Konten dari Pengguna

Diskriminasi Gender: Laki-laki Juga Tertindas!

Gina Fahira Febriyanti
Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran.
17 September 2022 15:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gina Fahira Febriyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: Freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: Freepik.com
ADVERTISEMENT
Sistem patriarki yang hadir dan membudaya, menempatkan kaum perempuan dengan konstruksi feminin-nya sebagai ‘warga kelas dua’. Sedangkan, kaum laki-laki diposisikan pada hierarki teratas dengan maskulinitasnya. Sebagaimana pemahaman oleh seorang tokoh feminis, Charlotte Perkins Gilman, patriarki memiliki keterkaitan dengan androsentrisme. Androsentrisme adalah pemahaman yang menempatkan laki-laki sebagai pusat dunia. Walaupun demikian, ternyata tidak selalu perempuan yang kerap mendapat ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender, melainkan laki-laki juga dapat menjadi korban dari budaya patriarki.
ADVERTISEMENT
1. Toxic Masculinity
Sumber gambar: Unsplash.com
Orientasi kehidupan antara laki-laki dan perempuan begitu dikotak-kotakan ke dalam konstruksi maskulin dan feminin. Di mana dalam perkembangannya, stereotip laki-laki atas wacana dan kontruksi maskulinitasnya menyebabkan munculnya sebuah fenomena yakni toxic masculinity, yang lebih jauh lagi dapat menimbulkan ketimpangan gender.
Toxic masculinity adalah tekanan sosial budaya pada kaum laki-laki agar dapat berperilaku dan bertindak sesuai dengan konstruksinya. Sebagai contoh, laki-laki harus menjadi sosok yang menunjukkan kekuatan dan kekuasaan. Hal ini menjadi toxic sebab laki-laki dituntut untuk terus memiliki dan menunjukkan sisi maskulinnya untuk menghindari stigma bahwa laki-laki tidak boleh lemah.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh American Foundation for Suicidal Prevention pada 2019, tingkat bunuh diri laki-laki 3.63 kali lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan oleh ketidakstabilan mental yang membuat mereka harus menahan diri dalam melampiaskan atau mengekspresikan emosinya. Padahal, laki-laki juga manusia yang memiliki hati, sehingga tidak ada salahnya untuk mereka mengekspresikan perasaan.
ADVERTISEMENT
2. Pembagian Peran
Sumber gambar: Freepik.com
Saat ini konstruksi maskulin dan feminin telah mengalami sedikit perubahan karena usaha dalam mewujudkan kesetaraan gender, di mana batasan antar peran gender sudah semakin kabur dan tidak rigid. Sistem patriarki yang memunculkan perbedaan peran antar gender seperti halnya wanita yang sebelumnya hanya boleh bekerja pada ranah domestik, kini diberikan kesempatan untuk dapat bekerja pada ranah publik.
Walaupun demikian, masih muncul adanya stereotip yang membagi antara 'pekerjaan laki-laki' dan 'pekerjaan perempuan'. Sebagai contoh, dalam konteks pekerjaan pada ranah publik, laki-laki dianggap lazim ketika bekerja di bidang teknik, mesin, pertambangan, atau pekerjaan lainnya yang menunjukkan sisi maskulinitasnya. Sementara perempuan lebih diharapkan bekerja sebagai pengurus administrasi dan sekretaris. Jika hal ini terjadi sebaliknya, kemungkinan besar akan mendapat pertanyaan dari masyarakat. Kemudian, dalam ranah domestik, laki-laki biasanya dibebankan pada pekerjaan yang membutuhkan tenaga dan/atau dianggap berbahaya, seperti membenarkan atap yang bocor, mengecek sirkuit listrik, dan sebagainya. Sementara, perempuan dibebankan pada pekerjaan yang sifatnya lebih feminin seperti mengasuh, memasak, mencuci, dan pekerjaan rumah lainnya.
ADVERTISEMENT
Yang menjadi sebuah permasalahan adalah pembagian peran pada laki-laki yang terkadang harus menempatkan mereka pada pekerjaan di ranah publik akibat adanya dorongan oleh tekanan dan tuntutan sebagai pencari dan penyedia nafkah utama bagi keluarganya.
3. Kekerasan Seksual
Sumber gambar: Unplash.com
Laki-laki juga kerap kali mengalami tindak kekerasan seksual. Meskipun berbagai penelitian menunjukkan bahwa kekerasan seksual didominasi oleh perempuan, bukan berarti laki-laki yang rentan dalam patriarki tidak pernah menjadi korban. Berdasarkan data dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) pada 2020, 33,3% laki-laki mengalami kekerasan seksual. Kekerasan seksual yang terjadi, terlepas dari apapun gender seseorang, merupakan manifestasi dari relasi kuasa. Jika seseorang merasa memiliki kuasa yang lebih, maka hal itu dapat menjadi basis atau dasar terjadinya kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
Jika masih ingat dalam benak, terdapat sebuah kejadian pada tahun 2021 yaitu kasus pelecehan seksual yang menimpa seorang pegawai laki-laki dengan inisial MS di KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Korban mengaku bahwa perundungan atas dirinya dimulai sejak tahun 2012, namun ia baru melakukan pelaporan pada 2017. Bahkan, pelaporan yang MS lakukan pun berujung pada tidak adanya kejelasan.
Hal ini menunjukkan bahwa stereotip atas maskulinitas kaum laki-laki, dimana tidak adanya keterbukaan berpikir dalam melihat kasus kekerasan seksual oleh masyarakat, menyebabkan laki-laki tidak berani untuk menyuarakan hal-hal yang menimpanya. Terlebih tentang bagaimana kasus kekerasan seksual yang menimpa kaum laki-laki sering diabaikan oleh masyarakat, tak terkecuali lembaga-lembaga yang berkepentingan.
Meskipun kini Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sudah berhasil disahkan, UU tersebut kurang memperhatikan keberadaan laki-laki sebagai korban. Bahkan, sebelum disahkannya UU TPKS, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengenal istilah ‘kekerasan seksual’, melainkan hanya ‘perbuatan cabul’. Dalam KUHP dijelaskan korban pemerkosaan haruslah seorang perempuan yang mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan seperti yang tertuang pada Pasal 285 KUHP.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan, hal ini menjadi menarik sebab laki-laki yang selalu dianggap sebagai sosok penyebab yang melatarbelakangi sistem patriarki, justru dapat bertindak sebagai korban. Kesetaraan dan keadilan gender untuk meniadakan diskriminasi menjadi suatu yang penting sebab manusia, terlepas dari seks maupun gender mereka, memiliki hak yang sama untuk dapat dihargai, diakui, dan diperlakukan secara adil dan setara. Masyarakat pun diharapkan dapat tersadar agar bisa terlepas dari sistem patriarki yang juga merugikan laki-laki, dan bukan hanya kaum perempuan.