Konten dari Pengguna

Bisik-bisik Kekuasaan di Balik Malam

Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
8 Maret 2025 13:09 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Malam adalah selimut rahasia. Di balik keheningan, sesuatu bisa disembunyikan, atau justru, sesuatu diungkapkan dengan cara yang berbeda. Malam memberi ruang bagi bisikan, bagi pertemuan yang tak harus diketahui siapa pun. Demikianlah politik, demikian pula hukum, dua wajah yang kadang bercumbu dalam gelap, di luar jangkauan mata publik.
ADVERTISEMENT
Dan di sebuah malam yang telah larut, sebuah pertemuan terjadi. Menteri BUMN Erick Thohir bertemu dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Tak ada panggung, tak ada siaran langsung, tak ada pengumuman resmi sebelum publik mencium baunya. Isinya, kata mereka, soal kasus dugaan korupsi besar di tubuh Pertamina Patra Niaga—sebuah skandal yang menguapkan angka Rp193,7 triliun.
Tetapi publik telah belajar membaca lebih dari sekadar berita. Transparansi adalah kata yang mudah diucapkan, tetapi dalam praktiknya, ia sering datang dengan wajah samar. Seperti kaca buram yang dikira jernih, sampai akhirnya kita menyadari ada lapisan debu kepentingan yang menempel di permukaannya.
Ilustrasi pengisian bahan bakar di SPBU Pertamina Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Sandiwara atau Kesungguhan?
Di negeri ini, pertemuan pejabat selalu menjadi tafsir yang lebih luas dari sekadar agenda resmi. Jika pertemuan itu terjadi di siang hari, di depan kamera, di ruang sidang atau konferensi pers, mungkin lebih mudah diterima sebagai koordinasi formal. Tetapi ketika pejabat tinggi negara bertemu dalam keheningan malam, kecurigaan lebih mudah tumbuh.
ADVERTISEMENT
Apalagi, pertemuan ini terjadi ketika kasus yang tengah diusut sangat besar, melibatkan industri energi, perusahaan negara, dan tentu saja kepentingan banyak pihak. Apakah pertemuan ini sekadar bentuk komunikasi antara menteri dan penuntut umum dalam memberantas korupsi? Ataukah ada sesuatu yang lebih dalam, yang mungkin tak ingin diumumkan pada publik?
Kecurigaan itu bukan tanpa alasan. Di banyak kasus korupsi besar yang pernah terjadi di republik ini, ada pola yang bisa dikenali: ada skandal yang bocor, ada gelombang reaksi publik, ada upaya menenangkan keadaan, lalu ada perundingan di balik layar yang menentukan arah perkara.
Transparansi yang Kabur
Transparansi, dalam makna idealnya, adalah jendela yang memungkinkan publik melihat apa yang dilakukan oleh pengelola negara. Tetapi dalam praktiknya, transparansi sering kali hanya menjadi ilusi. Ada hal-hal yang tampak jelas, tetapi esensinya tetap kabur.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus pertemuan ini, ada pertanyaan mendasar yang muncul: Mengapa harus di malam hari? Mengapa bukan dalam ruang formal yang bisa diakses oleh publik atau minimal bisa dikawal oleh lembaga pengawas? Mengapa baru dikonfirmasi setelah ada kecurigaan?
Di titik ini, transparansi menjadi permainan kata. Pejabat publik sering kali berbicara tentang keterbukaan, tetapi keterbukaan seperti apa yang mereka maksud? Apakah transparansi hanya sebatas memberikan pengumuman ketika semua telah disusun rapi? Ataukah transparansi berarti membiarkan publik ikut serta dalam proses, memahami segala dinamika tanpa ada yang ditutupi?
Erick Thohir sendiri menyebut pertemuan ini sebagai bentuk koordinasi dengan aparat hukum, sebagai bagian dari komitmennya dalam memberantas korupsi di BUMN. Tapi publik bukan sekadar penonton pasif yang bisa diredakan dengan pernyataan-pernyataan formal.
ADVERTISEMENT
Ada sesuatu yang mengganjal di sini: jika memang niatnya bersih, mengapa harus dilakukan dalam senyap? Jika memang tidak ada yang disembunyikan, mengapa harus ada ruang bagi spekulasi?
Pertarungan atau Simbiosis?
Dalam filsafat hukum, ada pertanyaan mendasar tentang relasi antara hukum dan politik. Hukum, dalam idealismenya, berdiri sendiri sebagai instrumen keadilan. Ia tidak boleh tunduk pada kekuatan politik, tidak boleh menjadi alat bagi kepentingan sesaat. Tetapi dalam realitasnya, hukum sering kali menjadi bagian dari permainan politik, dipakai untuk memperkuat atau menekan kekuasaan.
Pertemuan Erick Thohir dan Jaksa Agung ini membuka ruang untuk mempertanyakan ulang hubungan antara hukum dan politik di Indonesia. Apakah hukum benar-benar sedang bekerja untuk mengusut kasus Pertamina dengan independen? Ataukah ada kekuatan politik yang mencoba mengatur ritme penyelesaian kasus ini?
ADVERTISEMENT
Sebab kita tahu, ada banyak kasus besar di negeri ini yang pada akhirnya kehilangan momentum, atau bahkan berakhir dengan kompromi yang tidak memuaskan rasa keadilan.
Kasus Jiwasraya, Asabri, Garuda Indonesia—semua memiliki pola yang serupa. Ada gebrakan awal yang kuat, ada komitmen yang digaungkan, tetapi di ujung perjalanan, ada pertanyaan yang tersisa: apakah semua aktor utama benar-benar ditindak, ataukah ada yang lolos karena perlindungan politik?
Labirin Kepentingan yang Rumit
Pertamina bukan sekadar perusahaan negara. Ia adalah salah satu entitas ekonomi terbesar di Indonesia, menguasai industri energi yang menjadi nadi kehidupan masyarakat. Dalam tubuhnya, bertaut kepentingan dari berbagai kelompok: pemerintah, politisi, swasta, dan bahkan kekuatan asing.
Kasus Pertamina Patra Niaga ini bukan sekadar soal korupsi teknis. Ini adalah kasus yang menyentuh jantung kekuasaan ekonomi negara. Jika benar ada pengoplosan BBM dari Pertalite menjadi Pertamax untuk keuntungan segelintir orang, maka ini bukan sekadar kejahatan keuangan—ini adalah pengkhianatan terhadap publik.
ADVERTISEMENT
Dan jika pertemuan Erick Thohir dan Jaksa Agung berkaitan dengan bagaimana skandal ini akan ditangani, maka pertanyaannya menjadi lebih serius: apakah hukum akan bekerja secara penuh? Ataukah akan ada negosiasi yang menguntungkan sebagian pihak?
Di Mana Posisi Publik?
Dalam semua ini, di mana posisi publik?
Demokrasi seharusnya memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan penegakan hukum. Tetapi pertemuan larut malam ini menunjukkan bahwa masih ada wilayah-wilayah dalam politik yang dikecualikan dari pengawasan publik.
Jika pertemuan ini benar-benar bertujuan untuk memastikan keadilan ditegakkan, maka seharusnya transparansi menjadi prinsip utama. Tidak cukup hanya dengan memberikan pernyataan setelah pertemuan terjadi. Tidak cukup hanya dengan menjanjikan bahwa hukum akan berjalan dengan semestinya.
ADVERTISEMENT
Kepercayaan publik tidak bisa dibangun hanya dengan kata-kata. Ia membutuhkan tindakan nyata, membutuhkan keterbukaan yang tidak setengah-setengah.
Politik yang Dewasa, Hukum yang Berwibawa
Indonesia bukan lagi republik yang baru lahir. Kita telah melewati banyak fase, dari era otoritarianisme ke era reformasi, dari demokrasi yang rapuh menuju demokrasi yang lebih matang. Tetapi satu hal yang masih menjadi pekerjaan rumah kita adalah bagaimana memastikan bahwa hukum benar-benar berdiri di atas kepentingan rakyat, bukan menjadi alat permainan politik.
Pertemuan Erick Thohir dan Jaksa Agung bisa saja hanya sebatas koordinasi biasa. Tetapi bisa juga menjadi cermin dari bagaimana hukum dan kekuasaan masih berdansa dalam ruang-ruang gelap.
Yang bisa kita lakukan adalah tetap waspada, tetap mengawasi, tetap mempertanyakan. Sebab demokrasi bukan soal percaya begitu saja, tetapi soal memastikan bahwa kekuasaan bekerja sebagaimana mestinya—terang, terbuka, dan tanpa kepentingan tersembunyi.
ADVERTISEMENT