Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Namanya juga Anak-Anak?
2 November 2020 5:35 WIB
Tulisan dari Khabibur Rohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Selama ini kita terlanjur menganggap bahwa bullying dengan segala macam bentuknya adalah hal biasa yang terjadi pada masa anak-anak dan remaja. Hal ini bisa dilihat dengan mudah dari cara kita para orang dewasa dalam menyikapinya. Di sekolah misalnya, anak-anak yang tidak mengerjakan PR, datang terlambat, tidak memakai kaos kaki, atau tidak memakai seragam sesuai ketentuan akan diberikan hukuman, sementara para siswa yang melakukan bullying bebeas dari segala hukuman. Bullying tidak pernah diposisikan sebagai kesalahan yang serius. Menjadi mengherankan jika orang-orang baru beramai-ramai mengutuknya saat ada satu atau dua kasus yang viral. Kemana saja kita selama ini?
ADVERTISEMENT
Para orang dewasa bukan tidak pernah melakukan dan atau melihat aksi bullying dalam kehidupan sehari-hari. Bullying bisa terjadi kapan dan dimana saja, pelakunya pun bisa siapa saja. Tidak terkecuali kita para orang dewasa. Salah satu bentuk pemakluman kita jika melihat aksi bullying adalah cukup dengan meresponnya, “Namanya juga anak-anak”.
Bullying tidak muncul begitu saja
John Locke -Filsuf dari Inggris- mengilustrasikan anak sebagai pribadi yang bersih dan sensitif terhadap berbagai rangsangan. Rangsangan (stimulus) yang ia terima, entah baik atau buruk, akan diterima anak tanpa banyak filter dan akan direkam oleh anak di alam bawah sadarnya. Itulah penjelasan mengapa seorang anak adalah pembelajar yang menakjubkan. Seorang anak atau remaja, betapapun nakalnya, dia tidak akan dengan sendirinya menjadi nakal atau bahkan bengis. Pasti dia melihat, mendengar, membaca, melihat, dan akhirnya terlibat dalam berbagai tindak kekerasan. Kekerasan telah menjadi bagian dalam kehidupan anak. Di lingkungan keluarga, di sekolah, di masyarakat, di media sosial, di banyak tempat dan di berbagai kesempatan. Jadi, kita semua berkontribusi atas segala tindak kekerasan yang terjadi di sekitar kita. Apapun yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai.
ADVERTISEMENT
Hal yang sebenar-benarnya perlu dilakukan oleh para orang dewasa saat merasa gerah dengan tingkah anak-anak dan remaja saat ini adalah refleksi diri. Anak-anak adalah cerminan dari sikap dan pola asuh kita. Berdasarkan data, 26-27% anak mengaku pernah menjadi korban kekerasan baik di rumah maupun sekolah, 78% anak menjadi saksi atau bahkan terlibat dengan aksi kekerasan. Kekerasan telah begitu akrab dan dekat dalam kehidupan harian anak. Anak-anak mungkin bukan pendengar yang baik, tapi mereka adalah peniru yang ulung.
Kekerasan di Sekolah
Menurut Bukik Setiawan di sekolah anak-anak berada di situasi yang penuh tekanan dan ancaman. Situasi itulah yang kemudian memicu resistensi dari dalam diri para siswa. Salah satu wujudnya adalah tindak kekerasan terhadap sesama siswa dalam bentuk bullying. Di sekolah anak-anak terpaksa mempelajari sesuatu yang sebenarnya tidak relevan dengan minat dan potensinya, para siswa juga terpaksa mendengar ceramah yang sudah pasti membosankan, motivasi belajar anak dipicu oleh sogokan dan ancaman. Semestinya kita tidak perlu kaget apalagi murka jika para siswa pada akhirnya menjadi begitu bengis seperti yang terjadi di Purworejo dan Malang belum lama ini.
ADVERTISEMENT
Butuh lebih dari sekadar menghukum anak yang melakukan aksi bullying untuk bisa memutus mata rantai bullying di dunia pendidikan. Bukan pula membuat poster dan selebaran yang ditempel di setiap sudut sekolah, apalagi cuma sekadar ikut-ikutan berkomentar nyinyir dan mengutuk pelakukanya di media sosial. Lebih dari itu diperlukan sebuah upaya mendasar dan komprensif, yang melibatkan banyak pihak guna memastikan tidak ada lagi cerita anak-anak yang saling menyakiti satu sama lain.
Kita harus terus berkeyakinan bahwa anak berasal dari Tuhan yang Maha Baik, mereka terlahir membawa potensi kebaikan. Sedangkan tugas kita para orang dewasa adalah menciptakan lingkungan yang kondusif untuk bersemainya potensi tersebut. Keluarga, lingkungan, dan sekolah harus berusaha menciptakan lingkungan yang penuh cinta.
ADVERTISEMENT