Konten dari Pengguna

Minimnya Penanganan Perubahan Iklim dalam Perencanaan Tata Kota Indonesia

Gina Magfirah
Perencana kota area Kalimantan Selatan. Alumni Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Brawijaya
20 Maret 2024 12:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gina Magfirah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pembangunan kota. Foto: REUTERS/Maxim Shemetov
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pembangunan kota. Foto: REUTERS/Maxim Shemetov
ADVERTISEMENT
Salah satu peran yang dapat diandalkan dalam melakukan strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim adalah perencanaan tata kota. Namun perencana lokal masih memiliki jarak pengetahuan tentang kota berketahanan.
ADVERTISEMENT
Setengah populasi dunia termasuk Indonesia, tinggal di wilayah yang rentan terhadap bencana akibat perubahan iklim (IPCC, 2022). Bukan tidak mungkin cuaca ekstrem yang terjadi beberapa waktu belakangan akan terus terjadi.
Kita dapat mengambil contoh di beberapa daerah yang mengalami banjir seperti: Kota Semarang dan Kabupaten Pekalongan di Jawa Tengah; Kabupaten Melawi di Kalimantan Barat; Kota Palangkaraya di Kalimantan Tengah; Kabupaten Pesisir Selatan di Sumatera Barat; Kabupaten Garut di Jawa Barat dan beberapa wilayah lain di Indonesia.
Curah hujan yang tinggi selama kurun waktu Februari – Maret 2024 telah menyebabkan air laut dan/atau sungai pasang sehingga tak lagi mampu menampung air yang terus menerus naik.
Banjir yang terjadi hampir bersamaan ini telah menelan korban jiwa, kerusakan infrastruktur dan rumah rusak. Belum lagi aktivitas sosial ekonomi masyarakat yang lumpuh total akibat terjebak banjir.
ADVERTISEMENT
Biaya yang dikeluarkan untuk penanganan bencana menjadi jauh lebih besar--alias pemerintah mengalami kerugian-- apabila secara perencanaan belum mengakomodir kebutuhan untuk menangani cuaca ekstrem.
Menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas tahun 2019, potensi kerugian ekonomi di empat sektor prioritas (kelautan dan pesisir, air, pertanian, dan kesehatan) diperkirakan sebesar 115,4 Triliun Rupiah pada tahun 2024 dengan peningkatan 12,76% dalam periode lima tahun (2020 – 2024).
Cuaca ekstrem yang terus terjadi merupakan akibat dari fenomena perubahan iklim. Namun ternyata hanya 33% orang Indonesia yang percaya bahwa pemanasan global sedang merugikan mereka (persentase yang sama menunjukkan orang Indonesia belum mengetahui apakah pemanasan global sedang merugikan mereka atau akan terjadi di masa depan) berdasarkan penelitian The Yale Program on Climate Change Communication (2021).
ADVERTISEMENT
Hasil penelitian ini cukup mengejutkan mengingat Indonesia masuk ke dalam salah satu dari 10 negara yang menghasilkan emisi gas rumah kaca terbesar di dunia.
Persentase Pendapat Masyarakat Indonesia dari Laporan 'Climate Change in the Indonesian Mind'
Kejadian global ini nyatanya menyebabkan dampak secara lokal terutama wilayah yang minim infrastruktur memadai maupun yang rentan terhadap bencana seperti pinggir sungai. Penanganan perubahan iklim perlu meliputi seluruh pihak yang bekerja sama secara konsisten untuk melakukan strategi mitigasi dan adaptasi.
Salah satu peran yang dapat diandalkan adalah perencanaan tata kota. Perencana-perencana di Indonesia dapat melakukan perencanaan perkotaan yang lebih beresonansi terhadap semangat adaptasi perubahan iklim.
Sayangnya, kompetensi ini masih belum dimiliki oleh banyak perencana di Indonesia. Kompetensi profesional yang dimaksud meliputi eksplorasi tantangan perkotaan dan memformulasikannya sesuai kebutuhan daerah untuk mendorong transisi adil dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Perencanaan yang dilakukan juga harus menonjolkan partisipasi masyarakat. Masyarakat diharapkan mampu merespons tantangan yang sedang dihadapi sehingga bukan hanya mengacu pada peraturan perencanaan daerah saja.
Ini tidak mudah, kompetensi yang dimaksud masih banyak yang belum masuk ke dalam kurikulum perkuliahan, dalam hal ini jurusan tata kota kampus-kampus di Indonesia. Contohnya, penilaian kerentanan kota, penilaian ini menjadi salah satu pondasi dalam penyusunan rencana kota berketahanan karena dapat memberikan gambaran mengenai dampak iklim yang sedang terjadi dan kemampuan adaptasi masyarakat lokal.
Selain itu, melalui perhitungan emisi dari transportasi dan lingkungan terbangun sebagai langkah untuk menuju walkable city. Tantangan kota-kota di Indonesia biasanya terkait perluasan area perkotaan (urban sprawling) dan transportasi umum yang belum terintegrasi.
ADVERTISEMENT
Dari dua hal tersebut saja akan ada implikasi-implikasi lain yang muncul seperti harga lahan tinggi, kesehatan mental masyarakat, kesenjangan ekonomi, kemacetan, kriminalitas dan masalah lainnya. Sehingga dari perhitungan emisi yang dikeluarkan dari aspek transportasi dan lingkungan terbangun dapat menjadi langkah awal dalam compact development.
Perencana lokal masih memiliki jarak pengetahuan dalam membuat kerangka kota berketahanan karena belum banyak teori dan praktik secara akademis. Sebenarnya ketidakmampuan perencana ini dapat tercermin dari perangkat peraturan seperti RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) yang disusun secara lokal.
Seringkali bunyi dokumen analisis tata ruang hanya bersifat normatif tanpa adanya perlakuan khusus dalam adaptasi perubahan iklim. Misalnya saja dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2023 – 2042 yang tahun lalu baru saja disahkan menjadi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2023.
ADVERTISEMENT
Narasi rencana arahan pengendalian pemanfaatan ruang yang mengakomodir perubahan iklim hanya terkait kawasan resapan air. Di mana menurut ketentuan khususnya pemeliharaan ekosistem gambut dengan cara mencadangkan dan melestarikan. Padahal kawasan-kawasan lain memiliki peran yang sama krusialnya dengan kawasan resapan air. Narasi ini pun belum menuangkan aksi signifikan di dalam indikasi program.
Ini hanya satu contoh dari puluhan RTRW dan ratusan RDTR yang sudah dilegalkan, meskipun penulis memiliki keterbatasan dalam meneliti keseluruhan rencana penataan ruang di Indonesia.
Bencana alam yang akan terus terjadi, nampaknya masih tetap jadi tantangan yang belum ada hilal ‘tertangani’ bagi Indonesia. Kerugian mulai dari ekonomi, sosial dan lingkungan akan tetap menjadi keniscayaan apabila belum ada langkah radikal yang diambil perencana tata kota lokal.
ADVERTISEMENT