Konten dari Pengguna

Menulis Itu Sulit!

Firhandika Santury
Mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan Unversitas Diponegoro
9 Agustus 2021 15:40 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firhandika Santury tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menulis. sumber : strelingcollege.ca
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menulis. sumber : strelingcollege.ca
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini saya merasa senang karena sebagian teman-teman sudah mulai suka menulis. Biasanya, menulis adalah ikhtiar intelektual yang dilakukan sebagai syarat untuk mendulang nilai dari dosen atau guru belaka. Namun kini, mereka mulai membuat kebiasaan baru dan harapan baru: menulis diluar kewajiban sekolah dan menarget terbit di media mainstream.
ADVERTISEMENT
Saya harus akui, bila hal itu adalah kabar baik meski tak begitu mesra di telinga (jarang-jarang kabar seperti ini). Entah kenapa saya juga turut bahagia, mungkin saya merasa ada teman seperjuangan untuk belajar menulis. Oiya, saya juga masih belajar. Harus diakui, rupanya menulis adalah kerja intelektual yang cukup berat. Mikir berat, Bos! Menulis tak cukup hanya dengan merangkai frasa yang sistematis saja. Lebih dari itu, frasa-frasa yang disusun sistematis haruslah sejalan dengan muatan yang ingin disampaikan.
Ya, sederhananya kalau bahasanya tinggi dan ndakik-ndakik tapi muatannya mleber ke mana-mana, itu kurang baik. Bisa-bisa malah sulit dimengerti pembaca karena jlimet dan bikin bingung. Nggak syahdu kalau dibaca. Begitu setidaknya yang saya tahu. Dan saya menganjurkan anda untuk tidak mempercayainya. Wong saya saja masih minor dalam dunia tulis menulis.
ADVERTISEMENT

Jangan Berhenti Menulis

Kabar baik yang datang, dibarengi juga dengan kabar yang kurang sedap. Kenapa? Ya, seperti yang sudah saya katakan, teman-teman saya memiliki semangat menulis dengan target tak tanggung-tanggung: terbit ke media mainstream. Baru beberapa hari berbincang jika mereka sedang semangat, selang beberapa hari mereka tiba-tiba menjadi malas dan membual. Menulis itu sulit sekali, apalagi untuk media, katanya. Usut punya usut, ternyata mereka sudah menulis dan dikirim ke media. Gagal terbit rupanya.
Ya memang begitu itu realitas di dunia kepenulisan sepanjang yang saya tahu dari kisah-kisah penulis hebat di Indonesia dewasa ini. Sekali lagi, menulis itu bukan kegiatan remeh-temeh, cupu, atau gampang. Sebaliknya, menulis itu sulit, butuh konsistensi, dan mental yang begitu kuat untuk ditolak. Perlu digaris bawahi, itu hanya berlaku bagi penulis pemula dan ecek-ecek seperti saya. Buat mereka yang sudah ahli, menulis itu perkara mudah. Ya sepele lah, ya. Wong ahli, kok.
ADVERTISEMENT
Buruknya lagi, teman-teman itu selalu bilang kalau saya beruntung. Ya, beruntung bila tulisan saya pernah tembus media, meski hanya sekali dua kali saja sih sebenarnya. Sontak saya mangkel sendiri dalam hati. Mereka-mereka ini tak tahu saja jerih payah di balik itu semua. Katakanlah dari sepuluh artikel yang ditulis, misalnya, hanya satu atau dua saja yang tembus. Begitu itu realitasnya. Sampai-sampai muka ini rasanya kebal ditolak. Jadi, lebih sering ditolak (sering banget!) ketimbang diterima. Ya kalau ditaksir presentasenya sangat jomplang seperti berbanding kontras kekayaan elit-burjois dan masyarakat bawah di tahun 1996 lah kira-kira.
Namun demikian, bagi saya, tiada kabar yang lebih buruk ketimbang keputusan teman-teman yang memilih berhenti menulis. Meski sulit, justru itu tantangannya, bukan? Bila benar manusia itu gemar mencari tantangan. Maka menulis adalah salah satu tantangan yang saya anjurkan untuk ditaklukkan. Memang sudah banyak tokoh-tokoh besar dunia yang menganjurkan kita untuk menulis. Setidaknya sebagai bentuk kontribusi. Syukur-syukur dikenal. Tapi saya tidak berharap, sih.
ADVERTISEMENT
Patut diperjelas, bila banyak penulis besar yang sebelumnya juga akrab dengan fenomena penolakan demi penolakan. Buktinya, mereka juga bisa melewatinya. Apalagi hanya kita yang mungkin baru ditolak tak lebih dari jumlah jari tangan. Tentu masih jauh, masih belum seberapa. Oleh sebab itu, persoalannya ada di konsistensi saja. Konsisten dalam belajar dan menulis. Ya, tanpa lelah. Eh, kalau lelah ya istirahat, aja deh. Bolehlah sesekali menyerah. Tapi sebentar saja. Jangan berlarut-larut. Dan kemudian sadarilah, menyerah adalah hal yang tak berguna. Menyesalkan kemudian, lalu kembali menulis, dan tak menyerah lagi barang sedetik. Yang terakhir ini sebenarnya juga motivasi bagi diri sendiri yang sering juga ditolak.