Konten dari Pengguna

Siapa Kelas Menengah Indonesia?

Grady Nagara
Founder of Next Policy
19 September 2022 10:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seseorang sedang membaca di sebuah kedai kopi (Sumber: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seseorang sedang membaca di sebuah kedai kopi (Sumber: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Layaknya kaum kelas menengah perkotaan, saya menuliskan artikel ini ketika sedang duduk di sebuah kedai kopi fancy di pusat kota Bandung. Ditemani secangkir Latte panas yang agak terlalu manis dan sebetulnya tidak ramah di kantong. Di sekitar saya beberapa muda-mudi memajang laptopnya di atas meja. Persis seperti apa yang sedang saya lakukan. Perbedaannya sebagian dari mereka juga memesan cup cake dan croissant–kudapan khas Prancis di mana masih banyak orang keliru mengucapkannya–yang harganya menembus tiga kali makan di warung nasi padang pinggiran jalan.
ADVERTISEMENT
Kelas menengah selalu digambarkan seperti profesional muda yang berpenampilan rapih dan wangi. Rambut klimis, kemeja dan celana slim fit, pengguna setia MacBook, serta tidak lupa memakai iPhone yang notifikasinya berdering setiap saat. Tampilan fisik memang terkadang menipu karena kita tidak tahu jangan-jangan cicilan MacBook dan iPhone mereka belum lunas. Atau boleh jadi sebenarnya mereka bergaji mepet UMR Jakarta yang nasibnya tidak sementereng penampilannya.
Saya terpacu menuliskan topik ini karena ramainya unggahan TikTok seorang kaum urban Jakarta beberapa hari lalu yang melakukan flexing aktivitas weekend-nya sembari mendaku diri sebagai “representasi” kelas menengah (middle class). Banyak warganet yang tidak terima. Pasalnya, middle class macam apa yang menggunakan food processor Thermomix (harganya bisa mencapai Rp20 juta) dan makan malam dengan menu oyster di restoran mewah?
ADVERTISEMENT
Sebetulnya tidak ada definisi baku dari kelas menengah. Tetapi salah satu yang sering dijadikan rujukan adalah klasifikasi konsumsi (pengeluaran) yang dikeluarkan Bank Dunia. Seseorang dapat dikatakan berada di kelas menengah jika memiliki pengeluaran antara Rp1,2 juta hingga Rp6 juta per bulan. Ingat, jumlah tersebut adalah pengeluaran per-kapita, yang jika ditarik ke level rumah tangga, angkanya dapat berkali lipat.
Pada 2016, kelas menengah dengan kategori tersebut berada di angka 53,6 juta orang atau sekitar 20 persen dari populasi penduduk. Jumlah pengeluaran mereka mewakili hampir separuh dari seluruh konsumsi rumah tangga di Indonesia.
Kemunculan kelas menengah ini sejatinya adalah kabar baik karena artinya, perekonomian suatu negara sedang bertumbuh. Ini juga berdampak pada mobilitas vertikal kaum miskin dan rentan ke dalam kelompok yang disebut Bank Dunia sebagai aspiring middle class (calon kelompok kelas menengah). Dalam laporannya di Januari 2020 (dua bulan sebelum Indonesia diterpa badai Covid), kelompok aspiring middle class ini mencapai sekitar 115 juta orang (44%) dengan kategori pengeluaran Rp532.000 hingga Rp1,2 juta per-kapita.
ADVERTISEMENT
Dengan merujuk definisi Bank Dunia, tidak heran jika kaum yang suka nongkrong di kedai kopi fancy sebagai kelompok kelas menengah (dengan memprediksi pengeluaran per-bulannya). Kita juga dapat “menggugat” si pengunggah video TikTok yang katanya tiap weekend mampir di resto mewah. Dari gaya hidupnya saja, kita bisa menaksir pengeluarannya sudah pasti lebih dari Rp6 juta per orang per bulan (upper class). Kecuali jika ia melakukannya hanya untuk konten, sementara di belakangnya begitu rapuh. Bahkan mungkin rumah saja masih belum punya seperti problem kebanyakan kelas menengah di kota-kota Indonesia.
Tentu saja pola klasifikasi Bank Dunia memiliki kelemahan. Misalnya, rentang pengeluaran antara Rp1,2 juta hingga Rp6 juta sering dilihat terlalu lebar, sehingga, sebagian kalangan memecahnya lagi menjadi sub-kelas menengah bawah (lower-middle class) dan sub-kelas menengah atas (upper-middle class). Pemecahan ini bukan tanpa alasan. Sebab, terdapat perbedaan yang mencolok di antara keduanya jika dilihat dari aspek-aspek non-moneter.
ADVERTISEMENT
Mungkin Anda pernah mendengar istilah sandwich generation– kelompok orang yang harus menghidupi dua generasi: anak-anak dan orang tua mereka yang sudah renta. Kelompok ini bisa saja terpotret di kelas menengah meski harus tertekan pada jumlah pengeluaran paling kecil dari kategori tersebut (karena lebih dari separuh penghasilan digunakan untuk membiayai hidup orang lain).
Tidak terpotretnya aspek non-moneter juga membuat potensi bias dalam pengelompokkan kelas menjadi tinggi. Diperlukan indikator lain yang dapat mengukurnya selain pengeluaran; di antaranya perumahan, gaya hidup, pekerjaan, hingga pendidikan. Intinya terletak pada perlunya perimbangan karakter sosial dalam mengidentifikasi kelas menengah di Indonesia. Lebih penting lagi, pengidentifikasian kelas pada akhirnya tidak terlepas dari rumah tangga / keluarga tempat mereka menjalani kehidupan.
ADVERTISEMENT
Misalnya, dalam studi Krisna (2017) lewat analisis data SUSENAS menemukan bahwa indikator perumahan justru menjadi aspek paling kontributif dalam menentukan posisi kelas seseorang. Apa saja aspek perumahan? Studi tersebut mengkonstruksikannya dari variabel “kepemilikan rumah”, “sumber air minum”, “luas lantai”, dan “fasilitas buang air besar”.
Jadi dapat dibayangkan, seorang pekerja gen-Z yang memiliki pengeluaran per orang per bulan Rp4 juta tapi tinggal di rumah kontrakan sempit jangan-jangan tidak terpotret di kalangan kelas menengah. Walaupun tentu saja semakin besar pengeluaran kecenderungan konsumsi seperti pada aspek perumahan dan jenis pekerjaannya pasti berjalan beriringan. Orang kaya mana yang rela tinggal di gang-gang sempit? Kalaupun ada jumlahnya pasti kecil.
Besarnya kontribusi indikator perumahan dalam studi Krisna (2017) juga mengindikasikan pentingnya kepemilikan aset sebagai basis penentu kelas. Hal ini penting karena pola konsumsi yang lebih terkerek ke gaya hidup dapat mengaburkan kenyataan bahwa kaum kelas menengah pada titik tertentu justru tidak memiliki aset berharga.
ADVERTISEMENT
Kita harus memahami bahwa menjadi kelas menengah bukan hanya soal seberapa besar uang yang dimiliki, tetapi menjadi penentu status sosial di tengah masyarakat. Orang-orang di kelas menengah hampir dapat dipastikan akan membangun pergaulan dengan kalangan yang setara dengan mereka. Dorongan konsumsi seringkali terjadi sebagai akibat dari tekanan sosial. Jika teman-temannya menjadi pengguna iPhone, kemungkinan besar ia akan terdorong untuk turut menggunakan iPhone. Dengan persaingan hidup yang kian menggila, gejala fear of missing out (FOMO) juga semakin merambah terutama di kalangan kelas menengah.
Itulah mengapa ada kritikus yang menganggap bahwa kelompok kelas menengah ini hipokrit. Mereka sebetulnya tidak memiliki aset dan pendapatan memadai, namun, gaya hidupnya selangit. Tidak ingin dianggap sebagai buruh yang kesannya berada di status sosial bawah. Hal ini juga yang membuat kelas menengah sulit untuk diajak berserikat, karena mereka merasa bagian dari penggerak utama sistem perekonomian yang sedang berjalan saat ini.
ADVERTISEMENT
Nah, jadi, apakah Anda masuk kalangan kelas menengah? Coba dipikir-pikir lagi.