Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sepak Bola dan Politik
10 Mei 2024 12:53 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari I Gede Sutrawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perusahaan riset multinasional Ipsos menemukan bahwa Indonesia memiliki penggemar sepak bola terbesar di dunia. Dari seluruh responden Indonesia, proporsi yang menyukai sepak bola mencapai 69 persen. Angka ini merupakan yang tertinggi dibandingkan puluhan negara lain yang disurvei. Indonesia mengalahkan Arab Saudi yang proporsi penggemar sepak bola mencapai 67 persen, serta Uni Emirat Arab 65 persen.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data tersebut, sepak bola menjadi olahraga yang paling digemari dan populer di Indonesia. Bahkan, di Indonesia olahraga ini dimainkan oleh semua tingkatan, mulai dari anak-anak, laki-laki, maupun perempuan, anak muda hingga orang tua. Karena hal itulah masyarakat Indonesia dikenal fanatik terhadap sepak bola.
Terbaru Piala Asia U-23 yang dilaksanakan di Qatar menjadi keberuntungan bagi sepak bola Indonesia. Kejuaraan sepak bola internasional dua tahunan ini, yang diselenggarakan oleh Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) untuk tim nasional putra U-23 dapat mengantarkan Timnas Garuda menjadi juara 4 pada Piala Asia U-23 2024.
Selain menjadi juara 4, Timnas U-23 Indonesia masih menyisakan 1 cara untuk lolos ke Olimpiade Paris 2024. Satu cara itu yakni dengan melawan Guinea di babak playoff. Jika menang, maka garuda muda bisa mengikuti olimpiade Paris 2024 yang dilaksanakan pada bulan Juli mendatang.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Timnas Garuda pada Piala Asia U-23 ini, menjadi kabar gembira bagi masyarakat Indonesia khususnya pencinta sepak bola. Sejak kemenangan pertama, atas Australia telah terjadi berbagai euporia yang dilakukan oleh pencinta sepak bola di tanah air. Secara mengejutkan juga, Timnas Indonesia mampu mengalahkan Korea Selatan di babak perempatfinal.
Pada babak semifinal Timnas Indonesia berhadapan dengan Uzbekistan. Pada babak ini, terjadi demam sepak bola pada masyarakat Indonesia dari anak muda hingga orang tua. Demam sepak bola ini, merembet ke berbagai daerah.
Bahkan para pejabat seperti bupati atau walikota berlomba-lomba untuk mengadakan nobar (nonton bareng). Nonton bareng mejadi alternatif masyarakat, melihat Antusiasme yang cukup tinggi untuk melihat tim kesayangan mereka berlaga. Ini dapat dilihat dari ramainya pengunjung di berbagai tempat yang dijadikan lokasi nobar.
ADVERTISEMENT
Namun, agenda nonton bareng ini seperti cara bagi pejabat incumbent dalam melakukan branding politik kepada masyarakat khususnya penggemar sepak bola. Apalagi tahun ini menjadi perhelatan pesta demokrasi dari pemilu 14 Februari lalu, hingga pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024.
Di Indonesia, sepak bola dan politik memang sangat sulit dipisahkan. Sepak bola telah menjadi produk dari politik sejak dulu. Bahkan sepak bola telah menjadi komoditas dalam perpolitikan Indonesia. Sama halnya dengan apa yang terjadi dengan Indonesia dan Piala Dunia U-20 lalu. Posisi politik luar negeri Indonesia hingga kini tegas menolak kekerasan dan politik apartheid Israel.
Terpilihnya Nurdin Halid sebagai Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) pada periode 2003-2011 juga tidak lepas dari unsur politik, di mana Nurdin Halid pada saat itu juga merupakan kader Partai Golkar. Selain itu, fenomena terakhir yang hangat dibicarakan adalah ketika Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi juga merangkap jabatan sebagai Gubernur Sumatera Utara. Gebrakan yang paling terkenal ketika Edy Rahmayadi menjadi Ketua Umum PSSI adalah mendatangkan Luis Milla sebagai pelatih Timnas Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun dibalik itu semua, sepakbola juga digunakan sebagai media untuk melakukan diplomasi. Pada tahun 1952, Indonesia telah berhasil membangun hubungan diplomasi dengan Yugoslavia melalui sepakbola. Presiden Soekarno pada saat itu, mengundang Yugoslavia untuk bertanding dan memanfaatkan peristiwa ini untuk menjalin hubungan bilateral dengan Yugoslavia.
Namun intervensi politik di dalam sepak bola sebenarnya tidak buruk. Campur tangan negara justru mengamankan inklusi sosial dalam sepak bola. Kecantikan sepak bola saat ini, tentu dipoles dengan hiasan bernilai triliunan rupiah dari negara. Intervensi politik yang oleh negara dapat dilakukan secara terbatas untuk menghalangi adanya kapitalisme. Rasa-rasanya politik dan sepak bola tetap dibutuhkan dan berjalan secara bersamaan untuk membuat sepak bola lebih hidup.