Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Buku Terbaik 2019
31 Desember 2019 12:21 WIB
Tulisan dari Grathia Pitaloka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu resolusi saya memasuki 2019 adalah lebih banyak membaca. Sayangnya seperti revolusi mental, niat suci itu tidak terlaksana dengan mulus. Distraksi media sosial dan kemalasan yang mendarah daging menjadi musabab. Terinspirasi dari Obama yang merilis best book of 2019, berikut buku terbaik sepanjang tahun ini yang berhasil mematahkan kemalasan saya:
ADVERTISEMENT
1. Fear: Trump in White House- Bob Woodward
Bukui ini saya nobatkan sebagai buku terbaik yang dibaca sepanjang 2019. Buku ini berhasil menggugah rasa penasaran, apalagi tingkah ajaib yang dilakukan Trump di Gedung Putih? Alhasil dalam waktu singkat 424 halaman dilahap dengan nikmat.
Buku ini membongkar dapur Gedung Putih di era Trump. Bagaimana Ketua Dewan Ekonomi Nasional Gary Cohn bersama Menteri Kabinet Rob Porter (terkadang berkolaborasi dengan Menteri Pertahanan Jim Mattis) bahu membahu dalam upaya menghalangi apa yang mereka yakini perintah Trump yang paling impulsif dan berbahaya. Setiap kali ada sebuah drat surat di atas meja Trump untuk dikoreksi, Cohn kadang mengambilnya dan Trump melupakan surat itu begitu saja. Salah satunya draf tertanggal 5 September 2017 yang ditujukan kepada Presiden Korea Selatan dan berisi tentang berakhirnya hubungan dagang.
ADVERTISEMENT
Trump juga dengan entengnya mengumumkan hal-hal penting di akun Twitternya dan membuat Direktur Komunikasi Strategis Hope Hicks pusing tujuh keliling (anyway i feel you Mbak Hicks). Ketika Trump berkonfrontasi dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, Hicks memberi peringatan, Twitter dapat menjebloskan kita dalam peperangan. Dengan santai miliarder berusia 73 tahun itu menjawab, ini megafon saya.
Fear: Trump in The White House ditulis Bob Woodward, mantan jurnalis The Washington Post. Bob dua kali meraih Pulitzer, pertama bersama Carl Bernstein untuk liputan mengenai skandal Watergate, dan kedua tahun 2003 sebagai wartawan utama untuk liputan 9/11.
2. Bangsa Mati di Tangan Politikus- Subhan SD
Tulisan Mas Subhan merupakan salah satu bagian di harian Kompas yang tidak pernah saya lewatkan. Gaya menulisnya yang bertutur mampu menguraikan fenomena sosial politik yang terjadi secara ringan dan mudah dicerna oleh awam. Tak lupa Mas Subhan mengaitkan fenomena tersebut dengan teori politik maupun filsafat, sehingga menurut gw, buku ini perlu dibaca mereka yang sedang belajar politik.
ADVERTISEMENT
Salah satu yang saya paling suka bahasan mengenai kakistokrasi. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani; kakistos berarti buruk dan kratos bermakna pemerintahan. Andre Spicer, profesor perilaku organisasi di Cass Bussiness School di Universitas London menulis gambaran kakistrokrasi yang dikisahkan John Martineau, yakni kualitas layanan publik yang sangat buruk oleh Pemerintah Australia, sementara para politikus sibuk dengan diri mereka sendiri.
3. The Death of Expertise- Tom Nichols
Di 2019 saya keluar dari beberapa grup whatsapp. Alasannya, tidak sanggup membaca analisis “cocokologi” alias asbun dari para warga di grup tersebut. Pernah mencoba untuk berargumentasi, ujung-ujungnya malah menyulut emosi. Jadi demi kesehatan jiwa dan kemaslahatan umat, keluar dari grup merupakan jalan terbaik.
Sama seperti yang diungkap Tom Nichols dam bukunya. Saat ini muncul banyak “pakar” tanpa keilmuan di internet khususnya di media sosial. Profesor US Naval War College dan Harvard Extension School itu menunjukan bagaimana pendapat yang salah dapat diimani sebagai sebuah kebenaran.
ADVERTISEMENT
4. Democracy For Sale- Edward Aspinall& Ward Berenschot
Masih ingat perdebatan Emil Salim dan Arteria Dahlan di sebuah talkshow televisi? Buku yang disebut oleh Emil adalah Democracy For Sale. Buku ini mengurai tentang politik berbiaya tinggi yang berujung pada korupsi.
Dalam buku yang ditulis dua ilmuan asal Australia itu dibahas fenomena politisi Indonesia yang lebih bergantung pada struktur organisasi yang bersifat ad hoc atau personal yang dikenal dengan sebutan “tim sukses” untuk menggerakan kampanye mereka. Koneksi personal -entah berdasarkan hubungan kekerabatan, pertemanan, jaringan usaha, agama atau suku- mengalahkan loyalitas pada partai.
5. Politik Jatah Preman- Ian Wilson
Siapa yang tak sadar, “para spesialis kekerasan” non pemerintah konsisten hadir di sepanjang berdirinya Indonesia sila membaca buku ini. Dalam buku setebal 297 halaman ini, Ian membahas mereka yang hadir dalam aneka variasi dan perwujudan lokal: ormas vigilante, milisi, gengster, centeng, preman politik hingga tentara bayaran.
ADVERTISEMENT
Ia juga menuturkan pergesaran pola patronase sepanjang masa transisi dari Orde Baru ke reformasi yang ditelisik lewat analisa atas politik perebutan wilayah preman di Kawasan Tanah Abang. Digambarkan bahwa Jakarta di era reformasi “ketertiban umum” dan “masyarakat” muncul sebagai ranah diskursif dimana pemerintah tidak berhasil mengooptasi kewenangan lokal maupun modal koorsif preman sebagai agen kontrol sosial.
“Holly grail” untuk saya mencari bahan ajar. Salut untuk Pak Gungun yang produktif menulis di media massa dan mengumpulkannya dalam bentuk buku. Sangat bermanfaat bagi awam seperti saya.
7. Everybody Lies- Seth Stephens- Davidowitz
Tahukah Anda bahwa laki-laki memiliki kekhawatiran dan perasaan yang tak nyaman tentang ukuran penisnya? Hal itu diungkap dari jejak digital di mesin pencarian Google. Fakta lain yang lebih serius, Nate Silver menemukan bahwa Trump di pemilihan pendahuluan Partai Republik, mendapat dukungan terbesar di daerah tempat banyak orang melakukan pencarian di Google dengan kata kunci “nigger”.
ADVERTISEMENT
Dua hal tersebut merupakan cuplikan pembahasan Seth mengenai data digital yang merupakan “tambang minyak” di era modern. Bagaimana big data memberi bocoran mengenai hal-hal yang paling privasi sekalipun.
8. Populisme Politik Identitas dan Dinamika Elektoral- Burhanudin Muhtadi.
Burhanuddin mendedah dengan cerdas dinamika elektoral yang terjadi di Indonesia sejak 2014 hingga sekarang. Bagaimana gelombang populisme politik yang terjadi di banyak negara demokrasi turut “menerjang” Indonesia. Populisme politik identitas sebenarnya bukan hal baru di negeri ini, namun keberadaannya kian nyata sejak Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Fenomena Pilkada DKI Jakarta mengisyaratkan bahwa kinerja baik saja tidak cukup untuk mengantarkan kandidat kepada kemenangan.
Diungkap pula mengenai koalisi transaksional dan kutukan presidensial, rekonsiliasi politik Jokowi, ideologi partai, oportunisme elit, perilaku permilih serta geliat partai dan episentrum korupsi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Salah satu buku yang menjadi pelipur lara ketika sedang terpuruk. Intinya it’s okay to be not okay.
10. The Subtle Art of Not Giving a Fuck- Mark Manson
Di era penuh distrupsi seperti saat ini, bahkan bersikap cuek pun harus dipelajari dan Mark Manson menuliskannya dengan jenaka.