Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menelusuri Konflik Iran - Israel dari Sudut Pandang Realisme
22 April 2024 9:13 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Gusti Ayu Sri Wahyuni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hubungan Iran dan Israel sedang memanas, yang dipicu oleh serangan Israel terhadap kantor kedutaan Iran di wilayah Damaskus, Suriah pada 1 April 2024 lalu. Serangan tersebut menghilangkan 7 nyawa personel militer Iran, termasuk di dalamnya Komandan Tertinggi Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) dan pejabat senior Iran lainnya.
ADVERTISEMENT
Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, menyatakan akan membalas serangan Israel terhadap konsulatnya di Suriah. Dia juga bertekad membuat rezim Zionis di Gaza Palestina segera bubar. Seperti yang kita ketahui, serangan Israel di Gaza juga melatari suasana momen-momen konflik Iran versus Israel ini. Tidak berselang lama sejak serangan pada awal April lalu, pada 13 April 2024 Iran melakukan serangan balik melalui udara dengan mengirimkan sekitar 300 drone peledak tanpa awak dan misil ke wilayah Israel. Serangan tersebut menjadi serangan langsung pertama Iran dari wilayah kedaulatannya ke wilayah Israel.
Iran menyatakan bahwa serangan tersebut tidak akan berlanjut dan dianggap selesai. Namun, jika Israel memilih untuk membalas maka Iran mengancam akan turut kembali menyerang dengan kekuatan yang lebih besar lagi. Selain itu, Presiden Amerika Serikat Joe Biden telah memberitahu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, untuk menahan diri dan memikirkan kembali strategi secara hati-hati demi mencegah eskalasi konflik. Namun, sayangnya ancaman Iran dan Arahan Biden tersebut tidak menyurutkan semangat Israel untuk membalas dendam. Pada 19 April 2024, Israel menyerang kota Isfahan, Iran yang menjadi lokasi penting dalam hal penelitian dan pangkalan militer Iran. Hal tersebut membuat Iran langsung mengaktifkan sistem pertahanan udara mereka.
ADVERTISEMENT
Hubungan Iran dan Israel
Iran menjadi salah satu negara di kawasan Timur Tengah yang memiliki sumber daya alam mumpuni dan memiliki potensi dalam mengembangkan teknologi nuklir. Iran terkenal dengan keberaniannya melawan dominasi Barat sehingga dianggap akan menjadi negara dengan kekuatan terbesar di Timur Tengah. Hal ini juga didukung oleh rezim Islam Iran yang kuat, perkembangan nuklirnya yang semakin maju, serta asset geopolitik yang strategis. Meskipun begitu, dalam perjalanannya Israel menjadi lawan yang cukup kuat untuk membendung pengaruh dan kekuatan Iran di Timur Tengah. Hubungan Iran dan Israel memang jauh dari kata harmonis.
Sejak Revolusi Islam Iran 1979, kedua negara non-Arab terebut telah terlibat dalam shadow war, yang membuat mereka saling menyerang kepentingan nasional lawannya, baik itu di darat, udara, laut, bahkan di dunia siber. Pada masa pemerintahan Pahlavi, Iran dan Israel menjalin hubungan yang cenderung baik. Bahkan, Iran adalah negara mayoritas Muslim kedua yang mengakui kedaulatan Israel setelah negara itu didirikan pada tahun 1948. Namun, setelah Revolusi Islam Iran pada tahun 1979 hubungan Iran dan Israel kian memburuk. Pemimpin revolusi Ayatollah Ruhollah Khomeini, membawa pandangan baru berupa persepsi anti-Zionist, yang mana Iran memutuskan seluruh hubungan resminya dengan Israel bahkan tidak lagi mengakui Israel sebagai sebuah negara berdaulat.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarahnya, kesamaan kepentingan kedua negara, yaitu shared threats dari Uni Soviet dan militan negara Arab, membentuk hubungan diplomatik, ekonomi, serta militer yang baik antara Iran dan Israel. Selama beberapa dekade, Iran menjadi pemasok minyak utama bagi Israel, mengingat pada tahun 1950-1970 Israel banyak melakukan penyerangan terhadap negara-negara tetangganya seperti Arab, Mesir, dan Suriah. Dalam kuasa kepemimpinan Ayatollah Ruhollah Khomeini, Israel dijuluki sebagai musuh kaum Muslim dan merupakan The Little Satan, sementara Amerika Serikat merupakan The Great Satan. Ketegangan antara Iran dan Israel secara tidak langsung tergambarkan melalui perantara- perantara atau proksi mereka. Iran mendukung kelompok kekerasan anti Israel, sementara Israel menggunakan kedekatan politiknya dengan Amerika Serikat untuk mengisolasi Iran.
ADVERTISEMENT
Konflik Iran dan Israel dipandang dari Perspektif Realisme
Ketika berbicara mengenai perang maupun konflik militer, realisme menjadi salah satu perspektif mainstream yang digunakan sebagai pisau analisis saat hendak menjawab alasan negara melakukan perang. Beberapa asumsi penting dalam paham ini antara lain adalah negara menjadi aktor utama dalam hubungan internasional; sistem internasional bersifat anarki yang berarti bahwa tidak ada otoritas lebih tinggi dari negara dan membuat negara untuk self help; balance of power guna menjaga kekuatan; security dilemma terjadi ketika negara mengumpulkan kekuatan untuk melindungi dirinya sendiri namun mengancam negara lain.
Dalam artikel ini, penulis akan menggunakan sejumlah asumsi paham realisme yang relevan sebagai standpoint dalam mengelaborasi konflik Iran dan Israel. Pertama, terkait sistem internasional yang bersifat anarki, konflik yang terjadi antara Iran dan Israel memperlihatkan bahwa dalam hubungan internasional dunia tidak memiliki central authority dan international police force. Saat Israel menyerang Iran dan begitu sebaliknya saat Iran menyerang Israel tidak ada negara atau organisasi internasional yang benar-benar mampu menghentikan keputusan yang diambil oleh kedua negara. Misalnya, ketika Joe Biden memperingati Israel untuk tidak membalas serangan Iran, Israel tidak menghiraukan arahan tersebut.
ADVERTISEMENT
Saat Iran menyerang Israel, Dewan Keamanan PBB langsung mengadakan pertemuan darurat. Dubes Israel di PBB, Gilad Erdan mengatakan bahwa Dewan Keamanan harus mengambil tindakan untuk mengecam Iran atas teror mereka dengan cara menetapkan sanksi. Dubes Iran untuk PBB, Saeid Iravani berpendapat bahwa operasi Iran sepenuhnya merupakan hak Iran untuk membela diri, sebagaimana diuraikan dalam pasal 51 Piagam PBB dan diakui oleh hukum internasional. Iravani menambahkan tindakan yang dilakukan Iran saat ini dalam menyerang Israel sah-sah saja karena Israel pun melakukan tindakan yang sama terhadap penyerangan di Gaza.
Jika, dilihat dari paham realisme, penyerangan yang dilakukan Iran merupakan realisasi dari security dilemma akibat agresi militer berulang yang dilakukan oleh Israel. Hal tersebut juga mendorong Iran melakukan self help guna menunjukan kekuatan militer Iran dalam menghadapi serangan yang dilakukan Israel di kedutaan Iran di Suriah. Padahal, di sisi yang sama serangan Israel ke Iran juga termasuk tindakan self help karena Iran mendukung Hamas di palestina, Hizbullah di Lebanon, dan Houthi di Yaman, yang dianggap dapat mengancam kekuatan Israel dalam menghadapi konflik mereka. Konflik Iran dan Israel merupakan wujud setiap negara untuk mempertahankan kedaulatannya dalam menghadapi ancaman dari luar. Penyerangan yang dilakukan oleh kedua negara merupakan bagian dari struggle for power untuk menunjukkan pengaruh dan kekuatan kedua negara dalam konflik yang terjadi.
ADVERTISEMENT