Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Pengabdian Berbuah Candaan: Sebuah Cerita
16 April 2025 13:26 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Gusti Imam Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Empat tahun sudah, waktu terus berjalan. Seperti roda yang tak pernah berhenti berputar, aku terus melangkah. Perjalanan ini bukan tanpa tujuan—ia bermula dari harapan, dari tekad yang sederhana namun penuh semangat: mengabdi.
ADVERTISEMENT
Awalnya, pengabdian ini adalah sebuah pilihan. Jalan yang kupilih sendiri dengan penuh keyakinan. Namun, di pertengahan jalan, sesuatu mulai berubah. Hati mulai goyah, pikiran mulai bertanya-tanya: "Apakah ini keikhlasan? Ataukah hanya bentuk kebodohan yang ku bungkus dengan alasan mulia?"
Aku pernah bermimpi, dan kini mimpi itu telah terwujud. Sosok yang dulu hanya khayalan, kini hadir nyata—Sang Ratu Kebanggaan, sumber semangat dan alasan untuk terus maju. Tapi kebahagiaan itu dibayangi oleh ketakutan yang tak kunjung reda. Sebuah pertanyaan diam-diam merayap dalam hati: "Akankah sang Ratu tetap di sini, menemaniku sampai kesuksesan, atau perlahan menghilang seperti kabut pagi yang sirna oleh mentari?"
Pengabdian ini bukan tanpa luka. Ia menyakitkan. Bukan hanya karena beban yang harus kupikul, tetapi karena balasan yang tak sesuai harapan. Bukan terima kasih yang kuterima, tapi candaan. Seolah pengorbanan ini lucu. Seolah perjuanganku hanya lelucon.
Lebih menyakitkan lagi, ketika orang-orang yang kuanggap sahabat, perlahan menunjukkan wajah lain. Wajah yang berbeda dari apa yang mereka tunjukkan di awal. Mereka menjadi dua topeng—tersenyum di depan, namun menghunus belati di belakang. Seperti siluman yang licik, perlahan mereka berusaha menjatuhkanku. Bukan dengan serangan terang-terangan, tapi dengan tikaman halus yang mematikan kepercayaan diri.
ADVERTISEMENT
Aku bertanya-tanya: "Haruskah aku terus bertahan? Apakah pengabdian ini masih layak ku perjuangkan?"
Tapi kemudian aku sadar—ini bukan hanya tentang mereka. Ini tentang aku. Tentang tekad yang dulu ku pegang saat pertama kali memilih jalan ini. Tentang impian yang tak boleh padam, meski diterpa badai keraguan.
Mungkin benar, pengabdian ini telah berubah wujud. Dari cita-cita menjadi canda. Dari kehormatan menjadi bahan tertawaan. Tapi jika aku berhenti sekarang, bukankah itu berarti aku membiarkan mereka menang?
Dan pada akhirnya, yang akan menentukan segalanya bukanlah tawa mereka, atau pengkhianatan di balik senyum palsu. Tapi kemauan hatiku—untuk terus berjalan, meski sendiri. Untuk tetap setia pada jalan ini, meski tak selalu dihargai.
Karena sejatinya, pengabdian sejati tidak menunggu tepuk tangan. Ia lahir dari ketulusan, tumbuh dalam luka, dan berbuah dalam keheningan. buatkan lebih panjang lagi.
ADVERTISEMENT
Setiap pagi aku bangun dengan beban yang semakin terasa. Bukan beban fisik, bukan pula tugas yang tak kunjung selesai, tapi beban mental yang menumpuk dalam diam. Seperti karang yang diamuk gelombang, aku tetap berdiri—meski perlahan tergerus, terkikis oleh kata-kata yang tak pantas dan sikap yang menyayat.
Kadang aku bertanya pada langit, pada diri sendiri, pada waktu:
"Apa yang salah dari pengabdian ini?"
"Mengapa kebaikan harus diuji dengan luka-luka yang tak terlihat oleh mata?"
"Apakah kesetiaan terhadap jalan yang kupilih ini hanya akan membuatku menjadi cerita pilu yang tak pernah selesai?"
Namun dalam sunyi, aku juga tahu: tak semua luka perlu diumbar, tak semua air mata harus terlihat. Karena dalam diamku, ada kekuatan yang tak mereka tahu. Aku menyimpan bara kecil di dalam dada. Bara itu belum padam. Masih ada panasnya, masih ada cahayanya.
ADVERTISEMENT
Sang Ratu Kebanggaan, satu-satunya yang selama ini jadi penyejuk dalam panas perjuangan, kini pun mulai berubah. Ia tak lagi sehangat dulu. Tatapannya lebih datar. Senyumnya tak selembut biasanya. Aku tahu, sesuatu tengah bergeser. Dan itu membuatku takut.
Bukan takut ditinggalkan semata, tapi takut jika ternyata semua ini hanya fana. Bahwa pengorbananku selama ini tak pernah benar-benar berarti. Aku telah memperjuangkan sesuatu yang mungkin hanya tinggal dalam kepalaku sendiri. Sementara dunia di sekitarku terus berjalan, tanpa peduli, tanpa menoleh.
Orang-orang mulai menunjukkan wajah aslinya. Mereka tak hanya diam. Mereka berbicara. Mereka berbisik-bisik di balik pintu, membuat cerita yang tak pernah kukenal sebagai bagian dari kenyataanku. Tapi begitulah dunia. Kebenaran terkadang tak pernah cukup kuat untuk mengalahkan persepsi.
ADVERTISEMENT
Aku menjadi sasaran candaan. Bukan candaan yang ringan dan menghibur, tapi candaan yang bernada ejekan. Seolah perjuanganku adalah hal bodoh. Seolah aku terlalu naif untuk percaya pada sesuatu yang begitu mulia seperti pengabdian.
Namun, di titik inilah aku belajar. Bahwa pengabdian yang sejati bukanlah soal dilihat, dipuji, atau dikenang. Ia adalah ujian batin, pertarungan antara harapan dan kenyataan, antara cinta dan luka.
Setiap langkah yang kutempuh, setiap peluh yang jatuh, setiap waktu yang kuhabiskan bukan untuk kepentingan pribadi—semuanya bukan untuk mereka. Tapi untuk diriku sendiri. Untuk keyakinanku bahwa kebaikan tetap pantas diperjuangkan, bahkan saat ia tak mendapat tempat di hati orang lain.
Dan meski dunia mencandai pengabdianku, aku takkan mundur. Karena dalam candaan mereka, aku menemukan kekuatan. Dalam ejekan mereka, aku menemukan keberanian. Dalam pengkhianatan mereka, aku menemukan jati diri.
ADVERTISEMENT
Aku mungkin tak akan menang dalam pandangan mereka. Tapi aku menang dalam hatiku sendiri. Karena aku memilih tetap berjuang, meski luka mengiringi. Karena aku memilih bertahan, meski harapan terus diuji. Karena aku tahu, pengabdian bukan tentang hasil, tapi tentang niat dan ketulusan.
Dan jika suatu saat nanti aku harus pergi dari jalan ini, aku akan pergi dengan kepala tegak. Karena aku pernah berjuang. Bukan untuk mereka. Tapi untuk sesuatu yang lebih besar—harga diri, integritas, dan mimpi yang tak boleh mati.
Pengabdian ini memang pahit. Tapi bukan berarti sia-sia. Ia mengajarkanku arti menjadi manusia seutuhnya: kuat meski rapuh, setia meski tak dihargai, dan terus melangkah, meski tak tahu akan sampai di mana.
ADVERTISEMENT
Jakarta 16 April 2025