Konten dari Pengguna

The Gifted dan Sistem Pengelompokan

Gisela Rara
Mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Pembangunan Jaya
13 Desember 2022 18:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gisela Rara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Pixabay (Igor Ovsyannykov)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Pixabay (Igor Ovsyannykov)
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Pixabay (Wokandapix)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pixabay (Wokandapix)
Serial berjumlah 13 episode ini menceritakan tentang SMA Ritdha Wittayakom yang menyeleksi anak-anaknya untuk masuk ke dalam kelas sesuai kemampuan akademik mereka. Tingkatan kelasnya terdiri dari kelas 1 sampai kelas 8. Perbedaan perlakuan pada siswa kelas 1 yang dianggap unggul dengan kelas lainnya terlihat sangat jelas. Mereka yang berada di kelas unggulan mendapatkan fasilitas sekolah yang baik, mulai dari internet, makanan, kebebasan memilih teman sekamar, sampai pengajaran yang layak. Salah satu program bernama Gifted yang diadakan sekolah tersebut membuat para siswanya belajar keras untuk dapat masuk ke dalam kelas khusus yang hanya terdiri dari beberapa siswa dengan kemampuan spesial. Mereka mengira untuk masuk ke kelas itu harus mendapatkan nilai yang tinggi dalam ujian. Namun, ternyata tes yang sebenarnya adalah berupa tes gelombang suara yang hanya bisa didengarkan oleh siswa yang memiliki kemampuan khusus. Mengejutkannya, Pang, salah satu siswa dari kelas 8, berhasil masuk ke dalam kelas Gifted. Ia awalnya mendapatkan pandangan skeptis dari siswa lainnya yang mayoritas berasal dari kelas 1. Selama berada di kelas, para siswanya dituntun untuk mengenali dan melatih kemampuan “supranatural” mereka. Seiring berjalannya waktu, Pang menyadari bahwa kelas tersebut menghadirkan kesenjangan. Juga, mereka merasa dijadikan percobaan untuk sebuah proyek pemerintah. Mulai dari situ, para siswa di kelas Gifted mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
ADVERTISEMENT
Pernahkah teman-teman menyadari bahwa sebenarnya pengelompokkan kelas itu dapat berdampak buruk bagi para siswanya maupun reputasi sekolahnya?
Kesenjangan Akibat Pengelompokkan Kelas.
Menilik dari serial tersebut, kita bisa melihat bahwa banyak sekali kesenjangan yang terlihat antara para murid yang pintar dengan para murid yang “bodoh”. Mereka yang berada di kelas unggulan mendapatkan hak istimewa, salah satunya adalah fasilitas sekolah yang lebih baik. Selain itu, tenaga pengajar yang ditempatkan di kelas unggulan pun lebih memperhatikan kualitas siswa dan nilai akademik mereka. Di awal episode, Pang menceritakan bagaimana siswa kelas 8 tidak mendapatkan makanan yang layak, koneksi internet yang buruk, toilet yang kotor, bahkan kamar asrama terpaksa harus berbagi satu sama lain.
Tak ayal, dahulu salah satu teman saya pun merasakan perbedaan dalam pengajaran ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Murid yang nilai akademiknya tinggi lebih diperhatikan oleh guru dibandingkan dengan murid yang nilai akademiknya lebih rendah. Hal ini menyebabkan beberapa siswa yang nilainya di bawah rata-rata merasa "terbuang". Dalam jurnal berjudul "Penerapan Pengelompokkan Siswa Berdasarkan Prestasi di Jenjang Sekolah Dasar" yang ditulis oleh Doddy Hendro Wibowo dalam Jurnal Psikologi Undip (Vol. 14, No. 2, tahun 2015), beliau melakukan penelitian terhadap sekolah dasar di Semarang. Hasil penelitian tersebut menyajikan bahwa salah satu SD Negeri di Semarang masih menerapkan pembagian kelas menurut kepintaran para siswanya. Semakin dikelompokkan berdasarkan kemampuan, maka batas antara anak berkemampuan tinggi dengan anak berkemampuan rendah menjadi lebih luas.
ADVERTISEMENT
Berkompetisi Untuk Mencapai yang Terbaik.
Diberlakukannya pembagian kelas sesuai akademik siswa juga tak luput berpengaruh pada tingkat kompetisi masing-masing individu. Dalam serial The Gifted, kompetisi antar individunya dapat kita lihat pada salah satu adegan ketika Nac, teman Pang, yang berusaha membantu Pang untuk masuk ke program Gifted dengan berbagai cara karena sudah bertaruh dengan Wave, salah satu murid terpintar dari kelas 1. Mereka menyelinap ke ruang penyimpanan untuk mencari soal ujian yang kemudian akan dijadikan sontekan agar Pang mendapatkan nilai yang bagus sehingga bisa masuk ke dalam kelas khusus tersebut.
Kita tahu pada dasarnya semua individu memiliki sifat untuk saling bersaing demi mendapatkan yang terbaik. Tekanan dari pihak keluarga maupun guru sendiri membuat mereka mau tak mau bekerja keras untuk menjaga nilai akademiknya. Tak jarang mereka juga berambisi demi meningkatkan nilai. Namun, semakin banyak tekanan yang dirasakan oleh individu, prestasi serta kemampuan akademiknya juga ikut mengalami penurunan (Rafidah dan Ziaur-Rehman dalam Gaol, 2016). Adanya ambisi dalam mencapai keberhasilan akademik pun sangat berdampak buruk pada pembentukan karakter pelajar. Usaha untuk menaikkan nilai akademik jika yang dikorbankan adalah melemahnya karakter pelajar jadi terasa sia-sia, bukan?
ADVERTISEMENT
Perlakuan yang Berbeda.
Ketika sebuah sekolah menerapkan sistem pengelompokkan disetiap kelas, para siswanya akan memberikan perlakuan yang berbeda terhadap teman-temannya. Siswa kelas unggulan yang merasa superior dibandingkan kelas lainnya akan membatasi pergaulannya dengan siswa yang bukan dari kelas unggulan. Dalam teori Alfred Adler (1912) tentang psikologi individual, seseorang selalu memiliki rasa rendah diri. Kemudian, dari rasa rendah diri itulah menjadi pemicu bagi setiap individu untuk mengubahnya menjadi sebuah kepercayaan diri dengan menunjukkan keunggulannya. Namun, ketika individu selalu berada pada fase superiornya, maka ia akan menjadi lupa diri sehingga menekan orang-orang yang kemampuannya berada di bawahnya.
Salah satu tokoh bernama Wave menghadirkan karakter antagonis yang selalu memandang remeh orang-orang di bawahnya. Sikapnya tersebut terbentuk akibat rasa sakit hati karena pengkhianatan yang dilakukan oleh perempuan yang ia sukai. Karyanya diakui oleh perempuan itu sehingga ia menjadi individu yang tidak mudah percaya dengan orang lain. Wave mulai belajar dan meningkatkan kemampuannya agar ia tidak lagi dipandang rendah oleh orang lain. Sehingga, Wave menjadi individu yang egois, selalu merasa “lebih tinggi” daripada yang lain, dan keras terhadap dirinya sendiri. Ia membangun mindset bahwa apapun bisa ia kerjakan sendiri tanpa bantuan orang lain.
ADVERTISEMENT
Penerapan sistem pengelompokkan kelas menjadi sarana evaluasi bagi institusi pendidikan untuk meninjau kembali risiko yang akan dihadapi. Kita pastinya tidak mau membentuk Wave lainnya hanya untuk mengejar kepentingan kualitas akademik. Penggunaan sistem seperti itu akan mengorbankan banyak anak-anak yang sebenarnya membutuhkan perlakuan yang sama dari para pengajar. Memang, secara akademis akan mengalami peningkatan. Namun, apakah kita tidak memikirkan karakter mereka yang dapat mengikis perlahan?
Daftar pustaka
Lumban Gaol, N. T. (2016). Teori Stres: Stimulus, Respons, dan Transaksional. Buletin Psikologi, 24(1), 1. https://doi.org/10.22146/bpsi.11224
Nurul Hidayati. (2016). ANALISIS INFERIOR DAN SUPERIOR TOKOH UTAMA NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI (TINJAUAN PSIKOLOGI INDIVIDUAL ALFRED ADLER). Jurnal Skripsi.
Wibowo, D. H. (2015). Penerapan Pengelompokan Siswa Berdasarkan Prestasi di Jenjang Sekolah Dasar. Jurnal Psikologi Undip, 14(2). https://doi.org/10.14710/jpu.14.2.148-159
ADVERTISEMENT