Konten dari Pengguna

Demokrasi yang Dibatalkan

Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
27 Februari 2025 8:57 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tasikmalaya, tanah Priangan yang dikenal dengan kesederhanaan dan keteguhannya, kini menjadi panggung dari sebuah drama konstitusional. Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga yang sering dianggap benteng terakhir keadilan, telah mengetukkan palu yang mengguncang suara rakyat. Dengan satu putusan, suara yang sudah disuarakan dalam Pilkada 2024 dibatalkan, seolah demokrasi hanyalah permainan angka dalam sidang para hakim berjubah hitam.
ADVERTISEMENT
Kita bisa saja berbicara hukum dengan segala terminologi tinggi: konstitusionalitas, legitimasi, diskualifikasi, hingga pemungutan suara ulang. Namun, bagi warga yang datang ke TPS dengan harapan memilih pemimpin mereka, putusan MK bukan sekadar peristiwa hukum. Ia adalah sebuah kekecewaan, perasaan bahwa suara mereka tidak lebih dari lembaran kertas yang bisa dengan mudah dihapus dalam berita utama di layar televisi.
Ilustrasi Pemungutan Suara, Sumber: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemungutan Suara, Sumber: Freepik
Putusan yang Menghukum Masa Depan
MK telah memutuskan bahwa Ade Sugianto, yang dinyatakan menang dalam Pilkada Tasikmalaya 2024, tidak sah karena telah menjabat sebagai bupati dua periode. Sebuah fakta hukum yang memang tak terbantahkan. Namun di balik ketegasan aturan, ada pertanyaan yang menggantung di langit-langit peradilan: di mana posisi rakyat dalam perkara ini?
ADVERTISEMENT
Pemilu adalah ekspresi kehendak publik, bukan hanya kontestasi aturan. Jika ada kesalahan dalam proses pencalonan, mengapa kesalahan itu tidak dicegah sejak awal? KPU, Bawaslu, bahkan partai politik sebagai institusi yang mengusung calon, adalah penjaga gerbang yang semestinya memastikan segalanya berjalan sesuai koridor hukum. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya: kesalahan administratif itu dibiarkan, hingga rakyat dipaksa membayar harga yang bahkan bukan kesalahan mereka.
Putusan MK memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU). Artinya, puluhan ribu warga harus kembali ke TPS, mengulang proses yang bagi mereka seharusnya sudah selesai. Tak hanya itu, putusan ini juga memicu pertanyaan lebih besar: apakah pengadilan yang seharusnya menjaga demokrasi justru telah menguburnya?
Hukum, Politik, dan Kesejatian Demokrasi
Dalam sejarahnya, hukum selalu menjadi medan tarik-menarik antara idealisme dan kepentingan. Montesquieu berbicara tentang pemisahan kekuasaan agar hukum tidak menjadi alat tirani. Tetapi dalam praktiknya, hukum sering kali menjadi instrumen bagi kelompok-kelompok tertentu, tersembunyi dalam bahasa yang sulit dijangkau oleh orang biasa.
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi, dengan segala kehormatannya, tak lepas dari dilema ini. Ia bertugas memastikan konstitusi ditegakkan, tetapi apakah menegakkan hukum selalu berarti menegakkan keadilan? Apa yang kita saksikan di Tasikmalaya menunjukkan bagaimana hukum bisa begitu tegas terhadap teks, tetapi abai terhadap konteks.
Di ruang-ruang elite, putusan ini mungkin dirayakan sebagai kemenangan aturan hukum. Tetapi di gang-gang sempit, di sawah dan pasar, orang-orang bertanya: mengapa suara mereka menjadi tidak berarti? Apakah dalam demokrasi ini, rakyat hanyalah objek, bukan subjek?
Ironisnya, putusan MK ini datang di tengah gelombang skeptisisme terhadap lembaga tersebut. Setelah kontroversi perpanjangan batas usia calon presiden, kepercayaan terhadap MK sudah mulai rapuh. Kini, keputusan yang mencabut hasil pilkada di Tasikmalaya semakin mempertebal kecurigaan bahwa hukum mungkin tidak lagi berdiri sebagai penjaga demokrasi, tetapi sebagai alat untuk menentukan siapa yang boleh berkuasa dan siapa yang harus menunggu giliran.
ADVERTISEMENT
Suara yang Hilang, Harapan yang Dirusak
Bagi mereka yang sehari-hari bekerja di kebun, berdagang di pasar, atau mengajar di sekolah-sekolah kecil, demokrasi bukanlah teori. Ia adalah harapan bahwa dengan mencoblos di bilik suara, mereka ikut menentukan nasib daerahnya. Tetapi putusan MK ini membuat semua itu tampak sia-sia.
Seseorang yang sudah memilih dengan penuh keyakinan kini harus menghadapi kenyataan bahwa pilihannya dihapus oleh keputusan yang diambil di sebuah ruangan jauh di Jakarta. Apakah suara rakyat tidak lebih berharga daripada perdebatan para hakim?
Di banyak negara, demokrasi lahir dari pergulatan panjang antara hukum dan kekuasaan. Tapi dalam setiap prosesnya, satu prinsip tak boleh diabaikan: hukum ada untuk melindungi kehendak rakyat, bukan untuk menghapusnya. Jika kesalahan administratif dalam pencalonan seorang kandidat bisa menyebabkan hasil pilkada dibatalkan, bukankah itu menandakan ada yang salah dalam sistem kita? Mengapa kesalahan itu tidak diperbaiki sebelum pemungutan suara?
ADVERTISEMENT
Hukum yang tidak memahami rakyatnya adalah hukum yang mati. Demokrasi yang tidak mendengar suara pemilihnya adalah demokrasi yang hampa. Jika pemilihan bisa dengan mudah dibatalkan karena kesalahan yang dibiarkan sejak awal, maka untuk apa ada pemilu? Untuk apa ada kampanye? Untuk apa ada janji perubahan?
Belajar dari Kesalahan, Bukan Menghukum Rakyat
Tasikmalaya kini berada di persimpangan jalan. PSU harus dilakukan, tetapi luka akibat keputusan ini tidak akan sembuh begitu saja. Ada kelelahan yang nyata, ada kebingungan yang merayap di benak warga. Mereka bertanya-tanya, apakah PSU ini benar-benar diperlukan? Atau ini hanya bagian dari skenario yang lebih besar, yang mereka sendiri tidak mengerti?
Di titik ini, ada pelajaran yang harus kita ambil. Sistem hukum kita harus lebih cermat dalam menilai syarat pencalonan sejak awal, bukan setelah pemilu selesai. KPU dan Bawaslu harus benar-benar menjalankan fungsinya, agar rakyat tidak menjadi korban dari kesalahan administratif yang bisa dihindari.
ADVERTISEMENT
Dan yang lebih penting, Mahkamah Konstitusi harus mulai bertanya pada dirinya sendiri: apakah keadilan hanya soal menegakkan aturan tertulis, atau juga soal menjaga kepercayaan rakyat terhadap demokrasi?
Dalam sejarahnya, hukum telah menjadi alat bagi banyak penguasa untuk mempertahankan kekuasaan, tetapi juga menjadi pelindung bagi mereka yang tak bersuara. Di Tasikmalaya, kita melihat bagaimana hukum bisa sekaligus menjadi harapan dan pengkhianatan.
Namun, satu hal yang harus diingat: rakyat tak akan selamanya diam. Suara mereka mungkin bisa dihapus hari ini, tetapi tidak selamanya mereka bisa dibungkam. Demokrasi bukan hanya soal aturan, tetapi juga soal kepercayaan. Dan ketika kepercayaan itu hilang, tak ada palu hakim yang bisa mengembalikannya dengan mudah.