Konten dari Pengguna

Little India dan Kaum Ekonomi Lemah di Kota Singa

Gilang Mahadika
Anthropologist, and interested in Southeast Asian studies. #SameShitDifferentDay
23 Juni 2020 10:19 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gilang Mahadika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Laki-laki India sedang duduk merokok ditemani kaleng minuman dekat sepeda | doc : pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Laki-laki India sedang duduk merokok ditemani kaleng minuman dekat sepeda | doc : pribadi
ADVERTISEMENT
Pada bulan November 2019 lalu, bertemu dengan imigran Tamil India yang bekerja di sektor industri jasa menjadi uber driver (pengemudi uber). Salah satu pengemudi yang mengantarkan saya ke pusat kota adalah seorang imigran Tamil India di bawah perusahaan Go-Jek yang ada di Singapura. Ia pun bercerita, dirinya harus mengubah warga negaranya terlebih dahulu agar dapat bekerja menjadi pengemudi online. Dirinya juga mengeluhkan adanya ERP (Electronic Road Pricing) yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai cara meminimalisir kemacetan di waktu tertentu saja, seperti di jam 7 pagi atau 7 malam. Sehingga biaya tersebut dibebankan pada customer seperti saya yang harus membayar lebih karena terkena ERP, pada akhirnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Ia menurunkan diriku di suatu jalan Geylang di Singapura, sebuah jalan yang tidak seperti yang dibayangkan layaknya metropolis negara-kota pada umumnya. Memasuki gang Lor 20 Geylang akan disajikan hotel bintang dua ke bawah dan ironisnya tidak begitu kumuh. Di sela-sela hotel terhimpit perumahan dan apartemen sewa penduduk etnis Cina, dan suasana begitu familiar hampir seperti di perumahan Indonesia pada umumnya. Di sini banyak ditemui imigran Cina dan India yang melebur di tengah aktivitas sehari-hari. Tidak seperti yang berada di pusat kota dengan penuh ekspatriat dan gedung pencakar langit lainnya, namun melalui keberadaan masyarakat yang masuk dalam kaum ekonomi lemah di negara maju menjadi suatu hal yang menarik untuk diangkat terutama mengenai pergulatan hidup imigran India menjadi penopang kelas ekonomi bawah di salah satu negara maju Asia Tenggara, Singapura.
ADVERTISEMENT
Tulisan artikel etnografis menarik dari Wajihah Hamid berjudul Feelings of Home Amongst Tamil Migrant Workers in Singapore’s Little India (2015) menyajikan narasi sejarah dan kisah pilu yang dirasakan oleh imigran Tamil India yang memeroleh stereotip oleh penduduk lokal Singapura sendiri. Sudah lebih dari dua dekade imigran Tamil India menghadapi beragam komplain dan meningkatkan xenofobia penduduk lokal karena mereka dianggap imigran yang agresif. Bahkan, pemerintah mengeluarkan banyak batasan-batasan bagi para pekerja imigran, seperti tidak diperbolehkannya menikahi penduduk asli (hlm 11).
Imigran India bekerja sebagai pekerja dengan sebutan 3D (dirty, difficult, and dangerous) dan menjadi esensial karena pekerjaan ‘3D’ ini berkontribusi besar dalam pembangunan negara-kota Singapura (hlm, 23). Selagi bekerja di negara tetangga dan satu-satunya kota yang membuat imigran Tamil India nyaman dan merasa dekat dengan rumahnya ada di Little India ini. Bagi para pekerja konstruksi bangunan dari Tamil India pertama kalinya datang ke Singapura, mereka biasanya langsung mendatangi daerah ini karena dianggap oleh para imigran Tamil India sendiri sebagai ruang sosial transnasional yang berasal dari sistem migrasi pada awal kolonial hingga sekarang, sehingga daerah ini sangat penting bagi imigran India agar dapat merasakan kembali rumah dan kebersamaan identitas mereka sebagai warga Tamil India (hlm 13).
ADVERTISEMENT
Seorang perempuan India berjalan di kawasan Little India | doc : pribadi
Mereka seringkali menghadapi ekslusi dari para penduduk dan warga sekitar mereka, salah satunya seperti melakukan komplain kepada imigran Tamil bahwa mereka sangat berisik dan kotor (hlm, 16), terutama bagi para migran laki-laki India yang distereotipkan oleh penduduk sekitar secara seksual mengancamkan. Bahkan, orang-orang seringkali membicarakan daerah ini penuh dengan aktivitas perampokan, padahal kenyataannya belum pernah ada bukti terjadinya kasus kriminal di daerah ini (hlm, 18).
Lebih rincinya Wajihah Hamid dan Dylan Tutt dalam tulisannya berjudulThrown away like a banana tree” precarity of labour and precarity of place for Tamil migrant construction workers in Singapore (2019), mencoba masuk lebih dalam kehidupan imigran India yang berada dalam keadaan rentan (precarious) dari segi pekerjaan dan seringkali dibedakan dengan imigran Cina yang lebih memiliki privilege di Singapura. Bahkan kejadian itu dapat diperoleh ketika imigran Tamil dengan imigran Cina sama-sama bekerja dalam industri bangunan dan pembagian minimum upah pun dibedakan berdasarkan etnisnya. Seperti salah satu informan dalam tulisan Hamid dan Tutt mengatakan,
ADVERTISEMENT
Imigran India tidak hanya memperoleh diskriminasi dari pemerintah negara-kota Singapura, namun juga adanya diskriminasi kultural yang terjadi di antara para imigran. Hal seperti ini menjadi permasalahan bagi negara yang sudah maju menghadapi kehidupan multikulturalisme yang tidak hanya hidup dalam satu etnis atau ras saja, melainkan mereka menghadapi banyak kelompok minoritas yang menjadi imigran berusaha mencari penghidupan yang lebih layak di negara yang lebih maju. Meskipun, saat ini sudah adanya perkembangan dalam kebijakan yang lebih mewadahi hak-hak sipil imigran yang hidup di tanah orang lain, perlu kiranya mempertimbangkan kembali peran penting mereka dalam menopang perekonomian di negara maju.
ADVERTISEMENT