Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Catatan Mini: Menanggalkan Tugas Akhir
4 Januari 2022 11:33 WIB
Tulisan dari Firhandika Santury tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah proposal penelitian saya resmi dinyatakan layak sekitar pertengahan tahun 2021 lalu, bersamaan dengan itu pula penelitian saya mulai tersendat atau bahkan bisa dibilang mandek. Saya tanggalkan seluruh aktivitas penelitian selama berbulan-bulan. Terhitung, hampir 6 bulan saya tidak melakukan hal apapun yang berkaitan dengan penelitian syarat kelulusan sarjana itu.
Naskah sama sekali tak tersentuh. Bahkan hasrat untuk kembali membukanya pun tidak ada. Entah kenapa, saya malah lebih suka menghabiskan sebagian waktu saya untuk membaca buku-buku aneh dan berkegiatan di luar kampus seperti mengikuti pagelaran diskusi, membuat komunitas baru, mendirikan perpustakaan masyarakat, dan menautkan diri sebagai volunteer di salah satu NGO nasional yang memiliki cabang di daerah tempat tinggal saya.
ADVERTISEMENT
Polemik Penelitian
Penelitian saya mengambil topik prostitusi. Sebuah topik yang tidak biasa bagi departemen kuliah saya: Ilmu Politik dan Pemerintahan. Mulanya, saya berpikir untuk membikin konsep yang lebih gila lagi. Dalam artian, mecoba untuk merangkai penelitian berdasar teori-teori ilmu politik dan pemerintahan yang dapat dibilang lebih update.
Perlu digarisbawahi bila hal-hal semacam itu masih terdengar asing bagi sebagian dosen di departemen yang masih kuat dengan paradigma klasik: institusionalis. Sederhananya, semua hal yang berkaitan dengan pemerintahan harus merujuk pada institusi pemerintah, sementara hal yang berkaitan dengan politik tidaklah boleh jauh-jauh dari pemilihan umum dan partai politik.
Kesimpulan semacam itu saya dapati ketika mengikuti beberapa kali proses bimbingan sebelum uji kelayakan naskah proposal. Lebih persisinya, ketika saya diminta untuk memamparkan gagasan penelitian yang akan digarap. Saya sampaikan, kurang lebih, saya akan meneliti pekerja seks komersial di tempat tinggal saya dengan dua pilihan teori: self governance dan daily life politics.
Selain beberapa dosen, saya yakin betul jika kedua teori ini sangat asing di telingga mahasiswa sejurusan. Bagaimana tidak? Kebanyakan dosen hanya memberi teori-teori yang mereka dapati ketika kuliah di eranya dengan kitab biru pengantar ilmu politik andalan. Sementara hingga hari ini, tak terhitung banyaknya ilmu pengetahuan ikhwal politik dan pemerintahan yang telah jauh berkembang melampaui masa-masanya.
ADVERTISEMENT
Bila digambarkan, keterkaitan antara dua teori yang akan saya gunakan dengan topik prostitusi, dalam hal ini pekerja seks komersial, kurang lebih begini. Pertama, self governance. Saya ingin melihat bagaimana para pekerja seks komersial mengorganisir kehidupanya berkaitan dengan praktik prostitusi. Di luar kealphaan pemerintah yang saya amati sejauh ini, mengetahui bagaimana mereka mempertahankan diri adalah hal yang menarik. Ini adalah bentuk terkecil dalam pemerintahan. Terlebih, di lokasi prostitusi itu tak ada lokalisasi dan peraturan eksplisit mengenai pekerja seks komersial.
Kedua, daily life politics. Melalui teori ini, penelitian saya berusaha mengungkap bagaimana keseharian hidup para pekerja seks komersial yang memiliki implikasi terhadap kebijakan-kebijakan yang ada di masyarakat, baik dalam skala rukun tetangga, rukun warga, desa, kecamatan, atau bahkan level kabupaten sekaligus. Mulanya saya yakin ini menarik, terlebih beberapa referensi serupa dengan jurusan yang sama pula juga sudah ada. Bahkan hasil penelitiannya pun diterbitkan oleh pihak universitas (tetangga) dan menjadi buku yang menarik. Tetapi dugaan saya ternyata keliru.
ADVERTISEMENT
Saya ditolak dengan alasan yang persis sangat institusionalis: tidak ada kaitanya dengan lembaga pemerintah dan jika politik, tidak ada kaitanya dengan pemilu. Namun selepas itu, ada semacam angin segar. Saya disarankan untuk memakai teori sosiologi politik. Saya pernah membacanya di buku Martin Lipset yang berjudul Political Man, dan menarik. Saya mau dan mempersiapkan untuk bimbingan berikutnya. Singkat waktu, pada bimbingan berikutnya kembali saya paparkan gagasan riset yang sudah disiapkan.
Pikir saya, berdasar yang saya baca, sosiologi politik berbicara soal social action. Jadi, kurang lebih saya akan meneliti pekerja seks sebagai kelompok dan peran sertanya dalam memengaruhi iklim politik struktural dalam masyarakat juga bagaimana melihat kekuatan pekerja seks dapat mengubah keputusan dan kebijakan pemerintah daerah. Di sinilah kesalahannya. Pendapat kami mengenai sosiologi politik berbeda. Alhasil saya putuskan untuk mengikuti alur institusionalisnya saja: saya mengambil topik evaluasi kebijakan yang berakitan dengan pekerja seks komersial.
ADVERTISEMENT
Setelah saya pikir-pikir, peristiwa itu juga berperan dalam tragedi penanggalan naskah penelitian selama berbulan-bulan. Tidak ada yang menarik dan saya sama sekali tidak tertarik. Betul-betul saya tanggalkan naskah itu tanpa pertanggungjawaban. Hingga suatu ketika, saya temukan naskah penelitian salah seorang dosen saya yang menarik. Intinya, bagaimana melakukan evaluasi kebijakan namun dengan menitikberatkan kepada kelompok yang disasar. Gairah saya kembali hidup. Dan, saya kembali membuka naskah dan membacainya berulang-ulang.
Banyak yang saya buang, di sana dan di sini. Banyak pula yang saya tambahkan. Saya akan mengevaluasi kebijakan dalam sudut pandang pekerja seks komersial. Sudah pasti saya akan bertemu pekerja seks komersial, pegawai karaoke dan hotel, ibu dan bapak pemilik kosan, mencari mucikari, dan tentu bertemu birokrasi yang setidaknya dalam pandangan saya melekat denga hal-hal yang menyebalkan. Dan, kisah saya pun dimulai.
ADVERTISEMENT