Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Dilema Indonesia Hadapi Pengungsi Rohingya
15 Januari 2024 8:29 WIB
Tulisan dari Gabriela Adeline Thurana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah pro kontra dalam menyikapi pengungsi Rohingya, terjadi eskalasi gelombang yang menambah daftar panjang pengungsi Rohingya masuk ke Aceh. Sepanjang 2023, sudah lebih 1.600 orang Rohingya datang. Berbeda dari sebelumnya, saat ini semakin banyak penolakan dari warga Aceh, Indonesia tengah dihadapkan posisi dilema dalam menyingkapi datangnya para pengungsi tersebut.
ADVERTISEMENT
Dilema semacam itu sejatinya bukanlah hal baru bagi Indonesia. Setidaknya sudah selama enam tahun belakangan Pemerintah Indonesia terjepit dalam dilema terkait dengan pengungsi etnis Rohingya. Ini terutama bermula sejak Agustus 2017, ketika militer Myanmar melakukan serangan dalam skala besar di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, tempat mayoritas etnis Rohingya menetap.
Selama hampir satu dekade ini, terjadi lonjakan perkembangan jumlah pengungsi Rohingya di Indonesia. Pada tahun 2016 sebanyak 959 orang, diikuti dengan penurunan pada tahun 2021 sebanyak 707 orang, dan lonjakan pada 2023 sebanyak 1.012 orang. Sedikitnya 1.012 pengungsi etnis Rohingya, Myanmar, masih berada di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Timur, Provinsi Aceh.
Sejak pertengahan November 2023, gelombang pengungsi etnis Rohingya, Myanmar, mendarat di Indonesia. Gelombang pertama tiba pada 14 November 2023. Ketika itu sedikitnya 196 imigran etnis Rohingya mendarat di pesisir Desa Blang Raya, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Desember lalu merupakan gelombang kedatangan Rohingya ke-10 dalam satu bulan terakhir. UNHCR mencatat total pengungsi yang berada di Aceh sejauh ini mencapai 1.608 jiwa, termasuk 140 orang yang bertahan dalam satu tahun terakhir. Mereka semua terdampar di Provinsi Aceh yang tersebar di Kota Sabang, Pidie, Aceh Besar, dan Lhokseumawe.
Para pengungsi yang tidak dalam gelombang besar dan dalam waktu yang singkat ini memberikan resultan terhadap beragam respons dari masyarakat. Beberapa pihak mendukung agar Pemerintah Indonesia menerima pengungsi tersebut, hal ini merujuk pada alasan kemanusiaan.
Di sisi lain, berbeda dengan sebelumnya, tak sedikit yang menolak kedatangan para pengungsi tersebut. Sementara dianggap para pengungsi sengaja dibawa oleh penyeludup, mereka juga beralasan, para pengungsi dapat menambah beban ekonomi dan menimbulkan konflik sosial bagi masyarakat sekitar. Penolakan tersebut dilakukan karena seringnya terjadi perselisihan sosial antara imigran dan warga setempat.
ADVERTISEMENT
Sehingga, kali ini warga Aceh tidak menerima mereka dengan tangan terbuka. Warga terang-terangan menolak mereka dengan berbagai alasan. Pemerintah lokal tidak dapat berbuat banyak selain menjaga agar tidak terjadi bentrokan antara para pengungsi dan warga lokal, karena tidak mendapat arahan apapun dari pemerintah pusat.
Kondisi penolakan tersebut terlihat dari aksi sekelompok mahasiswa di Aceh pada akhir Desember lalu yang menggelar aksi demo penolakan dan pengusiran pengungsi Rohingya. Dalam hal ini para mahasiswa memimdahkan para pengungsi tersebut secara paksa menggunakan truk ke Kantor Kemenkumham Aceh.
Aksi demonstrasi tersebut dilakukan dengan menuntut ketegasan dari Pemerintah Aceh, dalam melakukan penanganan terhadap Pengungsi Rohingya. Dimana, tidak ada solusi tepat dari pemerintah Aceh maupun Pemerintah Pusat dalam menjawab permasalahan etnis Rohingya yang terus mendarat di pesisir pantai Aceh yang disinyalir membawa dampak buruk bagi warga Aceh.
ADVERTISEMENT
Setelah pengusiran pengungsi etnis Rohingya oleh mahasiswa di Aceh, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta pemerintah mengedepankan penanganan pengungsi sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Pemerintah juga diminta memastikan tersedianya lokasi penampungan tersentral terhadap pengungsi Rohingya di Aceh.
Apa yang Terjadi dengan Rohingya?
PBB telah mengidentifikasi Rohingya sebagai salah satu kelompok minoritas yang paling menderita di dunia. Mereka tidak memperoleh hak dasar untuk hidup, termasuk akses terbatas terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan di wilayah tempat tinggal mereka.
Genosida yang dilakukan Pemerintah Myanmar menjadi awal mula kondisi ini terjadi. Pada tahun 1970-an terjadi penghapusan kelompok etnis secara massal, hinggal pada puncaknya pada awal 1980-an, Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya sebagai bagian dari etnik mereka.
ADVERTISEMENT
Namun, berbicara mengenai permasalahan genosida Rohingya, memerlukan adanya pemahaman dari berbagai dimensi.
Secara geografis, kelompok etnis Rohingya telah menetap secara turun-temurun di Negara Bagian Rakhine. Di wilayah ini, terdapat dua kelompok etnis yang beragama Islam, yaitu Rohingya dan Arakan. Berbeda dengan Rohingya, kelompok Arakan diakui sebagai etnis resmi oleh pemerintah. Tidak diakuinya status etnis Rohingya menjadikan mereka sebagai kelompok yang tidak mendapatkan tanggung jawab resmi dari pemerintah.
Tidak sampai di sana, selain dicabut hak kewarganegaraannya dan dianggap sebagai penghuni ilegal, diskriminasi terhadap etnis Rohingya diperparah dengan menguatnya kelompok nasionalis Budhha di Myanmar.
Teramplifikasinya diskriminasi dan tindak kekerasan yang dialami warga Rohingya mencapai puncaknya pada tahun 2017. Pada saat itu terjadi persekusi, pemerkosaan, hingga pembunuhan terhadap etnik Rohingya oleh warga mayoritas. Lebih dari 742.000 warga Rohingya kabur ke Bangladesh.
ADVERTISEMENT
UNCHR memperkirakan, hingga pertengahan 2023, terdapat sekitar 1,29 juta jiwa pengungsi dari Myanmar yang tersebar di banyak negara.
Mayoritas pengungsi Rohingya menempati Bangladesh, yakni sebesar 74,6 persen atau 967.842 jiwa. Setelah itu, disusul Malaysia yang menjadi negara tujuan kedua dengan 12,2 persen, dan berikutnya mengarah ke Thailand sebanyak 7,0 persen dan India sekitar 6,1 persen. Sementara Indonesia yakni sekitar 0,1 persen atau 1.600 orang.
Posisi Indonesia
Meski Indonesia bukan menjadi tujuan utama dan hanya menerima bagian kecil dari total jumlah pengungsi, kedatangan para pengungsi etnis Rohingya terus menjadi perhatian nasional.
Hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi (Convention Relating to the Status of Refugees atau Refugees Convention) 1095 dan Protokol 1967 yang menjadi dasar hukum internasional terkait dengan situasi pengungsi.
ADVERTISEMENT
Konvensi ini merupakan perjanjian multilateral yang mendefinisikan status pengungsi dan menetapkan hak-hak individual untuk memperoleh suaka dan tanggung jawab negara yang memberikan suaka.
Sehingga, secara legal, Indonesia tidak diwajibkan untuk menerima para pengungsi Rohingya dan kehadiran warga etnis Rohingya tersebut bukanlah urusan Indonesia.
Namun jika kita melihat dalam konteks kemanusiaan, meski tidak meratifikasi konvesi tersebut, banyak pihak yang menghendaki Pemerintah Indonesia menerima pengungsi sesuai dengan prinsip kemanusiaan. Dalam hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
Meskipun persoalan pengungsi ini tak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah, terdapat keterlibatan organisasi internasional dalam penanganan pengungsi ini yakni UNHCR dan International Organization for Migration (IOM).
ADVERTISEMENT
Penanganan, pelindungan, pemenuhan hak, dan penetapan status para pengungsi luar negeri di Indonesia dilakukan oleh UNHCR bekerja sama dengan IOM. UNHCR dan IOM berkewajiban untuk membiayai, memfasilitasi, dan mencarikan solusi jangka panjang bagi para pengungsi di negara penampung sementara, sampai dengan ditempatkan di negara ketiga/negara penerima pengungsi.
Selain bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia, UNHCR dan IOM juga menjalin kerja sama dengan pihak swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia, dalam penanganan dan pembiayaan bagi pengungsi luar negeri tersebut. Namun demikian, pendanaan utama bagi pengungsi luar negeri di Indonesia dan operasionalisasi UNHCR dan IOM diperoleh dari negara donor, seperti Australia, Kanada, Denmark, Uni Eropa, Jepang, Amerika Serikat, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo turut buka suara terkait pro kontra kehadiran pengungsi Rohingya di Indonesia. Presiden mengatakan pemerintah bakal memberikan bantuan kemanusiaan sementara kepada para pengungsi dengan mengutamakan kepentingan masyarakat lokal.
Jokowi juga menekankan bahwa pemerintah masih melakukan komunikasi dengan organisasi internasional dalam mencari solusi terbaik untuk pengungsi Rohingya yang sudah berlabuh di Indonesia dalam hal ini UNCHR dan IOM. Dirinya menekankan saat ini kesepakatan dengan UNCHR adalah negara memberikan perlindungan bagi pengungsi Rohingnya untuk sementara waktu.
Tidak sampai di sana, pemerintah juga akan menindak tegas aksi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dalam arus masuknya pengungsi Rohingya ke Indonesia. Ia akan terus berkoordinasi dengan organisasi internasional untuk mengatasi hal ini.
Kerangka Regionalisme dan Momentum Indonesia
ADVERTISEMENT
Sementara pada sisi kerangka regionalisme, persoalan ini tentunya manyangkut wilayah ASEAN. Faktanya, selain karena adanya hukum internasional yang mengikat, penyelesaian dan pengembalian para pengungsi Rohingya ke Myanmar jauh dari kata mudah dilakukan mengingat adanya situasi politik domestik di Myanmar.
Hingga saat ini, Myanmar masih berkelut dengan krisis yang dimulai dengan kudeta oleh junta militer pada 2021. Kini, situasi makin tak pasti karena pemerintahan junta enggan menyerahkan kekuasaan dan memilih untuk menunda pemilu hingga waktu yang tak ditentukan.
Keketuaan Indonesia di ASEAN secara optimis menjadi faktor kunci untuk turut menyelesaikan permasalahan ini. Mengingat Indonesia baru saja terpilih keenam kalinya sebagai anggota Dewan HAM PBB 2024-2026, penanganan pengungsi Rohingya menjadi hal krusial terhadap peran Indonesia dalam menjunjung prinsip kemanusiaan dan hak asasi manusia. Hal ini juga sekaligus dapat menjadi kepentingan diplomasi Indonesia di kancah Internasional sembari turut melakukan perbaikan kebijakan tata kelola pengungsi secara nasional.
ADVERTISEMENT
Dengan berfokus menjadikan ASEAN sebagai kawasan stabil dan damai juga menjadi dorongan ASEAN untuk konsisten menjaga perdamaian internalnya di Asia Tenggara dan kawasan Indo-Pasifik, serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan demokrasi.
Hal tersebut tentunya perlu adanya fokus dan prioritas khusus dalam hal penyelesaian masalah yang terjadi pada Myanmar. Penguatan kapasitas kelembagaan ASEAN nyatanya perlu ditingkatkan dalam menjawab tantangan yang terjadi maupun yang akan datang. Upaya serius dalam diplomasi dan komitmen politik juga tidak boleh luput dalam penyelesaian akar konflik yang terjadi di Myanmar sekaligus penanganan pengungsi Rohingya secara bersama-sama.
Sumber:
Kompas.id, "Tragedi Rohingya di Dekat Kita", 21 Nov 2023
Kompas.id, "Ratusan Pengungsi Rohingya Kembali Masuk Aceh", 10 Des 2023
ADVERTISEMENT
Kompas.id, "Pengungsi Rohingya dan Visi Perdamaian Para Calon Pemimpin Negara", 11 Des 2023
Aceh.tribunnews, "BEM USK Demo Kantor Gubernur Aceh, Desak Ketegasan Pemprov Soal Rohingya", 22 Des 2023
Kompas.id, "Komnas HAM: Pemerintah Harus Pastikan Penampungan Pengungsi Rohingya", 29 Des 2023
Setkab.go.id, "Upaya Penanganan Pengungsi Luar Negeri di Indonesia", 28 Jan 2023