Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pilkada 2024: Memilih Pemimpin Altruistik
30 September 2024 10:59 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Fiderman Gori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kontestasi politik pemilihan kepala daerah kembali diselenggarakan di 545 daerah di Indonesia. Berdasarkan peraturan yang telah terbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), pelaksanaan pilkada tersebut akan digelar pada 27 November 2024 mendatang.
ADVERTISEMENT
Secara politik tentu ini sebuah sinyal kebahagiaan bagi masyarakat Indonesia untuk kembali memilih pemimpinnya secara langsung, bebas dan adil. Namun tidak kalah penting bagi para petualang politik, pilkada yang akan dilaksanakan pada November mendatang menjadi ruang kompetisi polisi untuk mendapatkan kekuasaan dari masyarakat secara demokratis.
Sebelum masuk pada inti tulisan ini, perlu digaris bawahi bahwa pilkada merupakan produk demokrasi yang digerakkan melalui sentral politik dan didasari dengan nilai-nilai keberpihakan kepada masyarakat. Keberpihakan yang dimaksud adalah keberpihakan terhadap kesejahteraan ekonomi, pendidikan, kesehatan, keadilan hukum dan sebagainya. Atas dasar inilah demokrasi politik dilaksanakan melalui proses pilkada agar hak-hak masyarakat tersebut dapat terwujud dan tercapai sesuai amanat konstitusi.
Selain itu, esensi lain kenapa demokrasi politik (pilkada) dilaksanakan, alasan mendasarnya adalah agar terjadi sirkulasi elit politik dan juga sebagai bahan evaluasi politik bagi masyarakat terhadap pemimpinnya. Sehingga ketika pilkada dilaksanakan maka masyarakat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk melihat, menilai dan memilih sesuai keinginan dan hati nurani masyarakat tanpa intervensi politik manapun.
ADVERTISEMENT
Jadi, baik buruknya seorang pemimpin atau seorang kepala daerah yang dilahirkan oleh masyarakat melalui proses demokrasi merupakan konsekuensi logis yang harus diterima oleh masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu agar masyarakat tidak salah memilih pemimpin untuk lima tahun kedepan masyarakat wajib terlibat dalam proses politik secara berkala. Supaya sosok pemimpin yang dipilih bukan pemimpin karbitan, bukan pemimpin karena modal besar dan bukan juga karena dorongan pihak-pihak tertentu yang sarat dengan kepentingan politik.
Pemimpin Altruistik
Lantas, seperti apa pemimpin yang hendak dipilih oleh masyarakat? Berangkat dari sebuah istilah altruistik suatu kata yang fenomenal, adalah tindakan sukarela yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun, kecuali telah memberikan suatu kebaikan (Pujiyanti 2009). Pemimpin altruistik ini sebuah sikap menunjukkan keinginan untuk membantu atau memberi keuntungan kepada orang lain, bahkan jika itu mengakibatkan kerugian bagi dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya adalah apa korelasinya terhadap pilkada yang diselenggarakan pada November mendatang? Seperti yang disampaikan di awal tulisan ini pilkada dilaksanakan untuk memilih pemimpin yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat, bukan sebaliknya pilkada dilaksanakan semata-mata untuk euforia demokrasi dengan kampanye yang membabi-buta dan berlebihan.
Maka untuk memilih pemimpin yang akan berkuasa pada kontestasi politik pilkada 2024 adalah seorang pemimpin yang memiliki jiwa altruistik. Pemimpin berjiwa altruistik ini seseorang yang mampu mementingkan kepentingan masyarakat umum dari pada kepentingan pribadi, kelompok maupun golongannya. Dia harus menjadi pemimpin di atas seluruh perbedaan ras, etnis, agama maupun golongan. Sehingga pada praktisnya seorang pemimpin dengan jiwa altruistik ini dapat bertindak tanpa pamrih dan memperhatikan kesejahteraan dan keadilan di seluruh aspek kehidupan sosial masyarakat.
ADVERTISEMENT
Di tengah intensitas politik hari ini yang semakin menyala dan panas, masyarakat jangan lengah pada kondisi ini. Masyarakat harus memiliki daya kritis yang maksimal agar politik retorik-propaganda dan janji-janji manis yang menyenangkan bisa difilter dengan baik dan benar. Berani keluar dari zona nyaman karena kedaulatan tertinggi ada di tangan masyarakat bukan di tangan kandidat maupun di tangan para tim sukses.
Sebagai penutup tulisan ini, izinkan saya kembali mengingatkan sebuah kalimat seorang ahli filsafat dan pengamat demokrasi mengatakan "Pemilu bukan memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa"Romo Magnis Suseno.