Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Melihat Keterkaitan antara Kemiskinan dan Perkawinan Anak di Pedesaan
30 November 2024 17:23 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Firda Aulia Rahma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perkawinan anak di bawah umur merupakan salah satu isu sosial yang mendesak untuk dianalisis karena dampaknya yang multidimensi terhadap individu, keluarga, dan masyarakat. Praktik ini, yang banyak terjadi di pedesaan, sering kali dipicu oleh kemiskinan yang meluas dan norma budaya yang mengakar. Anak perempuan yang menikah pada usia muda kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan, meningkatkan risiko kesehatan reproduksi, dan terjebak dalam lingkaran kemiskinan antargenerasi. Di sisi lain, meskipun telah ada peraturan hukum di Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 dan Undang-Undang Perlindungan Anak, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa praktik ini tetap berlangsung, sering kali melalui celah dispensasi hukum. Dengan menggunakan pendekatan sosiologi hukum, analisis ini penting dilakukan untuk memahami bagaimana norma sosial di pedesaan sering kali berbenturan dengan hukum formal, sehingga memperkuat siklus kemiskinan dan ketidakadilan.
ADVERTISEMENT
Kemiskinan di pedesaan kerap menjadi akar dari berbagai permasalahan sosial, termasuk perkawinan anak. Banyak keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan menganggap anak perempuan sebagai tanggungan ekonomi yang harus segera "diselesaikan" melalui pernikahan. Dengan menikahkan anak perempuan, keluarga sering kali berharap dapat mengurangi beban finansial atau bahkan memperoleh "mahar" yang bisa digunakan untuk kebutuhan lain. Dalam perspektif sosiologi hukum, praktik ini mencerminkan adanya "gap" antara hukum formal dan hukum sosial yang berlaku di masyarakat. Norma sosial yang berkembang di pedesaan sering kali lebih mendominasi perilaku masyarakat dibandingkan dengan aturan hukum formal. Dalam kasus perkawinan anak, tradisi dan kepercayaan lokal sering kali membenarkan praktik ini meskipun bertentangan dengan hukum nasional.
Pendekatan sosiologi hukum membantu kita memahami bagaimana masyarakat pedesaan memandang hukum. Dalam konteks ini, hukum sering kali dianggap sebagai sesuatu yang jauh dari realitas kehidupan sehari-hari, terutama ketika masyarakat menghadapi tekanan ekonomi yang mendesak. Selain itu, sistem hukum di Indonesia, meskipun telah mencantumkan perlindungan bagi anak, sering kali tidak dapat diterapkan secara efektif di tingkat lokal. Misalnya, meskipun Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 telah mengatur batas usia pernikahan, celah hukum seperti dispensasi pernikahan yang dapat diberikan oleh pengadilan agama justru sering digunakan untuk melegitimasi perkawinan anak. Data menunjukkan bahwa dispensasi ini banyak diajukan di daerah pedesaan, dengan alasan ekonomi atau tradisi keluarga.
ADVERTISEMENT
Norma budaya juga memainkan peran penting dalam mendukung keberlangsungan perkawinan anak di pedesaan. Banyak komunitas pedesaan memegang nilai bahwa perempuan harus menikah muda untuk menjaga kehormatan keluarga. Ketakutan terhadap stigma sosial jika anak perempuan dianggap "terlambat menikah" mendorong keluarga untuk menikahkan anak mereka sebelum mencapai usia dewasa. Dalam hal ini, norma sosial menjadi tantangan besar bagi implementasi hukum formal. Hukum nasional yang melarang perkawinan anak sering kali berbenturan dengan nilai-nilai lokal yang sudah mendarah daging di masyarakat.
Analisis dampak perkawinan anak dari perspektif sosiologi hukum juga menunjukkan bahwa praktik ini berkontribusi pada siklus kemiskinan yang sulit dipecahkan. Anak perempuan yang menikah muda sering kali terputus dari pendidikan, kehilangan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan, dan terjebak dalam pekerjaan informal yang tidak menjanjikan keamanan ekonomi. Dalam jangka panjang, ketidaksamaan ini menciptakan ketimpangan gender yang lebih besar dan memperkuat struktur sosial yang tidak adil. Sistem hukum yang seharusnya melindungi hak anak sering kali tidak dapat menjangkau komunitas-komunitas pedesaan yang terisolasi secara geografis maupun budaya, sehingga masalah ini terus berulang.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks hukum yang berlaku di Indonesia, perkawinan anak tidak hanya bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan, tetapi juga melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 yang menegaskan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan. Namun, penegakan undang-undang ini sering menghadapi tantangan besar di lapangan. Kurangnya kesadaran masyarakat akan hak anak, lemahnya sistem pengawasan, dan ketiadaan sanksi yang tegas membuat aturan hukum sulit untuk benar-benar diterapkan. Selain itu, dispensasi pernikahan yang diberikan oleh pengadilan agama menunjukkan adanya dualisme hukum yang memungkinkan norma-norma tradisional untuk tetap eksis, meskipun bertentangan dengan prinsip hukum perlindungan anak.
Solusi untuk mengatasi masalah ini memerlukan pendekatan yang lebih terintegrasi, menggabungkan upaya hukum, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat. Pertama, pemerintah perlu memperkuat regulasi terkait dispensasi pernikahan dengan memperketat syarat-syarat pengajuan dan meningkatkan pengawasan terhadap implementasinya. Langkah ini harus diiringi dengan edukasi kepada masyarakat tentang dampak buruk perkawinan anak, baik dari segi kesehatan, pendidikan, maupun hak anak. Program pendidikan berbasis komunitas yang melibatkan tokoh agama dan adat dapat menjadi sarana yang efektif untuk mengubah paradigma masyarakat pedesaan.
ADVERTISEMENT
Kedua, pemberdayaan ekonomi keluarga miskin di pedesaan menjadi langkah yang tidak kalah penting. Program pengentasan kemiskinan seperti pemberian akses kredit mikro, pelatihan keterampilan, dan bantuan usaha kecil dapat membantu keluarga meningkatkan taraf hidup mereka sehingga tidak lagi melihat perkawinan anak sebagai solusi ekonomi. Pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat juga dapat bekerja sama dalam menciptakan program-program inovatif yang memberdayakan anak perempuan untuk tetap bersekolah dan meraih impian mereka.
Ketiga, reformasi sistem hukum perlu dilakukan untuk memastikan bahwa perlindungan anak dapat diterapkan secara efektif di tingkat lokal. Pendekatan berbasis komunitas, seperti membentuk kelompok advokasi lokal yang peduli terhadap hak anak, dapat membantu mendorong perubahan sosial di tingkat akar rumput. Selain itu, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum di wilayah pedesaan juga penting untuk memastikan bahwa hukum formal tidak hanya menjadi teks di atas kertas, tetapi benar-benar menjadi alat perlindungan bagi anak-anak.
ADVERTISEMENT
Keterkaitan antara kemiskinan dan perkawinan anak di pedesaan tidak hanya mencerminkan masalah ekonomi, tetapi juga menunjukkan bagaimana norma sosial dan kelemahan sistem hukum saling memperkuat masalah ini. Pendekatan sosiologi hukum menunjukkan bahwa hukum formal tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan masyarakat. Oleh karena itu, langkah-langkah komprehensif yang melibatkan perubahan norma sosial, penguatan regulasi hukum, dan pemberdayaan ekonomi sangat dibutuhkan untuk mengakhiri praktik perkawinan anak. Dengan sinergi antara upaya ini, kita dapat memberikan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak di Indonesia, terutama mereka yang tinggal di wilayah pedesaan.
Firda Aulia Rahma, Mahasiswi Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta