Konten dari Pengguna

Executive Orders di Amerika Serikat: Wujud Kekuasaan Tanpa Batas?

Frisca Alexandra
Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Mulawarman
14 Maret 2025 10:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Frisca Alexandra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak pelantikan keduanya sebagai Presiden Amerika Serikat pada 20 Januari 2025, Donald Trump telah menandatangani kurang lebih sekitar 87 Executive Orders, mulai dari Executive Orders yang mengatur tentang pelarangan aplikasi TikTok, Executive Orders yang mengevaluasi U.S AID hingga Executive Orders yang hanya mengakui dua gender di Amerika Serikat. Lalu apa sebenarnya Executive Orders itu? Dan mengapa Presiden Amerika, khususnya Donald Trump kerap menggunakan Executive Orders?
Bendera Amerika Serikat (Sumber: PIXABAY)
zoom-in-whitePerbesar
Bendera Amerika Serikat (Sumber: PIXABAY)

Apa itu Executive Orders?

Executive Orders atau perintah eksekutif adalah perintah resmi yang dikeluarkan oleh Presiden Amerika Serikat kepada lembaga pemerintah federal untuk melaksanakan kebijakan atau tindakan tertentu tanpa melalui persetujuan langsung dari Kongres. Executive Orders memiliki kekuatan hukum, tetapi tidak setara dengan Undang-Undang yang dibuat oleh Kongres. Executive Orders hanya berlaku pada wilayah kekuasaan eksekutif dan tidak boleh melanggar konstitusi atau hukum yang telah disahkan oleh kongres. Dalam beberapa dekade terakhir, Presiden Amerika Serikat cenderung lebih mengandalkan Executive Orders dibandingkan dengan proses legislasi di Kongres, mengapa demikian?
ADVERTISEMENT

Mengapa Presiden Amerika Sering Mengandalkan Executive Orders?

Executive Orders biasanya digunakan oleh Presiden untuk beberapa tujuan seperti guna mengatur operasional lembaga eksekutif federal, guna melaksanakan kebijakan secara cepat tanpa harus melalui proses legislasi yang panjang, guna menanggapi situasi krisis atau keadaan darurat serta guna mengklarifikasi dan mengarahkan implementasi hukum yang telah ada. Namun, dewasa ini Presiden Amerika Serikat seperti Donald Trump lebih sering mengandalkan Executive Orders meskipun tidak dalam situasi krisis atau keadaan darurat yang membutuhkan kebijakan secara cepat.
Salah satu faktor mengapa Presiden Amerika kerap mengandalkan Executive Orders adalah karena kondisi polarisasi politik yang cukup tajam di Amerika Serikat antara Partai Demokrat dan Partai Republik. Polarisasi ini dapat menyebabkan gridlock atau kebuntuan di Kongres sehingga membuat proses pengesahan Undang Undang menjadi sulit. Oleh karenanya, Presiden kerap menerbitkan Executive Orders untuk memastikan kebijakan mereka tetap berjalan.
ADVERTISEMENT
Executive Orders bukannya tanpa kritik dan kontroversi, terdapat beberapa Executive Orders yang menimbulkan perdebatan di Amerika Serikat. Salah satu contohnya adalah Executive Orders yang dikeluarkan oleh Donald Trump pada tahun 2017 yakni EO 13769 yang dikenal juga sebagai Muslim Ban. Executive Orders ini melarang masuknya warga dari tujuh negara mayoritas muslim yakni Iran, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, Yaman dan Irak ke Amerika Serikat dengan alasan keamanan nasional. Praktis, Executive Orders ini menimbulkan protes di tengah masyarakat Amerika dan juga masyarakat dunia. Banyak pihak menilai bahwa kebijakan ini bersifat diskriminatif terhadap umat Muslim dan bertentangan dengan nilai-nilai kebebasan beragama di Amerika. Selain itu kebijakan ini dianggap tidak memiliki basis bukti yang jelas dan kuat bahwa warga dari negara-negara tersebut lebih berisiko melakukan tindakan terorisme di Amerika dibandingkan warga dari negara lain.
ADVERTISEMENT
Akan selalu ada pertanyaan yang membayangi Executive Orders di Amerika. Apakah Executive Orders adalah mekanisme yang efisien untuk menjalankan pemerintahan atau justru suatu bentuk penyalahgunaan wewenang yang melemahkan prinsip check and balances dalam sistem demokrasi Amerika? Dasar hukum dari Executive Orders terdapat pada Pasal II Konstitusi Amerika Serikat yang menyatakan bahwa Presiden memiliki kekuasaan eksekutif. Melalui dasar ini, Presiden dianggap memiliki hak untuk mengarahkan lembaga federal melalui Executive Orders.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan Executive Orders memang rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan karena Presiden dapat menggunakannya untuk menghindari proses legislasi bahkan terhadap isu-isu kontroversial seperti yang dilakukan oleh Donald Trump atau ketika Franklin D. Roosevelt mengeluarkan Executive Orders untuk menahan warga Jepang-Amerika selama Perang Dunia II yang menjadi salah satu contoh buruk bagaimana Executive Orders dapat melanggar hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Namun Executive Orders bukannya tanpa manfaat, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu tujuan Executive Orders adalah guna menanggapi kondisi darurat dengan mengeluarkan kebijakan secara cepat. Hal ini terbukti cukup efektif ketika banyak Executive Orders yang diterbitkan ketika masa pandemi Covid-19 ketika Donald Trump kala itu banyak mengeluarkan Executive Orders yang berfokus pada pembatasan perjalanan dan bantuan ekonomi sementara Joe Biden pada tahun 2021, banyak mengeluarkan Executive Orders yang berfokus pada upaya vaksinasi dan mitigasi kesehatan masyarakat.
Selain pandemi, Executive Orders juga sering digunakan dalam merespons bencana alam, seperti George W. Bush yang mengeluarkan Executive Orders terkait Badai Katrina pada tahun 2005, Barack Obama yang mengeluarkan Executive Orders untuk mempercepat bantuan bagi korban Badai Sandy pada tahun 2012 dan Donald Trump serta Joe Biden yang mengeluarkan Executive Orders terkait kebakaran hutan California pada tahun 2020-2023.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, penggunaan Executive Orders tidak selalu untuk kebijakan-kebijakan yang kontroversial namun meningkatnya penggunaan Executive Orders di Amerika, sesungguhnya mencerminkan polarisasi politik di Kongres. Selama polarisasi ini terus berlangsung, selalu ada kemungkinan yang besar Presiden akan semakin mengandalkan Executive Orders untuk menjalankan kebijakan mereka. Kondisi ini tentu menjadi tantangan bagi Amerika Serikat dalam mempertahankan sistem check and balances yang menjadi pilar demokrasi mereka.