Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ukir Cita-cita Lewat Wayang Golek
8 Maret 2018 15:57 WIB
·
waktu baca 4 menitDiperbarui 4 Desember 2023 12:55 WIB
Tulisan dari Gilang GP tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Malam itu cuaca tidak terlalu buruk. Langit terlihat memancarkan gugusan bintang yang cahayanya memantul pada permukaan air sungai, menjadi lanskap sepanjang jalan irigasi Kp. Cinangka , Subang, Jawa Barat. Sepoi angin malam menyelimuti bentangan sawah. Semesta memang tak pernah gagal menunjukkan kemegahannya.
ADVERTISEMENT
Sayup-sayup suara mesin kereta terdengar dari kejauhan. Kereta itu menuju Jakarta dari tengah Jawa. Derunya seperti berkejaran dengan harapan para penumpang di dalamnya. Malam yang tak terlalu dingin juga tak terlalu gerah. Cukup sejuk.
Ini berarti waktu yang presisi untuk melakukan sesi mencari tahu mengenai kabar seorang remaja yang mahir memainkan wayang golek dan menjadi perbincangan hangat di warung warga. Ia bernama Widodo Jaya Kusuma.
Di Indonesia terdapat jenis wayang yang pernah populer. Setidaknya ada lima jenis wayang yang kerap dimainkan orang Indonesia; wayang kulit, wayang golek, wayang wong, wayang beber, dan wayang klitik.
Wayang golek, sebagaimana wayang lainnya, adalah alat komunikasi yang lengkap. Berfungsi sebagai alat komunikasi pandang dengar yang telah akrab sejak lama dengan para audiensnya. Aneka tuntunan dikemas dalam tuturan para dalang. Darinya penonton pun diberi dua hal: nilai-nilai (tuntunan) dan hiburan (tontonan).
ADVERTISEMENT
Dalam buku Kajian Estetika Rupa Tokoh Golek, Jajang Suryana, menyebut jika cerita Mahabharata telah dimainkan dalam pertunjukkan wayang sejak 900-an.
Seperti kita ketahui wayang bukan hanya salah satu kekayaan budaya nusantara yang pernah diakui UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia untuk dunia, namun ia juga cara dakwah yang dilakukan Sembilan Wali, terutama Sunan Kalijaga saat menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Masih terselip dalam memori sewaktu kecil saya sering diajak bapak berkunjung ke tempat-tempat yang terdapat pertunjukkan seni tradisonal, salah satunya wayang golek.
Tak jarang bapak juga menirukan beragam suara karakter wayang golek kala itu. Dari Arjuna, Bima, Yudhistira hingga Cepot.
Bahkan, akhiran nama bapak pun dinamai karakter wayang. Bagi saya hal itu membuat kesan yang mendalam. Bagaimana bisa satu orang menirukan berbagai macam suara?
ADVERTISEMENT
Wayang golek sendiri berasal dari Jawa Barat yang pada hari ini cukup langka untuk ditemukan pertunjukkannya, khususnya sepeninggal Asep Sunandar Sunarya, maestro dalang yang piawai memainkan ragam karakter golek di atas panggung.
Bisa dibilang Widodo berhutang rasa dengan Asep Sunandar Sunarya. Satu waktu Asep pernah mentas di kampungnya Dodo. –begitulah Widodo disapa, tinggali. Semenjak saat itu di usianya yang masih piyik, Dodo jatuh hati dengan seni wayang golek.
Dalam benak Dodo pementasan dalang Asep di kampungnya begitu memukau dirinya. Penampilan Asep bagai petani meyemai bibit padi.
Ia tampak bungah dengan seni wayang golek. Dodo mengaku jika ia memang jatuh cinta dengan kesenian yang umurnya sudah sepuh ini.
Tak heran koleksi cakram padat berisikan pertunjukkan Asep Sunandar Sunarya pun menumpuk. Berbekal VCD bajakan itulah Dodo menekuni kesenian ini.
ADVERTISEMENT
***
Pemandangan langit malam makin meninggi, semilir dingin menyergap pori-pori. Namun, terasa hangat dengan keramahtamahan pemilik rumah. Para tetangga terlihat hilir mudik di depan pekarangan dalang remaja itu.
Dodo kini baru duduk di kelas IX, usianya 15 tahun. Pelajaran favoritnya adalah seni budaya, dan ia sangat tidak menyukai pelajaran Bahasa inggris dan matematika. “Lieur ah…,” keluhnya.
Mulanya memang ibunda Dodo, Maryam, merasa khawatir karena hobi anaknya yang tak biasa untuk ukuran remaja hari ini yang kebanyakan lebih asyik memainkan Mobile Legend ketimbang wayang golek.
Tak jarang teman-teman Dodo menganggap aneh dengan hobinya yang tak umum ini. Ia sering diejek karena hobinya itu. Dasar Dodo! Ia tak ambil pusing dengan hal itu. Ia tetap memainkan wayang golek setelah pulang sekolah.
ADVERTISEMENT
Tak hanya memainkannya, ia juga mengukir bentuk golek yang terbuat dari kayu pohon randu dan merajut baju-baju golek tersebut seorang diri.
Menurut penuturan ayahnya, Dedi, untuk menjadi dalang itu tidaklah sembarangan. “Harus ada orang yang menuntunnya,” ucapnya, seraya menghembuskan asap rokok ke udara.
Maryam khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada Dodo jika tak ada yang mengajarkan seni wayang dengan baik dan benar. Konon, untuk belajar wayang harus melalui ritual-ritual tertentu.
Maka Dodo pun berguru kepada dalang berpengalaman bernama Sano Mihardja yang sehari-harinya dapat ditemui di Kp. Bale Bandung, Subang, Jawa Barat yang tak begitu jauh dari tempatnya tinggal.
Seminggu sekali Dodo menyambangi kediaman gurunya. Ia ditemani karibnya, Rafli, teman sekolahnya yang berperan sebagai laden atau bisa kita sebut asisten dalang untuk belajar kesenian wayang golek.
ADVERTISEMENT
“Abah Sano tidaklah seperti guru-guru pada umumnya,” ucap Dodo. Ia menyebut gurunya itu dengan sebutan abah. “Kalau guru lain kan waktu ngajarin itu ngomong, abah mah nggak,” tambah Dodo. “Jadi kitanya yang harus aktif nanya-nanya ini itu,” gumamnya lagi.
Saat ini di Kabupaten Subang sendiri terdapat 42 dalang yang berada di bawah naungan Persatuan Pedalangan Indonesia, dan yang masih aktif melakukan pentas hanya separuhnya saja.
Undangan pementasan wayang memang tak selaris Ayam Geprek Keprabon Mozarella. Menjadikan dalang sebagai profesi utama terasa berat mengingat miskinnya kesadaran merawat dari para pemangku kepentingan. Oleh karenanya mendalang, sebagaimana bermain musik, sebagai sampingan saja.
Disinggung mengenai cita-cita Dodo, dengan mantap ia menjawab: Ingin seperti Asep Sunandar Sunarya!
Foto: Dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT