Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Universal Basic Income In Pandemic Covid-19: Solusi Atasi Kemiskinan
22 Januari 2021 14:25 WIB
Tulisan dari Fitriana Kurnia Wati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berlandaskan dengan adanya keresahan para pegiat sosial barat perihal kemiskinan (poverty) dan ketidaksetaraan (inequality) yang semakin merebak di masyarakat. Tercetuslah satu gagasan Universal Basic Income (UBI) demi kesejahteraan masyarakat yang akan menghapuskan kedua persoalan yang ada. Gagasan Basic Income pertama kali dibawakan oleh seorang filsuf berdarah Inggris, Thomas More pada abad-16. Dalam pemikirannya, ia menjelaskan bagaimana masyarakat memperoleh hidup ideal yakni apabila adanya pengurangan beban pekerja seminimal mungkin dan adanya pembatasan kepemilikan harta bagi setiap orang kaya. Hal yang demikian dapat memberikan solusi untuk pencegahan tindak kriminalitas orang kaya terhadap orang miskin serta menghapuskan kelas dalam masyarakat. Sejalan dengan Martin Luther King dalam bukunya “Where Do We Go from Here: Chaos or Community?”, disebutkan perubahan sosial diperoleh dengan memperhatikan dua aspek, yang bukan lain ialah poverty and inequality. Mempunyai prinsip, spirit, serta konsep penerapan yang sama, diperoleh satu kesepakatan definisi dari Basic Income. Definisi ini diamini dalam General Assembly (GA) Basic Income Earth Network (BEIN) yang diadakan di Seoul jauh 9 Juli 2016 lalu. Selain itu, diperjelas dalam buklet German yang berjudul “Basic Income Pilot Project”, Basic Income ialah salah satu konsep dan program jaminan sosial berfokus pada pemberian jaminan pendapatan bagi seluruh masyarakat yang ada dalam negara tanpa terkecuali dimana jaminan diberikan dalam bentuk fresh money dengan jumlah yang telah disepakati dan diperhitungkan.
ADVERTISEMENT
Gagasan Universal Basic Income (UBI) mulai hangat dibicarakan di Indonesia sejak adanya keresahan para pegiat sosial serta kaula muda akan dampak pandemi Covid-19 yang begitu dahsyatnya pada pengusaha terkhusus pekerja. Tak sedikit pekerja mendapati pemberhentian kerja, pengusaha terpaksa gulung tikar, segala kegiatan yang terpaksa dijalankan dengan berbagai keterbatasan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah pengangguran di Indonesia periode Agustus 2020 mengalami peningkatan yang signifikan yakni sebanyak 2,67 juta orang. Oleh karenanya, kumulatif pengangguran di Indonesia tahun 2020 mencapai 9,77 juta orang. Sungguh keadaan yang menyedihkan sekaligus mengerikan terjadi pada negara berlambang Garuda ini.
Indonesia merupakan negara kesejahteraan, artinya negara memiliki kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat salah satunya dengan jaminan sosial. Jaminan sosial menjadi kunci utama penyelamat masyarakat dalam jurang kemiskinan dan ketidaksetaraan. Fakta – fakta yang terdapat di lapangan dalam aspek perlindungan sosial pun masih tergolong minim seperti tidak adanya kepastian kerja, kemudahan akses kesehatan untuk seluruh masyarakat, kemerataan pendidikan disetiap penjuru, perlindungan kebencanaan bagi daerah rentan bencana, dan masih banyak lagi. Memang sudah banyak ide serta program jaminan sosial yang negara canangkan pun tak sedikit program yang telah dijalankan seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai), PKH (Program keluarga Harapan), KIP (Kartu Indonesia Pintar), Raskin (Beras Miskin), Kartu Pra-kerja, dan lain sebagainya. Persoalan bukan pada ide atau program yang dijalankan namun pada yang menjalankan, dengan segala kerumitan birokrasi menyebabkan bukan kesejahteraan yang didapat justru kesengsaraan menjadi ujung tombak.
ADVERTISEMENT
Bersumber dari segala permasalahan yang ada, berbagai NGO (Non-Governmental Organization) yakni The Prakarsa, IndoBIG, serta lainnya menggagas satu isu untuk membangkitkan pembicaraan mengenai jaminan sosial Universal Basic Income (UBI) untuk dapat diterapkan di Indonesia. Jaminan sosial ini diberi nama JAMESTA (Jaminan Pendapatan Dasar Semesta), menjadi solusi dari penyelesaian persoalan kemiskinan dan ketidaksetaraan hingga didapatkan suatu kesejahteraan dalam masyarakat.
Pro – Kontra Penerapan Universal Basic Income (UBI) di Indonesia
Analisis setiap aspek atau sudut pandang diperlukan dalam menyikapi suatu isu untuk dapat melihat secara objektif hingga dapat memperoleh suatu kebijakan yang tepat. Tak jarang didapati iklim pro dan kontra begitu pula gagasan penerapan Universal Basic Income (UBI) di Indonesia. Dengan kondisi Indonesia yang sedang tidak baik – baik saja terlebih perekonomian sedang berada pada jurang resesinya membuat para pemangku kebijakan berfikir dua kali untuk menerapkan kebijakan ini. Dibutuhkan dana yang tak sedikit untuk memberikan jaminan pendapatan terhadap setiap warga negara tanpa terkecuali. Dimana pemberian jaminan bukan pada kelompok keluarga melainkan pada individu. Adapun ketakutan – ketakutan akan semakin meningkatnya kemalasan masyarakat dalam bekerja karena telah bergantung pada jaminan yang telah negara anggarkan. Adanya gap bagi orang kaya yang juga mendapatkan jaminan pendapatan.
ADVERTISEMENT
Perspektif – perspektif itu disangkal oleh Yanu Prasetyo salah satu narasumber sekaligus tim IndoBIG dalam acara kongres yang diadakan oleh The Prakarsa mengenai JAMESTA, dituturkan bahwa Jaminan Pendapatan ini berakar pada “kebebasan penuh” individu dalam menggunakan atau memanfaatkan JAMESTA yang diterimanya. Ia juga menekankan pada penghapusan stigma orang miskin tidak dapat mengatur uang (JAMESTA yang didapatkan), karena malas merupakan hak asasi serta sesungguhnya stigma – stigma negatif itulah yang menyebabkan kesejahteraan masyarakat sulit diwujudkan.
Positively dari adanya JAMESTA atau Basic Income khususnya untuk negara berkembang seperti Indonesia ialah didapatkannya suatu jaring pengaman, pemenuhan hak pendapatan bagi perempuan dan lansia, meningkatkan investasi anak dan hari tua, meminimalisir dampak kerentanan yang tinggi, wabah, bencana, dan krisis iklim yang sewaktu – waktu dapat terjadi. Sebenarnya, kita dapat belajar dari adanya pandemi Covid-19 yang terjadi tanpa disadari sejak dini. Tidak adanya kesiapan serta kegagapan dalam penangannya berimbas pada menurunnya kesejahteraan masyarakat dilihat dari kondisi perekonomian warga negara.
ADVERTISEMENT
Universal Basic Income (UBI) di berbagai Negara
Sebagai pelopor dari adanya gagasan Universal Basic Income (UBI) negara – negara barat seperti German, Amerika Serikat, Finlandia, Belanda, Hongkong, Kanada, India, Namibia, Korea Selatan, dan Kenya telah menerapkan kebijakan ini. German menjadi sorotan berbagai negara dengan keberaniannya menerapkan kebijakan UBI, ia menerapkan kebijakan ini dengan diberi nama The Basic Income Pilot Project dimulai pada Agustus 2020 serta akan lebih dimasifkan pada tahun 2021 ini. German berharap penerapan UBI ini dapat berdampak pada kesehatan, revolusi digital, pekerjaan, keselarasan, politik, dan lingkungan. Basic Income yang diterapkan menitik beratkan pada pemberian jaminan pendapatan secara tunai tanpa syarat dan terkecuali untuk setiap warga negaranya.
Negara India yang notabene sama dengan Indonesia yakni negara berkembang, ia telah menerapkan kebijakan ini dengan inisiasi oleh Self-Employed Women’s Association (SEWA), merupakan serikat buruh memiliki anggota kurang lebih dua juta pekerja. Melalui eksperimen yang dilakukan India memperoleh banyak dampak positif sebagai berikut, peningkatan angka partisipasi sekolah anak sebesar 12%, berkurangnya penerima bantuan kemiskinan hingga bersisa 20%, serta adanya alih profesi semula buruh menjadi pengelola lahan pertanian secara mandiri dan beberapa lainnya menjadi pengusaha.
ADVERTISEMENT
Bagaimana di Indonesia?
Indonesia telah mengalami banyak perubahan kebijakan serta menerapkan berbagai program untuk memberantas kemiskinan dan ketidaksetaraan. Segala program telah dijalankan namun belum dapat memberikan dampak yang signifikan pada penurunan angka kemiskinan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satu pemicu adanya kegagalan dalam program ialah adanya konstruksi sosial bahwa program merupakan bantuan sosial, yang mana bantuan hanya diberikan pada mereka yang dikategorikan sebagai warga miskin. Kategorisasi ini secara tidak langsung membentuk suatu kultur kelas dalam masyarakat. Hingga mendarah daging dan menjadikannya sebagai sebuah stigma sosial. Bila dicermati lebih dalam, stigma inilah yang menjadi penghambat keberjalanan setiap program yang ada. Oleh karenanya, perlu adanya perubahan konstruksi sosial dengan mulanya “Bantuan Sosial” menjadi “Hak menjadi warga negara, kewajiban suatu negara”. Sehingga dapat ditarik dalam konsep awal Indonesia sebagai Negara kesejahteraan, “Negara memiliki kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat salah satunya dengan jaminan sosial”.
ADVERTISEMENT