Konten dari Pengguna

Manusia Hanya Bisa Berencana, Orang Dalam yang Menentukan

Fitri Utami
Mahasiswa Psikologi Universitas Pembangunan Jaya
25 Desember 2024 13:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fitri Utami tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://kumparan.com/asmiati_malik/nepotisme-membentuk-jaringan-elite-politik-di-as-1w7NhLhXnMV
zoom-in-whitePerbesar
https://kumparan.com/asmiati_malik/nepotisme-membentuk-jaringan-elite-politik-di-as-1w7NhLhXnMV
ADVERTISEMENT
‘Manusia hanya bisa berencana, orang dalam yang menentukan’. Satu kalimat yang berseliweran di media sosial sebagai satir yang ditujukan untuk memotret mirisnya fenomena ‘orang dalam’ yang sejak berpuluh tahun lalu menjadi permasalahan yang tak kunjung terselesaikan. Secara konseptual, fenomena privilege orang dalam ini mirip dengan perilaku nepotisme yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai ‘kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah’. Seringkali disandingkan dengan korupsi dan kolusi, praktik nepotisme telah mengakar kuat di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Gibson et al., (2011) menyampaikan bahwa pada masyarakat yang menganut nilai kolektivis (kebersamaan), koneksi personal seringkali dianggap lebih dipriortitaskan daripada kualifikasi yang bersifat formal. Izzati & Mulyana (2019) juga menyampaikan bahwa dalam budaya kolektivisme, relasi personal lebih tinggi bobotnya daripada kompetensi. Tak hanya dalam lingkup pemerintahan pusat maupun daerah, praktik ini juga tampak pada tingkatan akar rumput (grassroot) seperti pemilihan ketua OSIS di sekolah, ketua organisasi mahasiswa (Ormawa) dalam kehidupan demokrasi tingkat universitas, hingga persaingan tingkat dunia kerja profesional. Karena tampak luarnya tak ‘sekotor’ korupsi dan kolusi, fenomena ini sering dipandang sebelah mata oleh segelintir masyarakat Indonesia.
Beberapa tokoh publik berpendapat bahwa praktik nepotisme relatif dapat diterima karena secara logis lebih bijak untuk menerima seseorang yang kinerja dan reputasinya telah diketahui, daripada orang asing yang hanya dibaca sekilas dari CV atau media lainnya. Sayangnya, realita mengatakan praktik nepotisme melegalkan segala cara, bahkan kompromi terhadap standar kualifikasi untuk dapat melancarkan masuknya orang dekat. Objektivitas penilaian selama proses recruitment hilang akibat berbaik hati pada sanak saudara dan orang terdekat.
ADVERTISEMENT
Hilangnya objektivitas pada praktik nepotisme telah dijelaskan oleh Aamodt (2015) yang menyebutkan bahwa nepotisme merupakan bentuk ekstrem dari hubungan personal yang seringkali mengabaikan prinsip objektivitas. Hal ini disebabkan oleh minimnya edukasi dan literasi terkait etika profesionalitas sehingga begitu banyak orang yang mengompromikan aspek profesionalitas demi relasi personalnya (Gibson et al., 2011). Selain itu, Aamodt (2015) juga memvalidasi bahwa rendahnya moralitas juga menjadi aspek yang memuluskan praktik nepotisme di tingkat terendah hingga tertinggi.
Betul Indonesia memang dikenal dengan unggah-ungguh dan sopan santun yang membuat banyak masyarakat manca negara berdecak kagum. Namun, tak bisa dipungkiri budaya ini pula yang seringkali perlu dikritisi, mulai dari masalah etos kerja, komunikasi, termasuk ‘budaya kekeluargaan’ dalam lingkup industri. Ansori et al., (2020) menyampaikan bahwa rasa malu sosial seringkali memengaruhi profesionalitas kerja individu. Bukankah sungkan merupakan kosa kata khas ‘warlok’ Indonesia yang paling sering didengar? Tak banyak bule yang mengenal istilah tersebut. Rasa sungkan mengalahkan etos kerja yang mestinya jadi prioritas dalam lingkup pekerjaan profesional.
ADVERTISEMENT
Belum lagi berbicara tentang ‘budaya kekeluargaan’ yang tampaknya menjadi asas utama yang dipercaya oleh banyak perusahaan di Indonesia. Gibson et al., (2011) menyebutkan bahwa budaya semacam ini seringkali menyebabkan individu melihat bantuan professional sebagai kewajiban moral. Wajar jika transaksi balas budi sangat lumrah kita lihat di berbagai konteks situasi yang ada di negeri ‘Konoha’ ini. Jika seperti ini sistem perekrutan dan penilaian dalam praktik industri di Indonesia, bisa dibayangkan seberapa destruktif dampak fenomena ini akan menggerogoti pondasi perkembangan industri di Indonesia.
Bisa dibayangkan dengan imajinasi sederhana, bagaimana ‘indahnya’ kualitas industri dalam negeri jika angkatan kerja muda lebih fokus melatih skill ‘menjilat’ daripada kompetensi dan kapasitas kognitifnya? Jika demikian, untuk apa 12 tahun pendidikan formal belum lagi ditambah perguruan tinggi 4 tahun, jika pada dasarnya hanya skill komunikasi persuasif a.k.a menjilat yang dibutuhkan untuk survive bahkan mengembangkan karir? Kredibilitas pendidikan sebagai agen mobilitas sosial makin dipertanyakan akibat ketimpangan yang ada (Mangundjaya, 2016). Sederhananya, ‘si miskin makin miskin, si kaya tercipta karena jilat sana-sini’.
ADVERTISEMENT
Belum lagi soal integritas, tanpa banyak berpikir seharusnya kita tau bahwa buruknya moralitas berbanding lurus dengan buruknya integritas dan kredibilitas. Aamodt (2015) menjabarkan bahwa institusi yang tidak adil dalam keberlangsungannya akan kehilangan legitimasi di hadapan publik. Sekali hilang, ucapkan ‘selamat tinggal’ untuk kemajuan bisnis yang tinggal jadi angan semata. Syukur jika hanya 1 yang kehilangan reputasinya, jika mayoritas industri melakukan hal serupa, mimpi saja produk Indonesia akan menembus pasar-pasar internasional jika untuk menjaga kepercayaan saja PR nya belum tuntas.
Penulis menawarkan beberapa tesis untuk menyelesaika permasalahan tersebut. Dimulai dari kesadaran bahwa dipupuknya praktik ini tak hanya merugikan individu, namun secara berkala akan berdampak negatif pada masyarakat, perusahaan, industri, bahkan negara dalam konteks ekstrimnya (Mangundjaya, 2016). Kredibilitas individu ditingkatkan, agar kesempatan relasi digunakan untuk eskalasi karir ketika kapasitas dan kompetensi telah mumpuni, bukan satu-satunya modal untuk dapat jabatan lebih tinggi. Organisasi juga butuh untuk mengubah budaya kerjanya, tidak menggunakan asas kekeluargaan, melainkan menjunjung tinggi objektivitas dalam penilaian kinerja meskipun membutuhkan waktu yang panjang serta usaha yang tidak mudah (Ansori et al., 2020).
ADVERTISEMENT
Tak hanya individu dan perusahaan, pemerintah juga memiliki peranan penting. Aamodt (2015) menyampaikan bahwa penegakan hukum yang tegas dalam rangka melawan praktik nepotisme menjadi salah satu aspek krusial dalam menciptakan budaya organisasi / perusahaan yang lebih sehat. Jika praktiknya kita lihat masih kerap terjadi di pemerintahan, maka sulit untuk berharap ada satria piningit yang akan menyelamatkan dan mengubah kondisi Indonesia. Tidak, kita tidak bicara tentang fufufafa, melainkan refleksi bagi seluruh masyarakat Indonesia, untuk memiliki mindset, seorang satria piningit yang mengorbankan dirinya untuk negara yang ia cintai.
Reference
Aamodt, M. G. (2015). Industrial/Organizational Psychology: An Applied Approach (8th ed.). Cengage Learning.
Ansori, A., Yusup, M., & Marzani. (2020). Psikologi Organisasi. Jakarta: Widina Publisher.
ADVERTISEMENT
Gibson, James L., et al. Organizations: Behavior, Structure, Processes. McGraw-Hill Education, 2011. Accessed 25 December 2024.
Mangundjaya, W.L.H. (2016). Psikologi dalam Perubahan Organisasi. Jakarta Timur : PT Swasthi Adi Cita.
Izzati, L., & Mulyana, D. (2019). Psikologi Industri dan Organisasi. Bandung: Universitas Padjadjara