Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sudah Berusaha Menabung, Eh Tetap Miskin
27 Mei 2020 13:19 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Gilang Mahadika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kehidupan yang dijalani oleh dunia kelas elite sangatlah mudah dibayangkan, terlepas dari berada dalam kelas sosial mana diri kita saat ini. Bahkan mereka dapat memutar kembali perekonomian dengan berinvestasi atau mendepositkan kekayaannya.
ADVERTISEMENT
Berbeda kasus apabila kita memandang dunia kelas pekerja atau masyarakat miskin (the working poor). Bahkan, segmentasi masyarakat miskin pun dapat menjadi lebih beragam dan kompleks, misalkan diambil satu contoh sederhana dalam sektor pekerjaan.
Terdapat pekerjaan formal dan informal, di mana pekerjaan formal adalah mereka secara sederhana kita anggap memperoleh gaji tetap (pokok). Meskipun masih kekurangan di sana-sini, setidaknya mereka masih memperoleh pendapatan yang dapat terukur. Lalu, pekerjaan informal adalah mereka yang berada dalam kondisi rentan atau prekariat.
Segmen pekerjaan yang terakhir ini, mereka hidup dalam kondisi yang tidak mengerti dan bahkan tidak dapat memprediksi masa depan apakah akan terus dapat mempertahankan pekerjaannya atau tidak. Karena mereka bekerja serabutan atau hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, seperti makan, minum, dan lainnya. Ditambah, jika mereka harus berobat ke dokter dan memenuhi kebutuhan anak untuk sekolah. Maka dari itu, tak heran jika mereka mudah jatuh ke dalam kondisi yang rentan dan tak sedikit pula yang terjerat utang.
ADVERTISEMENT
Banyak yang mengulas dengan berbagai macam kajian ilmiah perkara masyarakat miskin itu harus dibantu agar dapat menyisakan uangnya apabila nanti terdapat pengeluaran tak terduga. Bahkan ada pula yang membahas masyarakat miskin apabila sudah ada kecenderungan memilih untuk menabungkan uangnya daripada untuk dibelanjakan itu berarti sudah memiliki mindset yang lebih baik. Terkadang argumentasi seperti itu kaitannya dengan masyarakat miskin didorong untuk menabung menurut saya sendiri merasa terkesan sangatlah dipaksakan. Bagaimana caranya masyarakat miskin mengelola uangnya apabila sudah terlahir miskin?
Meskipun juga tidak sedikit kajian mengenai bagaimana masyarakat miskin berupaya untuk menabung atau menyisakan uangnya dengan cara seperti di Indonesia pada umumnya yang seringkali kita temui di desa-desa atau bahkan juga muncul di perkotaan, mereka melakukan arisan. Metode arisan (savings club) ini yang biasanya para perempuan lebih teliti dalam menghitung sirkulasi keuangan dari suatu RT (Rukun Tetangga) suatu tempat.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya terjadi di Indonesia, di berbagai negara di Asia Tenggara juga menerapkan arisan hanya berbeda nama, seperti orang Vietnam menyebutnya Hui, orang Ethiopia menyebutnya ekub, bahkan di New Jersey yang mana terdapat generasi imigran orang Jamaika juga menyebutnya sou-sou. Metode semacam arisan ini dianggap ampuh dan menyirat nilai kolektif masyarakat untuk saling membantu satu sama lain. Namun, apabila kita tidak taat dalam menabung bulanan juga akan memperoleh sangsi sosial pada umumnya, entah memeroleh cibiran atau menjadi perbincangan di sekitar tetangga satu dengan yang lain. Meskipun demikian, lalu bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki pekerjaan yang tetap (tidak stabil) dan pendapatan tetap, tentunya akan menghambat atau memberikan kendala bagi kelompok yang berpartisipasi di dalam arisan tersebut.
ADVERTISEMENT
Membangun masyarakat miskin rupanya terlihat mudah-mudah-susah. Ada salah satu buku berjudul Poor Economics: Rethinking Poverty & the Ways to End it yang ditulis oleh Esther Duflo dan Abhijit V. Banerjee (2019), yang mencoba melihat cara-cara bagaimana mengatasi kemiskinan terutama yang terjadi di negara berkembang, termasuk mengambil sampelnya di Indonesia. Membangun masyarakat miskin dengan memberikan kredit mikro (pinjaman skala kecil) agar masyarakat dapat meningkatkan kualitas ekonominya tidak membuat mereka dapat terlepas dari jeratan kemiskinan.
Ditambah, apabila terdapat keluarga yang terlanjur berhutang banyak, uang yang disimpan juga akan berakhir sekadar untuk membayar cicilan, dan sulit untuk menabung. Memberikan kredit mikro dengan mendorong mereka untuk untuk membuka usaha agar dapat meningkatkan kualitas hidup mereka juga rupanya membutuhkan waktu yang cukup lama (sekitar 20 tahun) agar benar-benar lepas dari kemiskinan. Bahkan di Indonesia dua dari tiga usaha kecil yang diupayakan oleh masyarakat melalui kredit mikro seringkali hanya bertahan maksimal lima tahun.
ADVERTISEMENT
Terdapat banyak cara agar masyarakat miskin dapat terbebas dari kemiskinan, salah satu dan yang paling utama dalam buku Duflo dan Banerjee (2019) menunjukkan dengan cara memberikan akses dan memperbaiki sistem pendidikan yang berada di suatu negara, seperti di Indonesia. Pendidikan menjadi suatu hal yang penting untuk memobilisasi sosial, terutama apabila anak dari keluarga miskin dapat mengakses pendidikan hingga pada tingkat SMA/SMK (secondary education), mereka dapat menjadi tenaga kerja yang terampil.
Ditambah, apabila anak dapat mengakses jenjang pendidikan yang lebih tinggi, kuliah di perguruan tinggi, dan memutuskan menjadi guru atau tenaga pengajar dan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (civil servants) adalah suatu hal yang didambakan oleh orang tua kepada anak dari keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Maka dari itu, memperbaiki pendidikan menjadi kunci utama agar masyarakat bawah dapat melakukan mobilitas sosial. Lalu, menabung menjadi suatu yang memungkinkan bagi mereka dan harapannya menabung tidak menjadi kendala apabila memperoleh penghasilan yang tetap.
ADVERTISEMENT
Cara agar dapat memperbaiki kebiasaan yang sering menabung berbulan-bulan, memang pada akhirnya membuahkan hasil, namun perlu berbulan-bulan untuk memperoleh barang yang diinginkan. Agar dapat memperbaiki keadaan tersebut ada beberapa cara seperti membuat klub menabung dengan teman atau tetangga sebelah jika tidak keberatan dan lagipula itu juga dapat memperkuat relasi sosial dengan orang sekitar.
Terlepas dari segala usaha itu, memperbaiki kualitas hidup adalah hal yang paling utama, seperti mengakses dunia pendidikan ke jenjang lebih tinggi misalnya. Meskipun berbagai polemik bermunculan di negara Indonesia ini dalam sistem pendidikan, namun setidaknya dapat melihat bagaimana pentingnya pendidikan agar hidup menjadi bernilai tidak hanya untuk diri sendiri, namun juga untuk orang lain di sekitar.
ADVERTISEMENT