Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kritik Bima Yudho dan Bayang-Bayang Jerat UU ITE
16 April 2023 18:44 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Gigih Imanadi Darma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di luar tokoh wayang dan nama pelatih sepak bola, semula saya cuma mengenal tiga Bima . Pertama, cucu seorang haji yang masih terhitung keluarga di kampung saya nun jauh di Sumatera Selatan sana.
ADVERTISEMENT
Kedua, senior kuliah yang meminjam buku saya tiga tahun lamanya lalu mengembalikannya sambil menghibahkan puluhan buku lainnya untuk inventaris organisasi. Ketiga, kenalan saya di sebuah komunitas diskusi buku di Jogja, yang saya tidak yakin apakah dia masih mengingat nama saya.
Anggaplah boleh, saya ingin menggenapkan daftar itu. Saya mencatut nama Bima Yudho Saputro dengan mengklaimnya sebagai seorang kawan. Iya, sebagai seorang kawan sekalipun kami belum pernah bertemu atau berkomunikasi, baik secara langsung maupun tidak.
Isi Kritikan Bima Yudho
Saya suka mengkritik hal-hal yang mengganjal pikiran dan hati saya. Pada konteks itu bolehlah kalau saya berkawan dengan Bima Yudho, pemuda dengan akun TikTok @awbimaxreborn yang lewat platform itu menjelaskan mengapa Lampung sebagai daerah asalnya itu tidak kunjung maju-maju.
ADVERTISEMENT
Tidak maju-maju itu merujuk pada waktu. Lalu, berapa rentang waktunya? Apakah lima tahun ke belakang, 10 tahun, 20 tahun, atau berapa persisnya? Detail itu tidak penting-penting amat, garis besarnya adalah pada hal-hal tak selesai yang disebut oleh Bima Yudho.
Ini bukan dosa satu dua kepala. Ini dosa turun-temurun. Dosa warisan yang dilanjutkan.
Tanpa menyebutkan hal di atas, Bima Yudho menyoroti sejumlah sektor di Lampung —juga problem banyak daerah di Indonesia—mengalami kerusakan yang akut: keterbatasan infrastruktur, sistem pendidikan, tata kelola birokasi, laju perekonomian yang terlalu bergantung pada pertanian dan seterusnya.
Apa-apa yang disampaikan Bima Yudho tidak mengada-ada. Dia tumbuh besar di Lampung, tidak tiba-tiba menerawang dari kos-kosannya di Australia.
Kalau mau sedikit repot membuktikan kebenaran yang disampaikan Bima Yudho, Anda tidak perlu ke Lampung untuk memancing ikan atau berendam atau menanam pohon pisang di ribuan kubangan lubang, bacalah sedikit petunjuk dari statistik BPS atau di platform Katadata.
ADVERTISEMENT
Saya tidak hendak merinci data-data itu di sini. Anda bisa mencarinya sendiri. Tapi saya ingin menyitir satu data saja dari BPS, Lampung menjadi provinsi dengan persentase penduduk miskin mencapai 11,44 persen per September 2022. Satu data ini bisa menjadi cermin faktor mengenai apa yang dipresentasikan oleh Bima Yudho.
Kritik dalam Jeratan UU ITE
Bukannya tercerahkan dan berucap terima kasih, Gandi Ansori, seorang advokat yang juga berasal dari Lampung malah melaporkan Bima Yudho ke Polda setempat dengan aduan pidana salah satu pasal UU ITE. Produk hukum yang satu itu memang sering dipakai untuk meredam, membungkam suara-suara kritik.
Sosok yang disebut sebagai tim kuasa hukum Gubernur Lampung Arinal Djunaidi itu mungkin lagi sepi pekerjaan dan butuh THR. Ginda Ansori keberatan karena Bima Yudho menyebut Lampung sebagai provinsi "Dajjal".
ADVERTISEMENT
Kita mengerti itu adalah metafora—yang meskipun agak dipaksakan tetapi itulah ekspresi kegemasan—sebentuk peduli Bima Yudho kepada daerah asalnya yang tak kunjung ideal.
Tapi dalam pandangan yang berlawanan, kegemasan itu dijadikan celah. Ginda Ansori menganggap kalau narasi Bima Yudho memperburuk citra Lampung, menyesatkan dan rawan hoax karena tidak didukung oleh data-data.
Betapa gawatnya kalau sedikit-sedikit kritik diperkarakan karena dinilai sebagai penghinaan, pencemaran nama baik, dan seterusnya. Bagaimana pula caranya membedakan garis antara penghinaan dan kritik?
Kalau begini tidakkah kita menjadi khawatir, boleh jadi di hadapan hukum tafsir kekuasan akan lebih dibenarkan? Kita mau bersuara tetapi keamanan kita terjerat pasal-pasal yang berbasis perasaan. Karet.
Catatan Penutup
Dari viralnya kritik Bima Yudo, saya menangkap beberapa hal yang bisa kita jadikan bahan evaluasi, perenungan. Pertama, kita mesti sadar kalau kebebasan kita bermain sosial media tidak serta merta disertai keamanan ketika menyuarakan pendapat. Muatan konten yang kita unggah sangat rawan melahirkan ketersinggungan bagi orang lain.
ADVERTISEMENT
Kedua, pemilihan kata yang kita gunakan, cara kita mengekspresikan emosi dan sebagainya itu juga berpotensi menyeret kita ke ranah hukum. Fakta menggelitik ini sebaiknya tidak kita abaikan.
Ramai-ramai Bima Yudho ini menjadi pengingat agar kita lebih awas. Lebih siap lagi belajar. Semoga kita selalu berada di level kesadaran untuk mengemas kritik dengan pemilihan kata yang aman, merujuk sumber data yang kredibel dan seterusnya.
Lebih asyik lagi kalau ada unsur komedi dan sebagainya. Ada banyak sekali pilihan cara. Jadi, mari suarakan kritik dengan cara yang indah, paling tidak kalau ada kuping yang terganggu kita bisa dengan mudah menilai kalau selera orang itu buruk.
Video presentasi kritik Bima Yudho tak sampai empat menit. Tetapi itu sudah cukup untuk membuat heboh pihak-pihak yang tersinggung. Tapi kabar baiknya aroma kebenaran makin menguar.
ADVERTISEMENT
Saya lantas teringat kata Nyai Ontosoroh, karakter perempuan kuat dalam novel Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer. Ibu dari Annelies Mellema itu mengatakan, "Dengan melawan kita takkan sepenuh kalah".
Kritik adalah perlawanan kecil dan kita perlu memperbanyaknya. Jadi mari terus melawan. Terus belajar mengkritik dengan baik. Sebab, di setiap kritik akan selalu ada orang atau institusi yang bermental seperti pelapor Bima Yudho.
Tabik!