Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dinamika Polemik Pengesahan UU TPKS: Satu Dekade yang Ditangguhkan
14 April 2022 13:20 WIB
Tulisan dari Gina Fahira Febriyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sah! Tepat pada 12 April 2022 Rancangan Undang-Undangan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) berhasil disahkan oleh DPR RI setelah penantian panjang yang ditangguhkan selama satu dekade lamanya.
ADVERTISEMENT
RUU yang diinisiasi sejak 2012 ini mulai direalisasikan pada tahun 2014 dengan penyusunan draf dilakukan oleh Komnas Perempuan, LBH Apik Jakarta, dan Forum Pengada Layanan (FPL). Penyerahan naskah akademik pun baru dilakukan empat tahun kemudian pada tahun 2016 kepada DPR RI.
Berbagai dinamika dan polemik turut menghadiri setiap proses perjalanan panjang RUU TPKS hingga akhirnya membuahkan hasil dengan disahkannya menjadi Undang-Undang (UU). RUU TPKS yang semula bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kerap mengalami keluar masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak asumsi yang bermunculan atas interpretasi terhadap RUU TPKS yang menyebabkan berbagai pro dan kontra, tak terkecuali dari kubu pemerintahan itu sendiri.
1. Terbenturnya dengan paham konservatisme
ADVERTISEMENT
Kaum konservatisme, utamanya fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) pun menjadi salah satu yang menghambat pengesahan RUU TPKS. Penolakan yang dilakukan oleh fraksi PKS didasarkan pada muatan RUU yang dianggap bersifat liberal sehingga tidak sesuai dengan norma ketimuran dan mengabaikan nilai-nilai agama[1]. Hal ini kemudian dibantah oleh pihak Komnas Perempuan dan KPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) yang menyatakan bahwa RUU TPKS merupakan aturan hukum yang bersifat khusus dan mengesampingkan yang besifat umum (lex specialis derogat lex generalis) yang didasarkan pada fakta kekerasan seksual yang masih marak dan tinggi di Indonesia.
Selaras dengan bantahan tersebut, berdasarkan Catatan Kekerasan Tahunan terhadap Perempuan Tahun 2021 dan 2022 (CATAHU) oleh Kompas Perempuan, setidaknya terdapat 299.911 kasus yang terjadi sepanjang tahun 2020[2] dan 338.496 kasus pada tahun 2021[3]. Hal ini mengidentifikasi adanya peningkatan angka kasus yang mengindikasikan bahwa Indonesia gawat kekerasan seksual. Riset yang dilakukan oleh Value Champion, perusahaan asal Singapura, pun menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara kedua dari 14 negara di kawasan Asia Pasifik yang paling berbahaya untuk perempuan.
ADVERTISEMENT
2. Dicabutnya dari Prolegnas Prioritas
Pada tahun 2020, RUU PKS (penyebutan nama pada saat itu) dicabut dari Prolegnas Prioritas, dan DPR memutuskan untuk memilih merampungkan RUU Cipta Kerja. Anggapan bahwa “pembahasannya agak sulit” menjadi alasan RUU PKS dikeluarkan dari daftar tersebut. Padahal RUU Cipta Kerja juga memiliki pembahasan yang sulit karena ruang lingkupnya yang luas dan disusun dengan metode omnibus law. Lantas apa yang melatarbelakangi keputusan ini? Apakah keputusan untuk merampungkan RUU Cipta Kerja didasarkan untuk mendahulukan kepentingan para elite dan menormorduakan kepentingan rakyat khususnya para penyintas pelecehan seksual? Mengingat bahwasanya RUU Cipta Kerja berkaitan dengan sektor perekonomian yang dapat melanggengkan kekuasaan para elite.
Pencabutan RUU PKS pada saat itu pun menimbulkan berbagai pertentangan dari berbagai pihak karena dianggap mengalami kemunduran. Sulitnya pembahasan ini juga seharusnya dapat diatasi selagi ada political will yang kuat untuk mewujudkan terealisasinya UU TPKS di tengah kondisi gawatnya kekerasan seksual di Indonesia.
ADVERTISEMENT
3. RKUHP yang tak kunjung diselesaikan
Lambatnya pengesahan RUU TPKS juga dipengaruhi oleh Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tak kunjung diselesaikan. Sebab pemidanaan dalam UU tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah dituangkan dalam RKUHP. Hal ini juga dimaksudkan agar tidak ada overlapping atau timpang tindih pada peraturan yang sudah ada.
Walaupun demikian, seharusnya akan lebih mudah untuk dapat menyelasaikan RUU TPKS terlebih dahulu karena sifatnya yang lex specialis dan hanya memuat satu tema besar yakni kekerasan seksual. Sementara, RKUHP memuat seluruh hukum pidana.
Selama sepuluh tahun, daruratnya kasus kekerasan seksual di Indonesia tidak didukung dengan keberadaan peraturan perundang-undangan yang berpesktif korban. Berbagai pengaduan mengenai kasus kekerasan seksual pun tidak mampu tertangani dengan baik akibat tidak adanya payung hukum yang dapat menaungi. Namun kini, hadirnya UU TPKS dapat menjadi suatu bentuk konkret atas hadirnya negara bagi para penyintas kekerasan seksual. Oleh karena itu, apresiasi yang sebesar-besarnya patut diberikan kepada semua pihak yang terlibat dalam proses pengesahan UU TPKS. Hal ini tidak dapat terwujud tanpa adanya kolaborasi bersama antar semua elemen bangsa.
ADVERTISEMENT
Kini saatnya kita, masyarakat Indonesia, untuk dapat terus menjalankan fungsi pengawasan atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan agar dalam pengimplementasiannya dapat sesuai dengan tujuan pembentukannya. Tak hanya itu, masyarakat juga diharapkan dapat terlibat langsung dalam pencegahan dan pengawasan terkait kasus kekerasan seksual.