Konten dari Pengguna

Ekologi atau Ilusi? Kebenaran di Balik Gerakan Kendaraan Listrik di Indonesia

GUGANESHWARAN GUANASAGARAN
student at Universitas Airlangga
9 Desember 2024 11:43 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari GUGANESHWARAN GUANASAGARAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
AI generated picture( Chat GPT)
zoom-in-whitePerbesar
AI generated picture( Chat GPT)
ADVERTISEMENT
GUGANESHWARAN A/L GUNASAGARAN
ADVERTISEMENT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
Kendaraan listrik (EV) adalah kendaraan yang beroperasi dengan listrik, bukan bensin atau diesel. Ini berarti kendaraan tersebut menggunakan baterai sebagai sumber daya untuk mesin listrik, yang dikenal sebagai motor, yang membuat mobil bergerak. Komponen utama yang digunakan dalam membangun mobil listrik berbeda dari mobil konvensional, termasuk baterai yang menyimpan energi, motor listrik yang membantu memutar roda, dan sistem pengisian yang memungkinkan mobil dihubungkan ke titik pengisian listrik untuk mengisi daya kembali. Berbeda dengan mobil konvensional yang menggunakan mesin pembakaran internal, kendaraan listrik jauh lebih tenang, tidak menghasilkan emisi knalpot, dan bisa lebih efisien dalam mengubah energi menjadi gerakan. Selain itu, mobil listrik memiliki sistem pengereman regeneratif yang membantu mengisi ulang baterai saat memperlambat, meningkatkan efisiensinya lebih jauh. Kendaraan listrik dipromosikan sebagai cara untuk mengurangi jejak karbon dan membantu lingkungan. Pemerintah, termasuk pemerintah Indonesia, meyakinkan lebih banyak orang untuk menggunakan EV dengan menawarkan keuntungan seperti pengurangan pajak dan pembangunan stasiun pengisian daya sebanyak mungkin. Gagasan utamanya adalah bahwa EV akan membantu mengurangi polusi dan menciptakan dunia yang lebih bersih. Namun, apakah EV benar-benar se-hijau yang diklaim?
ADVERTISEMENT
Pembuatan baterai kendaraan listrik, terutama yang terbuat dari lithium, kobalt, dan nikel, adalah proses yang menguras banyak sumber daya alam dan berdampak negatif pada lingkungan. Misalnya, penambangan bahan-bahan ini menyebabkan kerusakan lahan yang parah dan polusi. Sebagai contoh, penambangan kobalt di Kongo terkenal dengan kerusakan lingkungannya. Proses penambangan menyebabkan kontaminasi pasokan air lokal dan gangguan ekosistem. Ekstraksi lithium, yang sering berasal dari batuan keras atau air asin, menggunakan banyak air, menyebabkan krisis air di daerah kering【Source 1】【Source 2】. Selain itu, pembuatan baterainya sendiri sangat intensif karbon. Pembuatan satu baterai dapat menghasilkan hingga 16 ton CO2, terutama di daerah yang menggunakan batu bara sebagai sumber energi utama, seperti di Tiongkok【source 3】【source 4]. Meskipun ada dampak negatif pada biaya lingkungan, EV masih mengurangi emisi keseluruhan sepanjang hidupnya dibandingkan kendaraan konvensional, tetapi biaya sumber daya untuk penambangan dan produksi tetap menjadi tantangan【source 5】.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, sebagian besar listrik yang digunakan untuk mengisi daya kendaraan listrik masih berasal dari pembangkit listrik berbasis batu bara, yang menghasilkan jumlah emisi karbon yang tinggi. Meskipun EV dipasarkan sebagai kendaraan "tanpa emisi," kenyataannya berbeda ketika mempertimbangkan sumber energi yang digunakan untuk mengisi dayanya. Misalnya, Indonesia menghasilkan lebih dari 56% listriknya dari batu bara, yang berarti setiap kali EV diisi daya, emisi karbon dioksida tetap diproduksi secara tidak langsung, yang masih mempengaruhi manfaat lingkungan dari kendaraan tersebut【source 6】【source 7]. Pembangkit listrik berbasis batu bara menghasilkan sekitar 840 gram CO2 untuk setiap kilowatt/jam listrik, sehingga pengurangan emisi dari EV jauh lebih sedikit berdampak dibandingkan potensinya di negara-negara dengan sumber energi yang lebih bersih【source 8】. Meskipun EV dapat mengurangi polusi udara lokal, manfaat keseluruhannya terhadap perubahan iklim terbatas jika sumber listrik tetap berupa batu bara atau bahan bakar fosil lainnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah EV benar-benar lebih hijau ketika mempertimbangkan seluruh siklus energi. Untuk memaksimalkan potensinya, Indonesia perlu beralih ke sumber energi terbarukan untuk listriknya【source 9】..
ADVERTISEMENT
Daur ulang baterai kendaraan listrik (EV) adalah proses yang sangat kompleks yang memiliki tantangan lingkungan dan logistik. Baterai EV mengandung bahan-bahan beracun dan berbahaya seperti lithium, kobalt, dan nikel, yang dapat mempengaruhi ekosistem jika tidak ditangani dengan hati-hati. Ketika dibuang secara tidak benar di tempat pembuangan akhir, baterai ini berisiko melepaskan bahan kimia beracun ke dalam tanah dan air. Sayangnya, infrastruktur daur ulang saat ini tidak banyak digunakan, dan hanya sekitar 5% baterai EV yang didaur ulang secara global. Proses daur ulangnya sendiri bisa sangat rumit. Misalnya, metode pirometalurgi, yang melelehkan baterai untuk mengambil bahan-bahan, melepaskan polutan dan kehilangan komponen berharga seperti lithium. Hidrometalurgi, meskipun lebih efisien, rumit dan membutuhkan langkah tambahan. Meskipun metode seperti daur ulang langsung terlihat menjanjikan, metode ini tetap sulit diterapkan secara komersial. Seiring dengan semakin meluasnya adopsi EV, kekhawatiran tentang limbah baterai dan terbatasnya opsi daur ulang kemungkinan akan meningkat, sehingga penting untuk berinvestasi dalam solusi yang lebih baik untuk menangani baterai bekas dengan efisien【source 10】【source 11source 12】.
ADVERTISEMENT
.
Ketika kita membandingkan total emisi siklus hidup kendaraan listrik (EV) dan mobil konvensional, terlihat bahwa EV memiliki keuntungan sekaligus tantangan. Meskipun EV menghasilkan lebih sedikit emisi selama fase operasionalnya, produksi EV, terutama baterainya, menghasilkan lebih banyak emisi dibandingkan produksi mobil bensin. Hal ini disebabkan oleh proses energi tinggi yang dibutuhkan untuk menambang dan memproses bahan seperti lithium, kobalt, dan nikel. Namun, sepanjang masa pakainya, EV cenderung menutup penghematan emisi ini, sering kali mencapai titik "impas" setelah berkendara antara 20.000 hingga 22.000 mil, tergantung pada campuran energi di suatu wilayah. Dalam jangka panjang, EV dapat mengurangi total emisi seumur hidup sekitar 50% dibandingkan dengan kendaraan konvensional, tetapi mencapai ini mungkin memakan waktu lebih lama dari yang diharapkan【source13】【source 14
ADVERTISEMENT
Sementara kendaraan listrik (EV) sering dilihat sebagai solusi untuk mengurangi polusi, mereka bukan satu-satunya alternatif hijau. Transportasi umum, seperti bus dan kereta api, dapat mengangkut banyak orang sekaligus, mengurangi jumlah kendaraan di jalan, serta mengurangi emisi dan polusi secara efektif. Misalnya, di kota-kota seperti Jakarta, memperluas sistem bus rapid transit telah terbukti efektif dalam menurunkan tingkat kemacetan dan polusi. Kendaraan hybrid, yang menggunakan bahan bakar bensin dan tenaga listrik, menawarkan solusi dengan mengurangi konsumsi bahan bakar dan emisi. Misalnya, Toyota Prius telah populer karena efisiensi dan jejak karbon yang lebih rendah dibandingkan mobil tradisional. Teknologi sel bahan bakar, yang menggerakkan kendaraan dengan hidrogen, juga semakin mendapat perhatian. Bus berbahan bakar hidrogen, yang sudah digunakan di tempat-tempat seperti London, hanya menghasilkan uap air sebagai emisi, menjadikannya pilihan bersih untuk transportasi umum [source 15】【source 16】.
ADVERTISEMENT
Singkatnya, tidak diragukan lagi bahwa kendaraan listrik (EV) memiliki potensi untuk memperbaiki lingkungan, tetapi mereka juga memiliki biaya tersembunyi yang perlu diselesaikan. Misalnya, produksi baterai EV membutuhkan sumber daya yang signifikan dan dapat menyebabkan polusi dari operasi penambangan. Selain itu, di negara-negara seperti Indonesia, listrik yang digunakan untuk mengisi daya kendaraan ini sering kali berasal dari batu bara, yang menghasilkan emisi karbon【source 17】【source 18】. Sebelum sepenuhnya menerima EV sebagai solusi "hijau," penting bagi masyarakat untuk mempertimbangkan dampak lingkungan secara keseluruhan. Inovasi dan praktik berkelanjutan yang lebih banyak diperlukan dalam industri EV untuk membuat kendaraan ini benar-benar ramah lingkungan. Misalnya, meningkatkan metode daur ulang baterai dan beralih ke sumber energi terbarukan untuk pengisian daya dapat memberikan perbedaan yang signifikan【source 19】【source 20】.
ADVERTISEMENT