Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Peristiwa 9/11 sebagai Kegagalan Intelijen Amerika Serikat
31 Januari 2022 11:26 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Grace Inka Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sanak sekalian, sebagian besar dari kita pasti pernah mendengar peristiwa 9/11. Peristiwa 9/11 merupakan serangan kelompok radikal Al-Qaeda terhadap Amerika Serikat melalui pembajakan maskapai penerbangan. Kronologi singkat dimulai pada pukul 08:46 pagi di mana pesawat American Airlines dengan nomor penerbangan 11 dari Boston diterbangkan menuju bagian utara dari gedung World Trade Center. Kemudian disusul pesawat kedua, yaitu pesawat United Airlines dengan nomor penerbangan 175 yang juga berasal Boston, menabrak sisi selatan Gedung dengan jangka waktu 17 menit setelah serangan pertama.
ADVERTISEMENT
Pesawat ketiga yaitu pesawat American Airlines dengan nomor penerbangan 77, lepas landas dari Bandar Udara Dulles, Washington D.C menabrak sisi barat daya dari Pentagon pukul 09:37 pagi yang mengakibatkan kebakaran. Beberapa menit kemudian, otoritas penerbangan federal menghentikan penerbangan nasional. Satu jam setelah penghentian penerbangan, pesawat keempat yaitu pesawat United Airlines dengan nomor penerbangan 93 dari Newark, New Jersey jatuh di negara bagian Pennsylvania.
Hancurnya World Trade Center sebagai pusat perdagangan memberikan efek domino yaitu kekhawatiran saham pada pasar dunia yang terpaksa harus ditutup selama 4 hari. Serangan yang direncanakan secara runtut oleh teroris ini menelan banyak korban dan disiarkan oleh media di seluruh dunia. Kelompok Al-Qaeda melalui peristiwa ini mampu menunjukkan eksistensi mereka yang mampu memberikan ancaman.
ADVERTISEMENT
Peristiwa tersebut juga mendorong sejumlah sekutu bersama dengan Amerika Serikat bersatu untuk melawan kelompok Al-Qaeda. Amerika Serikat menyatakan telah memiliki beberapa bukti yang menunjukkan bahwa Al-Qaeda harus bertanggung jawab atas serangan tersebut dengan seruan anti-american. Desember 2001, Presiden Bush melakukan sayembara bagi siapa pun yang mampu menangkap Osama Bin Laden, baik hidup ataupun mati, akan mendapat uang sebesar $25 juta. Pada tanggal 2 Mei 2011, Osama Bin Laden tewas di tangan pasukan khusus Amerika Serikat di Pakistan pada masa pemerintahan Barack Obama.
Kegagalan Intelijen Amerika Serikat jelas terlihat ketika Amerika Serikat tidak mampu mendeteksi atau mengawasi pergerakan kelompok Al-Qaeda yang pada akhirnya membajak 4 pesawat domestik dan menyebabkan ribuan korban jiwa. Pasca serangan tersebut dilakukan penyelidikan di mana anggotanya dipilih langsung oleh Presiden Bush. Jika dibandingkan, kemampuan intelijen Amerika Serikat sangat jauh di atas kemampuan intelijen kelompok Al-Qaeda dengan kemajuan teknologinya.
ADVERTISEMENT
Hasil laporan menyatakan bahwa Central Intelligence Agency (CIA) telah gagal karena tidak mengawasi serta menambahkan Nawaf Al-Hazmi dan Khalid al-Mihdhar, yang merupakan militan Al-Qaeda, dalam daftar pengawasan tersangka teror. Kedua militan tersebut hadir dalam pertemuan puncak teroris di Malaysia pada 5 Januari 2000 yang telah diinvestigasi oleh CIA . Beberapa minggu kemudian, keduanya tersebut terbang ke Los Angeles pada 15 Januari 2000.
Sebagian besar anggota CIA diyakini telah mengetahui tersangka lainnya telah terbang ke Los Angeles dan tidak mengambil tindakan apa pun sehingga dinilai gagal oleh komisi. Selain itu, tersangka teroris sulit ditemukan karena CIA tidak memberikan identitas tersangka kepada Federal Bureau of Investigation (FBI). Jenderal CIA meyakini jika identitas tersangka diketahui sejak awal, maka memiliki potensi untuk mendapatkan informasi pendanaan, penerbangan pelatihan ,dan hubungan dengan pihak lain yang terlibat dalam serangan 9/11.
ADVERTISEMENT
Untuk mencegah terjadinya peristiwa serupa dengan 9/11, Amerika Serikat gencar melakukan kampanye ‘War on Terror’ sebagai rumusan kebijakan Amerika Serikat dalam memerangi terorisme yang juga menjadi strategi intelijen Amerika Serikat dalam mencegah munculnya kelompok teroris ekstremis yang mampu mengganggu stabilitas politik global.