Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Aksi Demo FPR Tolak Penggusuran Masyarakat Adat Pubabu, TTS
9 Maret 2020 19:32 WIB
Diperbarui 16 Mei 2021 10:22 WIB
ADVERTISEMENT
KUPANG- Puluhan massa yang tergabung dalam Forum Perjuangan Rakyat (FPR) NTT menggelar aksi demo di kantor DPRD Provinsi NTT, Senin (9/3/2020).
ADVERTISEMENT
Dalam aksinya, FPR menolak penggusuran terhadap masyarakat adat Pubabu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) oleh Pemprov NTT.
Kordinator Aksi, Fadli A. Neto mengatakan, di NTT skema menyelamatkan rakyat dari kemiskinan, gagal dilakukan oleh Pemprov NTT dibawah kepemimpinan, Viktor Laiskodat. Pemprov malah melakukan perampasan yang dijalankan melalui kehutanan yaitu, kesatuan pengelola hutan.
Dengan masuknya suatu kawasan dalam KPH, kata dia, maka akan dengan mudah dikonsesi pada para koorporasi besar seperti perkebunan dan pertambangan. Salah satu KPH besar yaitu, KPH Mutis dengan mendominasi empat kabupaten di NTT. Salah satunya Timor Tengah Selatan dengan luas 66.000 ha dengan total luas yang berada di Kecamatan Amanuban Selatan seluas 2599 ha berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan, No : 138/kpts-II/1996.
ADVERTISEMENT
Selain monopoli agraria yang dilakukan oleh kehutanan, monopoli juga dilakukan oleh Pemprov NTT dalam hal ini Dinas Peternakan NTT dengan total luas 37.800.000 M2 berdasarkan sertifikat hak pakai nomor : 00001/2013-BP.794953.
Ia mengatakan, pendekatan represif yang dilakukan oleh Pemprov NTT dalam menggusur masyarakat adat Pubabu-Besipae, ketika pada 15 Februari 2020 Pemprov NTT mendatangi masyarakat adat Pubabu melakukan sosialisasi.
Dalam sosialisasi itu, masyakarat diminta untuk siap direlokasi dan tanah yang diberikan kepada pemerintah seluas 20 X 40 M2 bersertifikat. Kesepakatan yang dibuat itu, kata dia, tanpa persetujuan dari masyarakat adat Pubabu.
"Sosialisasi itu adalah bagian dari intimidasi kepada masyarakat adat Pubabu dan sepihak sehingga masyarakat melakukan penolakan," katanya.
Tindakan Represif
ADVERTISEMENT
Ia mengatakan, tindakan represif juga terjadi pada 17 Februari 2020. Tim gabungan yang terdiri dari kepolisian, Brimob, satuan polisi pamong praja dan TNI. Di dalam tim polisi, ada sniper, water Canon dan Sabhara yang ikut dalam penggusuran terhadap tiga kepala keluarga masyarakat adat Pubabu.
Akibat penggusuran itu, banyak anak-anak dan ibu-ibu mengalami depresi dan menangis ketakutan, bahkan ada yang pingsan akibat upaya paksa penggusuran.
Perampasan itu juga didukung oleh pihak kampus, Universitas Nusa Cendana Kupang dengan membangun pusat penelitian peternakan lahan kering di kawasan hutan adat Pubabu. Kehadiran kampus, kata dia, tidak memberi manfaat pada masyarakat, justeru kehadirannya kembali menindas rakyat dengan cara-cara menipu masyarakat adat Pubabu dengan program peternakan dan pertanian.
ADVERTISEMENT
"Hal ini semakin membuktikan bahwa kampus saat ini tidak berpihak pada rakyat yang sejatinya kampus harusnya menjadi banteng pertahanan bagi rakyat," ungkapnya.
Berikut 12 tuntutan FPR NTT :
1. Tolak penggusuran terhadap masyarakat adat Pubabu
2. Cabut sertifikat hak pakai nomor : 00001/2013-BP, 794953
3. Cabut keputusan Menteri Kehutanan No : 138/kpts-II/1996
4. Polda NTT segeran menangkap oknum yang menyerahkan tanah/hutan Pubabu tanpa sepengetahuan masyarakat adat
5. Berikan pengakuan terhadap masyarakat adat dan hutan adat Pubabu
6. Kembalikan hutan adat Pubabu tanpa syarat apapun
7. Tolak segala proyek ilusi peternakan yang mengatasnamakan kesejahteraan masyarakat adat Pubabu
8. Lawan segala bentuk monopoli kesatuan pengelolaan hutan Mutis
9. Hentikan segala bentuk intimidasi terhadap masyarakat adat Pubabu
ADVERTISEMENT
10. Berikan akses kesehatan kepada perempuan di Kecamatan Amanuban Selatan
11. Jalankan reforma agraria sejati
12. Pemerintah provinsi NTT bertanggungjawab atas kehilangan barang-barang yang merupakan milik tiga kepala keluarga korban penggusuran.