang bermasalah ferienjob di Jerman. Program ini diklaim merupakan bagian dari Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dengan skema magang. Pada faktanya, program tersebut bukan merupakan kerja magang, melainkan ferienjob yang dalam bahasa Jerman artinya “program kerja paruh waktu saat musim libur”. Perlu diketahui, tujuan dari ferienjob adalah mengisi kekurangan tenaga kerja fisik di Jerman. Hal ini meliputi kerja-kerja fisik, seperti mengemas dan mengantar paket, mencuci piring di rumah makan, menangani koper di bandara, dan pekerjaan-pekerjaan fisik lainnya. Alhasil, mahasiswa yang awalnya dijanjikan bekerja dengan sistem magang, justru dijerat utang dan dieksploitasi oleh beberapa agen penyelenggara. Kasus ini bukan hanya mempertontonkan ironi, tapi juga menampar keras wajah perguruan tinggi di Indonesia, membuka mata kita pada celah yang terdapat dalam implementasi MBKM.
ADVERTISEMENT
Celah Besar MBKM
Diluncurkan pada tahun 2020 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) merupakan sebuah inisiatif untuk menghadirkan pendidikan yang adaptif dan responsif terhadap kebutuhan pasar kerja. Tujuan besarnya adalah mempersiapkan lulusan yang tidak hanya unggul secara akademik, tapi juga terampil dalam kecakapan hidup yang diperlukan di dunia kerja yang semakin kompetitif. Inisiatif ini memungkinkan mahasiswa untuk menjelajahi pilihan pembelajaran dalam berbagai aktivitas, seperti magang, riset, studi independen, proyek membangun desa, hingga pertukaran pelajar. Keberagaman pilihan ini memungkinkan mahasiswa untuk mendapatkan hak belajar dalam memperoleh pengalaman nyata dan praktis.
Dalam kacamata rezim pembentukan keterampilan (skill formation regime), inisiatif MBKM merupakan bagian dari transisi ke rezim pembentukan keterampilan yang fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan pasar kerja. Sebagai catatan, rezim pembentukan keterampilan (skill formation regime) merujuk pada sistem dan proses pembentukan kecakapan yang memungkinkan individu untuk memperoleh dan mengembangkan keterampilan yang relevan sepanjang hidup manusia (Busemeyer, 2014). Dengan implementasi MBKM, hal ini menandai bahwa Indonesia berupaya melakukan pergeseran dari model pendidikan yang dilakukan dalam ruang kelas, ke model yang fleksibel serta lebih adaptif dan praktis terhadap pasar kerja. Singkatnya, fleksibilitas ini membuka ruang bagi perguruan tinggi, fakultas, hingga program studi untuk mengembangkan kurikulum lebih dinamis dan adaptif, dengan tujuan untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja,
ADVERTISEMENT
Namun, pada praktiknya, inisiatif ini bukan tanpa celah. Permasalahan yang muncul dari kasus ferienjob memunculkan pertanyaan besar: di mana peran perguruan tinggi yang sesungguhnya dalam pelaksanaan MBKM?
Salah satu tugas utama perguruan tinggi dalam pelaksanaan MBKM adalah memastikan bahwa kegiatan yang diikuti oleh mahasiswa benar-benar relevan dengan Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL) yang telah ditentukan oleh program studi dan perguruan tinggi. Namun demikian, dalam konteks kasus ferienjob, ada indikasi kuat bahwa perguruan tinggi cenderung mengejar capaian Indeks Kinerja Universitas (IKU). Sebagai gambaran, dari 8 (delapan) indikator kinerja utama, MBKM merupakan salah satu indikator di dalamnya. Apabila perguruan tinggi memiliki capaian yang baik, selain mendapatkan predikat sebagai perguruan tinggi terbaik, terdapat beragam insentif yang dapat digunakan untuk pengembangan perguruan tinggi. Alhasil, hal ini mendorong tiap-tiap perguruan tinggi berupaya untuk memperoleh capaian IKU yang baik.
ADVERTISEMENT
Tentu saja hal ini bukan merupakan hal yang buruk, mengingat tujuannya adalah meningkatkan kualitas perguruan tinggi. Namun demikian, perguruan tinggi tidak boleh abai pada pencapaian substantif, daripada sekadar pencapaian angka-angka. Jangan sampai, perguruan tinggi terjebak dalam usaha memenuhi IKU dengan mendorong mahasiswa untuk melakukan MBKM yang didorong oleh kepentingan numerik, daripada substansi pembelajaran yang sebenarnya.
Memfasilitasi Kemerdekaan yang Terarah
Bagaimana perguruan tinggi di Indonesia bisa memastikan bahwa program MBKM tidak hanya menjadi jargon semata, tapi benar-benar menjadi media pemberdayaan bagi mahasiswa? MBKM merupakan hak belajar, sebuah hak merdeka bagi mahasiswa untuk menyusun pembelajaran (learning plan) yang akan ditempuh. Namun demikian, kemerdekaan ini bukanlah kemerdekaan yang bebas sebebas-bebasnya. Mengutip apa yang disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara, “Kemerdekaan yang sesungguhnya adalah kemerdekaan yang terarah”. Dalam konteks MBKM, perguruan tinggi memiliki tanggung jawab penting dalam membimbing mahasiswa untuk memilih kegiatan yang tidak hanya memenuhi persyaratan akademik, tapi juga memperkaya pembelajaran dan pengembangan keterampilan mereka. Tugas perguruan tinggi adalah untuk memfasilitasi kemerdekaan yang terarah.
ADVERTISEMENT
Kasus ferienjob ini harus dijadikan sebagai titik belajar untuk mengidentifikasi dan memperkuat tata kelola perguruan tinggi dalam mengimplementasikan MBKM. Perguruan tinggi perlu benar-benar memilah dan memilih mana program dan kegiatan MBKM yang relevan, aman, dan bermakna bagi pembelajaran mahasiswa. Peningkatan kualitas dan relevansi kegiatan MBKM harus menjadi prioritas utama. Artinya, perguruan tinggi wajib melakukan verifikasi dan validasi terhadap semua program yang diakui sebagai bagian dari MBKM. Harus ada standar yang jelas mengenai apa yang membentuk pengalaman serta pembelajaran yang berkualitas.
Selain itu, rencana pembelajaran (learning plan) yang disusun oleh mahasiswa harus mencerminkan Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL) secara substantif dan mengarah pada pembelajaran yang bermakna (meaningful learning). Hal ini berarti bahwa setiap elemen dalam rencana pembelajaran harus dihubungkan dengan tujuan pembelajaran yang konkret, sehingga mahasiswa dapat dengan jelas melihat bagaimana aktivitas pembelajaran mereka dapat berkontribusi terhadap pengembangan kompetensi dan keterampilan yang dibutuhkan untuk bekal masa depan mereka.
ADVERTISEMENT
Tindak Lanjut
Pada akhirnya, celah yang terjadi tidak boleh dianggap remeh, sebaliknya harus dijadikan momentum untuk instrospeksi dan pembenahan dari dalam. Kasus ferienjob harus menjadi pelajaran berharga bagi semua stakeholder perguruan tinggi di Indonesia untuk lebih cermat dalam memilih dan menyelenggarakan program yang benar-benar berkualitas dan berintegritas. Perguruan tinggi harus lebih ketat dalam menyaring program magang atau studi independen yang ditawarkan kepada mahasiswa, memastikan bahwa setiap program tersebut benar-benar mendukung tujuan pendidikan dan pengembangan keterampilan mahasiswa, bukan sebaliknya.
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) juga harus mengambil peran lebih aktif dalam mengawasi dan mengatur implementasi MBKM. Hal ini termasuk memastikan bahwa perguruan tinggi memiliki pedoman yang jelas dan ketat dalam melaksanakan program ini, serta menyediakan mekanisme pengawasan dan evaluasi yang efektif untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan keberlanjutan program sesuai dengan tujuan awalnya.
ADVERTISEMENT
Para mahasiswa juga harus diberikan pemahaman yang lebih luas mengenai pentingnya memilih program MBKM yang benar-benar berkualitas dan relevan dengan tujuan pembelajaran mereka. Mahasiswa harus diberi kebebasan untuk mengeksplorasi dan mengembangkan diri mereka, tetapi dengan bimbingan yang memadai untuk memastikan bahwa mereka tidak salah arah dan tersesat. MBKM bukan hanya tentang kebebasan belajar, tetapi juga tentang bagaimana kebebasan tersebut diarahkan untuk pembentukan keterampilan yang substantif, sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas dan berdaya saing tinggi.