Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pekerjaan Rumah Menteri Sosial
30 Desember 2020 12:49 WIB
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ditangkapnya Juliari P. Batubara karena kasus korupsi bantuan sosial (bansos) menunjukkan gejala puncak gunung es dari persoalan kekacauan data penerima bansos yang dimiliki pemerintah. Salah satu kekacauan yang tampak adalah tumpang tindih data orang miskin antar-kementerian. Kementerian kelautan dan perikanan memiliki data nelayan miskin, atau kementerian pertanian juga memiliki data petani miskin.
ADVERTISEMENT
Kekacauan itu juga ditampakkan di dalam distribusi bansos COVID-19 yang justru tidak menggunakan data program keluarga harapan (PKH) milik pusat data Kemensos sendiri. Data tersebut merupakan hasil kolaborasi dengan pemerintah provinsi DKI Jakarta, dan ternyata kekacauan terjadi di lapangan akibat amburadulnya data. Tentu jika dilihat pada daerah-daerah lain di Indonesia, banyak data yang saling bertabrakan.
Situasi ini membuat distribusi bansos tidak efektif. Padahal, bansos adalah ‘pertolongan pertama’ untuk mendongkrak daya beli masyarakat yang terpukul karena bencana aksidental seperti pandemi COVID-19. Titik persoalannya adalah tidak adanya data terpadu yang menjadi acuan bagi seluruh kementerian/Lembaga dalam melaksanakan kebijakannya. Selain itu, data orang miskin yang semestinya selalui diperbarui, justru terkesan lamban.
Data PKH yang dimiliki pusdatin Kemensos sendiri terakhir diperbarui pada 2015 silam. Padahal, status sosial masyarakat sangat dinamis. Kebutuhan yang dialami oleh orang-orang sangat cepat berubah, apalagi jika mereka dihadapkan pada bencana.
ADVERTISEMENT
Memperbaiki data sebagai persoalan sistemik jelas menjadi salah satu pekerjaan rumah yang dihadapi menteri sosial. Selama data kacau, intervensi sosial seperti bansos tidak akan pernah efektif. Tidak hanya itu, data yang amburadul jelas melemahkan fungsi akuntabilitas dan transparansi, sehingga celah korupsi sangat terbuka lebar.
Memang benar bahwa proyek bansos COVID-19 yang melibatkan JPB bukan semata-mata karena kacaunya data penerima bantuan. Sejak awal proyek bansos dilaksanakan, anomali sudah terjadi karena penunjukkan pihak luar kementerian justru tidak dilaksanakan melalui proses tender. Diketahui ternyata proses penunjukkan itu sarat dengan transaksi koruptif, di mana ada semacam fee yang diberikan kepada pejabat kemensos karena meloloskan proyek tanpa tender. Selain kacaunya data, mengentaskan aksi bancakan di kementerian sosial juga menjadi PR yang sangat besar bagi mensos.
ADVERTISEMENT
Meminjam istilah Gus Dur, kalau ‘tikus’ sudah menguasai lumbung, untuk apa lumbung tersebut dipertahankan?
Tugas Luhur Sang Menteri
Gahar dan tegas, adalah karakteristik kepemimpinan yang melekat dalam sosok Tri Rismaharini a.k.a. Risma sebagai menteri sosial yang baru. Sejak dilantik presiden, Risma menjadi pusat perhatian media: ia ‘blusukan’ ke daerah kumuh bantaran sungai Ciliwung di Jakarta sembari menjanjikan hunian yang layak bagi mereka. Tipikal kepemimpinan populis bukan hal yang baru bagi Risma. Di Surabaya, Risma sangat terkenal dengan citra pemimpin yang ‘merakyat’, tegas, dan tanpa pandang bulu terhadap siapapun yang tidak amanat.
Gawatnya, citra populis bukanlah solusi atas permasalahan kementerian yang sedang ia pimpin. Kekhawatiran justru datang ketika publik terlena dengan citra populis Risma tanpa memahami pokok persoalan yang sedang dihadapi kemensos. Kekacauan data dan celah bancakan hanya menjadi sedikit persoalan yang dihadapi Risma ke depan. Namun jika Risma dapat mengentaskan dua persoalan pokok tersebut, kita patut mengacungkan jempol.
ADVERTISEMENT
Kementerian sosial memiliki fungsi luhur untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat. Tugas menteri sosial tentu bukan hanya memberikan bantuan semata kepada masyarakat. Lebih dari itu, seorang menteri sosial menjadi garda terdepan dalam pengentasan persoalan sosial masyarakat sehari-hari: kemiskinan, gizi buruk, eksklusi sosial, dan lain-lain.
Untuk itu, menteri sosial harus berpijak pada paradigma kesejahteraan yang benar: tidak menjadikan orang-orang miskin sebagai obyek penerima program, melainkan mereka menjadi subyek. Orang-orang miskin selayaknya manusia, mereka berhak untuk menentukan nasib dan tidak didikte oleh pembangunan. Pemerintah melalui kemensos semestinya berangkat dari kacamata pembangunan manusia seperti itu, dalam arti program-program yang diberikan memberikan akses dan ruang yang besar bagi manusia untuk berdaya.
Kemiskinan struktural adalah problem yang semestinya mendapat perhatian besar kemensos. Cara mengentaskannya tidak cukup sekadar peningkatan taraf hidup melalui bantuan atau program-program ‘sekali pukul’. Pendekatannya harus berkelanjutan, di mana kemensos secara serius memberikan pendampingan masyarakat, dan memberikan akses yang luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Biarkan masyarakat menentukan nasib mereka sendiri, sesuai dengan kekhasan lokal yang dimiliki. Generalisasi atas makna kesejahteraan tanpa memerhatikan konteks lokal sangat berbahaya. Kita seharusnya berharap Risma memahami hal ini.
ADVERTISEMENT
Tugas yang diemban Risma jelas sangat berat. Setidaknya ada dua sisi yang menjadi PR besar Risma. Pertama, reformasi kelembagaan yang ia pimpin agar efektif dan menutup celah korupsi, Kedua, reorientasi pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan sosial dengan menjadikan masyarakat sebagai subyek bagi pembangunan.