Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Partai Baru Bukan Sekedar Bunga Penghias Pemilu
17 Desember 2022 3:26 WIB
Tulisan dari gandahutama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menuju perhelatan pemilu 2024 yang kurang dari dua tahun lagi, partai-partai politik mulai memanaskan mesin politiknya tidak terkecuali dengan partai-partai baru yang akan memulai debutnya di pemilu 2024. Beberapa partai politik baru mulai bermunculan menghiasi pemberitaan politik terkini. Dari yang berhaluan nasionalis sampai yang agamis, partai-partai ini siap untuk memeriahkan pesta demokrasi terbesar di Indonesia. Namun apakah partai-partai baru ini dapat menghentikan dominasi partai-partai lama atau lagi-lagi hanya menjadi dekorasi bunga-bunga penghias pemilu saja?
ADVERTISEMENT
KPU secara resmi telah mengumumkan partai-partai yang berhak mengikuti perhelatan pemilu 2024. Ada sebanyak 17 partai nasional dan 6 partai lokal Aceh telah ditetapkan sebagai peserta pemilu. Dari 17 partai nasional 3 diantaranya yaitu Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) dengan nomor urut 7, Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) dengan nomor urut 9 dan Partai Buruh dengan nomor urut 6 merupakan partai-partai baru yang akan memulai debutnya pada pemilu 2024 nanti. Ketiga partai baru ini sebetulnya tidak sepenuhnya benar-benar baru, banyak tokoh-tokoh yang sebelumnya aktif di partai politik lama kini tersebar di ketiga partai tersebut seperti Anies Matta dan Fahri Hamzah mantan politisi PKS yang kini menjabat sebagai ketua dan wakil ketua Partai Gelora, I Gede Pasek Suardika mantan politisi Hanura yang kini menjabat sebagai ketua umum PKN, dan yang terakhir Presiden konfederasi serikat pekerja Indonesia yang kini mejabat sebagai ketua umum Partai Buruh. Nama-nama tokoh ini telah malang melintang dalam perpolitikan Indonesia, pengalaman mereka dalam dunia politik tentu tidak perlu dipertanyakan lagi. Akan tetapi nama-nama besar tokoh tersebut tidak cukup untuk menjamin keberhasilan partai baru pada perhelatan pemilu.
ADVERTISEMENT
Fenomena kemunculan partai baru merupakan suatu hal yang wajar dalam sistem demokrasi. Terlebih pasca reformasi banyak partai-partai baru dengan berbagai corak perjuangan mulai bermunculan. Pendirian partai baru dapat dikatakan sebagai wujud political euphoria masyarakat yang sebelumnya tersumbat saat orde baru berkuasa. Sayangnya, kemunculan partai-partai baru tidak berbanding lurus dengan keberhasilannya di pemilu. Banyak dari mereka gagal bertahan dan hilang begitu saja. Fenomena kemunculan partai politik dapat dijelaskan melalui beberapa teori salah satunya teori kelembagaan. Teori ini menjelaskan bagaimana masyarakat di suatu negara yang merasa kepentingannya tidak terwakili kemudian membentuk partai-partai politik untuk menjadi sarana agregasi kepentingannya. Seperti partai-partai baru di Indonesia, salah satunya partai buruh yang memang segmented. Buruh-buruh yang merasa kepentingannya tidak tersampaikan dengan baik kemudian bersatu dan mendirikan Partai Buruh besutan Said Iqbal.
ADVERTISEMENT
Hadirnya partai baru telah membuka ruang-ruang pilihan baru bagi masyarakat khususnya bagi mereka yang telah mengalami kebuntuan dan kejenuhan dengan pilihan sebelumnya. Akan tetapi, tidak mudah bagi partai baru untuk bisa mencapai kesuksesan dalam pemilu. Mulai dari banyaknya biaya yang perlu dikeluarkan, syarat administrasinya yang rumit sampai dengan parliementary treshold yang terlalu tinggi untuk ukuran partai baru menjadi tantangan yang sulit dipecahkan. Dengan waktu yang hanya tersisa kurang dari dua tahun, bukanlah waktu yang cukup untuk mempersiapkan sebuah partai menjadi mesin politik yang solid. Sebagai contoh, beberapa partai baru pada pemilu 2019 seperti PSI yang hanya mendapatkan 1,85% suara, Perindo 2,67% suara, Berkarya 2,09% dan Partai Garuda yang hanya memperoleh 0,50% suara. Tidak satupun dari mereka yang berhasil lolos ke Senayan karena perolehan suara yang tidak mencapai ambang batas 4%. Suara yang diberikan masyarakat kepada partai-partai baru ini kemudian hanya menguap sia-sia.
ADVERTISEMENT
Partai-partai baru harus bersaing dengan partai-partai lama yang telah memiliki mesin partai yang solid dan pemilih di akar rumput. Selain membuka pasar pemilih, partai-partai baru harus mampu merebut pemilih dari partai-partai lama. Banyak hal yang perlu dipersiapkan partai-partai baru untuk bertarung dan bersaing dalam pemilu. Nama-nama tokoh besar saja tidak cukup untuk mendapatkan simpati publik, terlebih lagi dengan banyaknya sumber informasi sekarang, tingkat literasi dan kepedulian masyarakat terhadap politik semakin tinggi sehingga membuat nalar kritis masyarakat terhadap partai politik juga turut tinggi. Partai politik baru harus berpikir berulang-ulang kali jika hanya mengandalkan tokoh-tokoh sebagai strategi politik mereka. Justru dengan adanya tokoh-tokoh lama dalam partai politik baru membuat mereka harus terlebih dahulu meyakinkan masyarakat bahwa partai mereka benar-benar partai baru yang membawa semangat pembaharuan dan bukan sekedar partai baru dengan budaya politik lama yang hanya berganti nama, warna, slogan dan logo. Partai baru harus bisa menjadi alternatif pilihan bagi masyarakat yang sudah mengalami kejenuhan dengan partai-partai lama yang diakibatkan oleh permasalahan klasik seperti korupsi dan jauhnya masyarakat dari aspirasi yang mereka miliki. Perlu adanya pembeda yang benar-benar dapat menarik perhatian sehingga mendapatkan simpati dan dukungan dari masyarakat.
ADVERTISEMENT
Disamping itu, masyarakat harus turut menyambut dan memberikan kesempatan bagi partai-partai politik baru agar demokrasi kita tidak didominasi oleh kekuatan-kekuatan politik lama yang sudah terlalu nyaman dengan kekuasaannya. Kita harus menatap partai baru sebagai semangat perjuangan baru dalam berdemokrasi agar mereka tidak hanya sekedar menjadi dekorasi atau bunga-bunga penghias pemilu saja.