Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Bukan karena Sentimen Israel Belaka
30 Maret 2023 19:30 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Gigih Imanadi Darma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Butuh berapa waktu buat Indonesia bisa bermain di Piala Dunia? Seberapa pun optimistisnya, kita menyadari bahwa yang paling mungkin adalah berpuluh-puluh tahun kemudian, itupun kalau kita punya roadmap sepak bola yang jelas dan menjalankannya dengan disiplin.
ADVERTISEMENT
Bukan berarti sama sekali tak diusahakan, maka pada 2019 PSSI mengajukan bidding menjadi tuan rumah tunggal Piala Dunia U-20. Lewat proses yang panjang, PSSI mengumpulkan dukungan dari asosiasi sepak bola negara lain dan pendek kata FIFA memilih Indonesia.
Itulah yang disebut jalan pintas. Kita jadi punya kartu khusus untuk maju ke depan, status sebagai negara peserta Piala Dunia U-20 dikantongi. Kejuaraan kelompok umur yang high prestise itu jadi langkah awal bagi Indonesia untuk membidik kejuaraan yang sama di level senior.
PSSI sudah berencana jika sukses dengan hajatan di level junior, maka tak ragu Indonesia akan mengajak negara ASEAN lainnya mengajukan bidding untuk Piala Dunia 2034.
Namun rencana yang indah itu tidak mulus. Saat kita sedang fokus di jalan kita sendiri. Di jalan lain ada Israel. Mereka lolos ke Piala Dunia U-20 dari jalur runner-up Euro U-19 2022. Secara de jure Israel punya hak, mereka ada tiket resmi. Tapi situasi di Indonesia ruwet, negeri ini punya beban sejarah dan konstitusi soal Israel.
ADVERTISEMENT
Inilah yang dipersoalkan oleh beberapa kelompok dan terwakilkan oleh suara dua Gubernur yang daerahnya jadi tempat penyelenggaraan, Ganjar Pranowo dan Wayan Koster menolak kehadiran Israel.
Imbasnya FIFA menjadi ragu, diberi kepercayaan menyambut tamu malah di rumah sendiri masih ribut-ribut. Alhasil drawing Piala Dunia U-20 2023 yang sedianya digelar di Bali pada 31 Maret besok dibatalkan seturut juga dengan dicabutnya status tuan rumah Indonesia.
Hati saya ngilu ketika menengok ke belakang, melihat kilas balik perjalanan panjang Indonesia untuk bisa menjadi tuan rumah event yang melahirkan para legenda sepak bola dunia ini.
Saya melihat wajah-wajah para pemain Timnas U-20 dan terpikirkan juga pertanyaan, bagaimana rasanya impian yang sudah kau rencanakan, kau bangun dan perjuangkan terancam ambruk hanya karena sesuatu diluar dirimu terjadi?
ADVERTISEMENT
Kemungkinan semua jenis emosi beraduk. Kau akan marah, memukul-mukul tembok atau siapa saja yang lewat di depan. Kau akan kecewa, sedih, dan menangis meratapi dirimu dan lain seterusnya.
Kau tidak sendiri, kau merasakan itu sebagai sebuah emosi kolektif. Emosi itu yang tidak dimengerti oleh orang-orang berkepala batu.
Bukan Karena Sentimen Israel Belaka
Saya ingin menggeser fokus kita bukan pada isu penolakan Israel dan solidaritas terhadap Palestina. Jangan sampai terkecoh.
Jangan sampai kebencian terhadap suatu kaum membuat kita kehilangan kewarasan. Jangan sampai sentimen Israel membuat akal kita tertutup untuk melacak kenyataan pahit yang sebenarnya.
Untuk itu marilah berandai-andai sejenak: Bertahun-tahun mendatang FIFA mungkin menunjuk Israel sebagai tuan rumah Piala Dunia, dan Palestina lolos putaran final, mereka lalu bertanding di Haifa, Tel Aviv, atau dimanapun asal bukan di Jalur Gaza.
ADVERTISEMENT
Sementara itu di mana posisi Indonesia? Tak sanggup saya memikirkannya walau cuma berandai-andai.
Mengapa kita terlalu merasa menjaga perasaan Palestina, tetapi ironisnya sekaligus harus menyayat perasaan anak bangsa sendiri? Kemenangan untuk bangsa lain, kekalahan untuk bangsa sendiri.
Meninju Israel atas kejahatan terhadap Palestina itu niat yang mulia, tapi persoalannya apakah niat itu bisa dibarengi dengan kemurnian hati dan konsistensi memperjuangkan? Tidak lantas dijadikan alat untuk dipolitisasi kalau sewaktu-waktu dibutuhkan.
Ya, seperti yang terjadi saat ini.
Lebih jelasnya kalimat di atas sengaja saya utarakan untuk menggambarkan apa yang ada di benak dan situasi masyarakat dan seperti apa gamangnya suasana batin mereka.
Masyarakat kita telanjur terbawa emosi sentimen agama. Soal konflik Israel-Palestina.
ADVERTISEMENT
Padahal bukan kurang banyak atlet Israel yang pernah berlaga di kejuaraan olahraga di Indonesia. Aman-aman saja. Mengapa tidak dipersoalkan? Apa karena skalanya tidak seksi sudah dibahas ketimbang Israel U-20 yang rombongan?
Padahal lagi, dalam skuad Israel U-20 saat ini ada pemain bernama Ahmad Ibrahim Salman, striker yang di level klub bermain untuk Maccabi Netanya itu sangat jelas beragama Islam.
Bahkan satu dekade belakangan, di level senior kapten Israel adalah seorang muslim taat bernama Bibras Natkho. Belum ditambah pemain-pemain muslim lainnya yang mewarnai skuad dengan jersey biru langit dan putih itu, ada Moanes Dabbur, Dia Mohammad Saba, Marwan Kabha, Beram Kayal, dan banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Para pemain Muslim itu berada di skuad Israel murni karena sepak bola, tidak ada ribut-ribut mempersoalkan sentimen agama yang oleh masyarakat kita memandangnya secara hitam putih.
Perlu diketahui di Israel populasi Islam menurut PewResearch mencapai 14 persen dari jumlah sekitar 10 juta penduduk.
Indonesia Belum Siap, Kok Bisa?
Lantas dengan fakta-fakta di atas, kalau bukan Israel lalu apa sebenarnya akar masalahnya? Yang terjadi adalah Indonesia belum siap dan aji mumpung menjadikan sentimen Israel sebagai tameng untuk bersembunyi dari ketidakbecusan.
Begini, sekitar 4 tahun setelah memenangi bidding Piala Dunia U-20, progres infrastruktur berupa 6 vanue stadion dan segala hal yang berkaitan dengan itu termasuk pengorganisasian event berjalan lambat.
Stadion-stadion yang di inspeksi FIFA mendapat rapor merah, padahal penyelenggaraan kurang dari 2 bulan lagi. Bahkan ada stadion yang dipakai untuk menggelar dua konser musik dalam waktu berdekatan.
ADVERTISEMENT
Dengan ketersediaan waktu yang sangat panjang, Indonesia gagal memenuhi standar penyelenggaraan event internasional yang mendasar dari FIFA.
Pertanyaannya, ke mana uang yang oleh Menpora Zainudin Amali, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Umum PSSI, sekitar Rp 500 Miliar yang digelontorkan untuk persiapan Piala Dunia U-20?
Kalau ada sesuatu yang tak beres, ke mana biasanya larinya uang-uang itu? Kertas bergambar Bung Karno dan Bung Hatta itu tentu hanya diam. Benda mati yag tak punya kaki. Tapi bukankah, orang-orang yang mengurus Piala Dunia U-20 punya kaki?
Saya hanya memantik dengan pertanyaan bermisal-misal, urusan jawaban pikirkanlah sendiri. Semoga dengan berpuasa Anda bisa lebih berpikir jernih.
Detail yang sebaiknya tidak diabaikan juga adalah soal dua Gubernur yang menolak kehadiran Israel, ingat-ingatlah mereka merupakan kader yang berasal dari partai pemenang pemilu, yang secara spektrum politik tidak matching bagi mereka menyuarakan sentimen Israel ini.
ADVERTISEMENT
Padahal jauh-jauh hari, termasuk tiap-tiap kepala daerah yang daerahnya menjadi vanue Piala Dunia U-20 2023 sudah meneken Government Guarantee, yang mana di dalamnya memuat soal jaminan keamanan negara peserta.
Israel U-20 sudah memastikan diri lolos sejak Juli 2022 lalu. Lalu mengapa baru sekitar satu dua bulan belakangan ini banyak bermunculan Don Quixote lokal?
Dalam pernyataan resmi yang dirilis FIFA, salah satu point yang menarik adalah tidak disebutkannya masalah Israel dan malah yang di mention adalah Tragedi Kanjuruhan Oktober lalu.
Artinya apa? Sekali lagi, dari segi infrastruktur dan segala sesuatu yang beriirisan dengan itu FIFA menilai Indonesia terlalu lambat alias belum siap.
Meskipun tak bisa dimengerti mengapa pengelolaan event yang bisa membuat bangsa ini marwahnya terangkat malah tidak secara serius diurus.
ADVERTISEMENT
Sementara di lain sisi, kita juga dibuat tercengang dengan laporan PPATK Kemenkeu tentang transaksi janggal senilai Rp 349 triliun. Betapa bagusnya kalau uang sejumlah itu dibuat untuk membenahi sepak bola Indonesia.
Catatan Penutup
Dengan dicabutnya status tuan rumah Piala Dunia U-20, kini sepak bola Indonesia dibayang-bayangi sanksi FIFA. Tapi saya tak mau membayangkan sesuatu yang buruk kembali terjadi.
Atas nama sepak bola Indonesia, untuk negeri yang kita cintai ini: semoga lekas pulih. Comeback stronger.
Tabik!