Konten dari Pengguna

Pilkada oleh DPRD: Wacana Usang Gaya Orba

FIRDAUS ARIFIN
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan
23 Desember 2024 11:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari FIRDAUS ARIFIN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemilu/pilkada.  Foto: Dok Kemenkeu
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemilu/pilkada. Foto: Dok Kemenkeu
ADVERTISEMENT
Wacana untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD kembali muncul di tengah perdebatan demokrasi Indonesia yang semakin dinamis. Dalih efisiensi anggaran dan pengurangan polarisasi politik dijadikan alasan untuk mendorong gagasan ini. Namun, terlepas dari kemasan retorisnya, wacana ini tidak lebih dari upaya menghidupkan kembali pola Orde Baru yang transaksional dan mengabaikan hak rakyat untuk memilih langsung pemimpin daerah mereka.
ADVERTISEMENT
Konteks sejarah pilkada oleh DPRD menunjukkan bahwa mekanisme ini memiliki rekam jejak yang penuh masalah. Pada masa Orde Baru, pemilihan kepala daerah oleh DPRD lebih banyak ditentukan oleh negosiasi politik elite, dengan praktik uang pelicin yang kerap membayangi setiap keputusan. Sebaliknya, pilkada langsung yang diperkenalkan pada 2005 merupakan bagian dari pencapaian reformasi untuk memperkuat demokrasi lokal dan memperluas ruang partisipasi politik rakyat.
Sayangnya, wacana ini kembali hadir dalam ruang politik kontemporer. Padahal, jika kita ingin membangun demokrasi yang matang, langkah ini tidak hanya kontraproduktif tetapi juga menempatkan kita pada risiko kemunduran serius dalam tata kelola demokrasi lokal.

Dalih Efisiensi Anggaran: Narasi yang Menyesatkan

Salah satu alasan utama yang diajukan pendukung pilkada oleh DPRD adalah biaya pilkada langsung yang dinilai terlalu mahal. Argumen ini, meskipun tampak rasional di permukaan, sebenarnya adalah narasi menyesatkan.
ADVERTISEMENT
Benar bahwa pilkada langsung membutuhkan biaya besar, baik dari sisi penyelenggaraan oleh negara maupun pengeluaran kampanye kandidat. Namun, solusi atas masalah ini bukanlah menghapus mekanisme pemilihan langsung, melainkan reformasi sistem pemilu. Pembatasan pengeluaran kampanye, regulasi ketat terhadap sumbangan dana politik, dan penguatan pengawasan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk menekan biaya politik tanpa harus mencabut hak rakyat dalam memilih pemimpinnya.
Selain itu, narasi efisiensi ini juga mengabaikan nilai demokrasi yang tidak dapat diukur semata-mata dengan kalkulasi anggaran. Demokrasi adalah investasi jangka panjang yang bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang lebih akuntabel dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Mengembalikan pilkada ke DPRD, meskipun mungkin lebih murah secara anggaran, justru akan merusak akuntabilitas tersebut.
ADVERTISEMENT

Mitigasi Konflik atau Pengalihan Konflik?

Pendukung wacana ini juga sering mengeklaim bahwa pilkada langsung memicu konflik horizontal di masyarakat. Klaim ini, meskipun tidak sepenuhnya salah, cenderung dilebih-lebihkan. Konflik yang muncul dalam pilkada langsung sering kali disebabkan oleh lemahnya regulasi politik, kurangnya penegakan hukum, dan ketidaksiapan institusi penyelenggara pemilu.
Dengan kata lain, masalahnya bukan pada mekanisme pemilihan langsung itu sendiri, tetapi pada pengelolaan proses demokrasi yang masih memiliki banyak celah. Mengubah mekanisme pemilihan dari langsung ke DPRD tidak akan menghilangkan konflik, melainkan hanya memindahkan konfliknya. Pilkada oleh DPRD, seperti yang terjadi di masa lalu, berpotensi menimbulkan konflik vertikal, di mana rakyat merasa kehilangan kontrol atas proses demokrasi. Rasa frustrasi terhadap elite politik yang semakin jauh dari aspirasi rakyat dapat memunculkan ketidakpercayaan yang lebih dalam terhadap sistem pemerintahan.
ADVERTISEMENT

Kembalinya Politik Transaksional

Wacana pilkada oleh DPRD juga membuka kembali pintu bagi politik transaksional yang pernah menjadi ciri khas Orde Baru. Dalam sistem ini, pemilihan kepala daerah oleh DPRD lebih banyak ditentukan oleh lobi-lobi politik di ruang tertutup daripada aspirasi rakyat. Praktik “mahar politik” yang harus dibayar kandidat kepada anggota DPRD menjadi rahasia umum yang mencoreng integritas demokrasi lokal pada masa itu.
Kemungkinan kembalinya politik transaksional ini sangat besar jika mekanisme pilkada oleh DPRD diterapkan kembali. Dalam kondisi di mana korupsi politik masih menjadi masalah serius di Indonesia, wacana ini justru memperbesar peluang bagi elite politik untuk memperdagangkan jabatan publik. Kepala daerah yang terpilih melalui DPRD lebih cenderung mengutamakan loyalitas kepada anggota DPRD atau partai politik yang mendukungnya daripada kepentingan rakyat yang seharusnya mereka wakili.
ADVERTISEMENT

Pilar Demokrasi Lokal yang Harus Dipertahankan

Pilkada langsung adalah salah satu pencapaian reformasi yang paling penting dalam memperkuat demokrasi lokal di Indonesia. Mekanisme ini memungkinkan rakyat untuk secara langsung memberikan mandat kepada pemimpin daerahnya, sehingga menciptakan hubungan akuntabilitas yang lebih kuat antara kepala daerah dan masyarakat.
Meski tidak sempurna, pilkada langsung telah menghasilkan sejumlah kepala daerah yang memiliki legitimasi kuat di mata rakyat. Hal ini berbeda dengan era Orde Baru, di mana banyak kepala daerah lebih sibuk melayani kepentingan pusat kekuasaan atau kelompok politik tertentu daripada rakyat.
Menghapus pilkada langsung sama saja dengan meruntuhkan pilar penting dalam bangunan demokrasi kita. Jika memang ada masalah dalam penyelenggaraan pilkada langsung, solusinya adalah memperbaiki regulasi dan tata kelola, bukan dengan mengembalikan sistem yang sudah terbukti cacat.
ADVERTISEMENT

Belajar dari Sejarah, Menjaga Semangat Reformasi

Sejarah telah memberikan kita pelajaran berharga tentang risiko mekanisme pilkada oleh DPRD. Namun, tampaknya ada sebagian elite politik yang lupa atau sengaja mengabaikan pelajaran tersebut demi kepentingan pragmatis. Wacana ini, jika terus didorong, akan menjadi kemunduran besar dalam perjalanan demokrasi kita yang baru dua dekade ini berusaha meninggalkan bayang-bayang Orde Baru.
Demokrasi bukan hanya tentang memilih cara yang lebih mudah atau murah, tetapi tentang memastikan bahwa hak-hak rakyat terjamin dan suara mereka didengar. Wacana pilkada oleh DPRD, dengan segala dalih yang menyertainya, tidak lebih dari upaya untuk mereduksi peran rakyat dalam proses politik.
Sebagai bangsa yang telah melalui reformasi dengan harga mahal, kita tidak boleh membiarkan langkah mundur ini terjadi. Reformasi adalah tonggak sejarah yang telah memberikan rakyat ruang untuk menentukan nasib mereka sendiri. Mengembalikan pilkada ke tangan DPRD adalah pengkhianatan terhadap semangat reformasi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Demokrasi lokal adalah fondasi dari demokrasi nasional. Jika fondasi ini dirusak, maka seluruh bangunan demokrasi kita akan rapuh. Oleh karena itu, tugas kita sebagai warga negara adalah terus mengawal dan memperkuat demokrasi, bukan menyerah kepada nostalgia politik gaya Orde Baru yang sudah seharusnya kita tinggalkan.