Konten dari Pengguna

Tradisi Lisan Masyarakat Ngaju Dalam Legenda Nyai Indu Runtun

Fitri
Mahasiswi Prodi Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah,IAIN Palangka Raya
4 Juni 2024 10:08 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika kita mendengar sebuah kalimat "Legenda" apa yang mungkin terbesit dalam benak kita. Mungkin terbesit cerita rakyat yang disampaikan dari mulut ke mulut atau cerita pengantar tidur yang diceritakan oleh ibu atau ayah kita dahulu. Legenda diangap mamiliki berbagai macam nilai salah satunya ialah nilai budaya. Nilai adalah sesuatu yang dianggap penting dan berharga dalam masyarakat, sedangkan budaya adalah suatu keseluruhan, kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
ADVERTISEMENT
Legenda merupakan bentuk sastra yang dimiliki oleh masyarakat Dayak Kapuas. Sebagai produk budaya, legenda pada prinsipnya memiliki karakteristik yang sama dengan cerita rakyat dari daerah lain di Nusantara. Legenda Dayak didukung oleh bahasa Ngaju sebagai pewarisan nilai adat dan budaya Dayak kepada generasi selanjutnya. Dilihat dari sekian banyak suku Dayak yang ada di Pulau Kalimantan, penulis tertarik untuk meneliti Nilai Budaya dalam Legenda Kapuas karena legenda yang ada di Kabupaten Kapuas hanya disampaikan dari mulut ke mulut. Seperti salah satu legenda yang menarik untuk kita angkat adalah tentang Nyai Indu Runtun, siapakah sosoknya ?
Legenda Nyai Indu Runtun
Di Kampung Mantangai, ada seorang tabib wanita bernama Nyai Indu Runtun. Dia terkenal karena pengobatannya yang hebat, kecerdikan, dan budi pekertinya yang baik. Nyai Indu Runtun ternyata hebat di mata orang lain; makhluk halus pun mengakui keampuhannya. Ia selalu membantu orang yang dimintai pertolongan tanpa memandang apa pun.
ADVERTISEMENT
Nyai Indu Runtun juga mengharapkan bantuan dari makhluk halus di dunia bawah yang disebut jata, yang merupakan buaya. Di Mantangai, ada pergantian kepala kampung yang sudah tua. Masyarakat setuju, Nyai Indu Runtun dipilih menjadi kepala kampung. Masyarakat Mantangai lebih aman setelah Nyai Indu Runtun memimpin Kampung Mantangai.
Pada suatu malam hujan rintik-rintik, Nyai Indu Runtun didatangi menteri utusan dari dunia bawah untuk diminta bantuannya menyembuhkan adik raja buaya yang sedang sakit kerongkongan. Dengan syarat harus diperbolehkan membawa seorang lelaki pengantin baru dan istrinya yang telah disambar buaya, Nyai Indu Runtun berangkat ke kerajaan buaya. Pada pagi harinya setelah malam hujan rintik-rintik itu, warga Kampung Mantangai ribut mencari Nyai Indu Runtun yang dikira telah disambar buaya.
ADVERTISEMENT
Akhirnya Nyai Indu Runtun pun kembali dari kerajaan buaya dan orang-orang Kampung Mantangai sangat gembira atas kedatangan Nyai Indu Runtun. Untuk mengenang dan menyempurnakan roh Nyai Indu Runtun sampai sekarang di Sungai Mantangai sering diadakan balian (upacara adat) dengan berbagai sajian dan sansana (cerita), serta nyanyian karungut (nyanyian rakyat suku Dayak Ngaju)
Gambar 1. (Sumber foto pribadi), Rumah Nyai Indu Runtun yang dianggap sakral, terlihat dari kain-kain kuning yang banyak mengelilingi nya
Riwayat Nyai Indu Runtun
Dalam cerita “Riwayat Nyai Indu Runtun” dikisahkan bahwa bapak Runtun mengajak istrinya untuk mengadakan selamatan sebagai bentuk rasa syukurnya karena yang Kuasa masih melindungi cucunya Karak sehingga cucunya pulang dalam keadaan selamat dan sehat, seperti kutipan di bawah ini.
“Syukur ih esu kue buli barigas. Awi te itah tuh patut basyukur awi je Kuasa masih malindung esu kue. Jewu itah basalamatan kurik akan maraya pandumah esu itah.” Kuan bapa Runtun mimbit sawa manampa acara salamatan awi saking kahanjak angate (rasa syukur).
ADVERTISEMENT
Artinya : “Syukurlah cucu kita pulang dengan keadaan sehat. Kita patut bersyukur kepada yang Kuasa karena masih melindungi cucu kita. Besok kita adakan selamatan kecilkecilan untuk menyambut kembali kedatangan cucu kita.” Kata bapak Runtun mengajak istrinya untuk mengadakan acara selamatan sebagai rasa syukur mereka.
Dalam cerita “Riwayat Nyai Indu Runtun” dikisahkan bahwa Nyai Indu Runtu berharap dan berdoa dengan yang Kuasa agar cucunya baik-baik saja. Selain itu, bapak Runtun juga menyarankan kepada istrinya agar tidak berpikir yang buruk mengenai cucu dan mengajak istrinya untuk mendoakan supaya cucunya diberi keselamatan, seperti kutipan di bawah ini.
Akan kuehkah esukuh tuh? Mudahan ih esukuh diya narai-narai.” Kuan Indu Runtun badoa mangat esu diya narai-narai. “Aku mikeh amun esu kue nyambar bajai.” Kuan Indu Runtun manyambung pandere dengan bapa Runtun. “Ela bapikir je papa helun. Keleh itah kue badoa ih mangat esu kue diya narai-narai.” Kuan bapak Runtun manyuhu sawae mangat diya bapikir je papa helun.
ADVERTISEMENT
Artinya : Pergi kemanakah cucuku? Mudah-mudahan cucuku baikbaik saja.” Kata Indu Runtun berdoa supaya cucunya baik-baik saja. “Aku takut kalau cucu kita diterkam buaya.” Sambung Nyai Indu Runtun bicara dengan suaminya bapak Runtun. “Jangan berpikir yang buruk dulu. Kita doakan saja supaya cucu kita baik-baik saja.” Kata bapak Runtun meminta agar istrinya tidak berpikiran yang buruk dulu.
Dalam cerita “Riwayat Nyai Indu Runtun” dikisahkan bahwa setelah Nyai Indu Runtun tinggal di alam Jata. Masyarakat sekitarnya membuat rumah keramat sebagai tempat bernazar dan mereka percaya bahwa yang merasuki orang yang Sangiang tersebut adalah Nyai Indu Runtun, seperti kutipan di bawah ini.
Bangsa bajai langsung tulak manduan Nyai Indu Runtun. Pas sampai tujuan, bangsa bajai jite langsung mansanan maksud ewen dumah. Baulang ulang ewen bajai dumah mambujuk Nyai Indu Runtun tagal Nyai Indu Runtun tatap diya maku. Tagal bajai wangte tatap diya terai manyundau Nyai Indu Runtun. Halahasil, Nyai Indu Runtun balalu manarima tawaran ewen dan kea bapak Runtun balalu manyarahan Indu Runtun jadi sawan raja bajai. Jadi, nampara bara te Nyai Indu Runtun balalu melai huang lewu jata dan kea jadi palantuhu/karamat sampai wayah toh.
ADVERTISEMENT
Artinya : Bangsa buaya segera berangkat menjemput Nyai Indu Runtun. Sesampainya di sana bangsa buaya itu langsung menyampaikan maksud kedatangan mereka. Berulangulang kali rakyat buaya datang membujuk Nyai Indu Runtun namun Nyai Indu Runtun tetap menolaknya tapi bangsa buaya tetap tidak berhenti menemui Nyai Indu Runtun. Hingga pada akhirnya, Nyai Indu Runtun pun menerima tawaran bangsa buaya itu dan bapak Runtun juga menyerahkan Nyai Indu Runtun untuk dijadikan istri raja buaya. Sejak saat itulah Nyai Indu Runtun tinggal di alam Jata dan dijadi palantuhu/keramat sampai sekarang.
Dalam cerita “Riwayat Nyai Indu Runtun” dikisahkan bahwa rakyat buaya memanfaatkan sungai sebagai jalan menuju rumah Nyai Indu Runtun menggunakan kapal yang terbuat dari kayu, seperti kutipan di bawah ini.
ADVERTISEMENT
“akan mampalua kawat je melai balengkong tatu bajai. Bangsa Manyeneh je kalute balalu bangsa bajai tulak manduan Nyai Indu Runtun bajai langsung manalih Nyai Indu Runtun manyisir saran sungei mahapan kapal pangkuh balai. Diya ati katahi ewen babalu lembut into sungai mantangai.
Artinya : Mendengar hal demikian dengan segera rakyatnya berangkat menjemput Nyai Indu Runtun untuk mengeluarkan kawat yang di tenggorokkan raja mereka. Rakyat buaya pergi menemui Nyai Indu Runtun menyusuri sungai menggunakan kapal pangkuh balai. Tidak lama kemudian mereka muncul di muara sungai Mantangai.
Gambar 2. (Sumber foto pribadi), Rumah Nyai Indu Runtun yang dibuat untuk melaksanakan upacara balian (upacara adat) untuk mengenang dan memperkuat roh Nyai Indu Runtun.
Kesimpulan
Legenda dan riwayat nenek moyang masyarakat Dayak di daerah ini banyak dituturkan secara lisan dan menjadi bagian penting dari tradisi budaya setempat. Cerita-cerita tersebut sering disampaikan oleh tetua adat atau orang-orang yang dituakan untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya.
ADVERTISEMENT
Mitos dan kepercayaan tradisional Dayak yang terekam dalam legenda dan riwayat lisan ini mencakup konsep-konsep seperti dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah; relasi antara manusia, alam, dan roh-roh; serta sistem nilai dan moral yang menjadi pedoman hidup masyarakat.