Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
'Gunung Es' Prevalensi Penyalahgunaan Narkotika: Mari Upayakan Rehabilitasi
21 Juni 2021 18:33 WIB
·
waktu baca 6 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 14:05 WIB
Tulisan dari Hafizh Mamesah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan Survei Prevalensi Penyalahgunaan Narkoba Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia Tahun 2020 lalu, angka prevalensi penggunaan narkotika Indonesia pada tahun 2019 adalah sebesar 1,80%. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), prevalensi adalah jumlah keseluruhan kasus penyakit yang terjadi pada suatu waktu tertentu di suatu wilayah.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks penyalahgunaan narkotika, prevalensi penyalahgunaan narkotika Indonesia berarti jumlah keseluruhan penyalahgunaan narkotika yang terjadi di wilayah Indonesia dalam jangka waktu satu tahun terakhir.
Laporan yang disampaikan pada peringatan Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) tersebut menunjukkan bahwa 1,8% penduduk Indonesia atau setara 3.419.188 orang secara aktif melakukan penyalahgunaan narkotika selama setahun terakhir. Bahkan laporan tersebut juga memuat data prevalensi pengguna pernah pakai setidaknya sekali seumur hidup, yakni sebesar 2,40% atau setara dengan 4.534.744 orang.
Rendahnya angka prevalensi penyalahgunaan narkotika tersebut menjadi sebuah prestasi yang patut dibanggakan dan sangat layak untuk diapresiasi sebagai keberhasilan berbagai pihak, terutama BNN yang menjadi garda terdepan dalam agenda pemberantasan peredaran dan penyalahgunaan narkoba.
Gunung Es Prevalensi Penyalahgunaan Narkotika
Sayangnya, di sisi lain, data kasus narkotika baik pelaku berperan sebagai pengedar maupun pengguna masih mendominasi berbagai jenis pidana Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) yang berada di bawah pembinaan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan informasi yang tertera pada laman Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham RI, jumlah tahanan dan narapidana kasus narkotika di seluruh Lapas dan Rutan secara nasional sebesar 56,13% pada bulan April tahun 2021.
Adapun pada level provinsi, sebagai contoh Provinsi Lampung, jumlah narapidana dan tahanan yang ditahan karena terjerat kasus narkoba di seluruh Lapas maupun Rutan se-Provinsi Lampung adalah sebesar 54,30%.
Tidak hanya di lapas dan rutan, narapidana yang memperoleh program asimilasi dan integrasi untuk dapat kembali ke keluarga dan berbaur dengan masyarakat pada level pembimbingan di bawah pengawasan Balai Pemasyarakatan (Bapas) dengan kasus narkotika masih tetap paling banyak dibandingkan dengan kasus lainnya.
Sebagai contoh, narapidana yang berada di bawah bimbingan Bapas Kelas II Metro dengan kasus narkotika baik sebagai pengedar maupun pengguna pada bulan Mei 2021 adalah sebesar 25,65%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kasus pencurian dengan kekerasan sebesar 21,27% di peringkat kedua dan pencurian dengan pemberatan sebesar 15,78% di peringkat ketiga. Selain ketiga kasus tersebut, tidak ada jenis perkara yang mencapai angka 10%. Menariknya, ketika narapidana dengan kasus pencurian tersebut diwawancarai untuk apa uang yang diperoleh dari hasil mencuri, sebagian diantaranya tidak jarang menjawab dipergunakan untuk membeli narkotika dan minuman beralkohol.
Data di atas mencerminkan bahwa meskipun prevalensi penyalahgunaan narkotika semakin menurun, pelaku pengedaran dan penyalahgunaan narkotika baik yang sedang menjalani persidangan maupun sudah ditetapkan sebagai narapidana masih tetap mendominasi seluruh lapas dan rutan di seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tentu ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk tidak cepat puas dalam mencermati isu peredaran dan penyalahgunaan narkotika yang bagaikan fenomena “gunung es” (iceberg), yaitu kasus laten sebenarnya jauh lebih banyak dibandingkan data yang terlaporkan dan terlihat di permukaan.
Penyesalan Narapidana Menjadi Pelajaran untuk Kita Semua
Berdasarkan hasil wawancara terhadap narapidana untuk keperluan Penelitian Kemasyarakatan yang dilakukan di Lapas dan Rutan, alasan para mantan pengguna narkotika yang paling sering ditemukan adalah rasa penasaran ingin mencoba dan faktor ajakan teman. Temuan ini masih sangat relevan dengan hasil survei yang dilakukan oleh BNN pada tahun 2019 , yaitu lebih dari 40% responden mengaku pertama kali menggunakan narkotika karena ingin mencoba.
Menurut catatan BNN juga, lebih dari 30% responden mengaku bahwa dirinya diajak oleh temannya untuk mengonsumsi narkotika dengan berbagai modus, mulai dari diberikan secara gratis, diajak berpesta, ataupun sekadar berbincang sambil disuguhi narkotika jenis tertentu.
ADVERTISEMENT
Selain diajak untuk mengonsumsi, pergaulan sangat berkaitan erat dengan kasus narkotika di tengah masyarakat. Terdapat kasus yang ditemukan ketika narapidana (sebut saja Y) yang belum pernah mengonsumsi narkotika sama sekali, namun diminta oleh temannya untuk membawakan barang yang ternyata adalah narkotika Golongan I.
Kejadian bermula ketika Y yang kebetulan lewat dengan mengendarai motor diminta untuk mengantar temannya (sebut saja A) pulang. A yang membawa bungkusan meminta agar bungkusan tersebut diletakan di laci motor Y. Singkat cerita, Y sempat menolak karena takut jika ada pemeriksaan polisi. Akan tetapi, Y akhirnya menyetujui permintaan A tersebut setelah dibujuk. Di perjalanan, Y dan A diberhentikan oleh anggota Kepolisian. A sebagai pemilik bungkusan yang membonceng berhasil melarikan diri, sedangkan Y langsung diamankan di Polres setempat.
ADVERTISEMENT
Setelah melalui proses pemeriksaan dan persidangan Y dinyatakan bersalah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana Pasal 112 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yakni “Yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki atau menyimpan Narkotika Golongan I bukan tanaman” dan divonis dengan putusan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sejumlah Rp 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) subsidier 1 (satu) bulan.
Dalam keterangan melalui wawancara, Y mengaku sangat menyesal karena menuruti bujukan A untuk membawakan bungkusan berisi narkotika Golongan I sehingga akhirnya berakibat pada statusnya sebagai narapidana dan mendekam untuk waktu yang lama. Meskipun tes urin Y menunjukkan hasil negatif, Hakim dalam persidangan memutuskan Y memenuhi unsur melanggar Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika yang berbunyi:
ADVERTISEMENT
Kasus di atas menjadi gambaran sederhana bahwa pertemanan menjadi salah satu faktor yang menentukan (determinan) seseorang dapat terjerat sebagai pengedar dan penyalahguna narkotika di mata hukum. Penyesalan narapidana yang terjerat kasus narkotika hendaknya menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk lebih berhati-hati dalam pergaulan. Tentu kita masih bisa bergaul tanpa harus melebur apalagi bersentuhan dengan narkoba, sebagaimana ungkapan anonim yang mungkin pernah kita dengar,
ADVERTISEMENT
Upayakan Rehabilitasi, Mari Selamatkan Korban
Permasalahan penyalahgunaan narkotika adalah sebuah isu yang sangat kompleks dan tidak akan bisa diselesaikan hanya oleh satu bidang keilmuan ataupun satu lembaga saja. Kesadaran dan wawasan dari seluruh elemen masyarakat sangat diperlukan untuk mengupayakan rehabilitasi jika di antara keluarga, kerabat ataupun tetangganya, terdapat pecandu ataupun korban penyalahgunaan narkotika.
Pecandu dan korban penyalahguna narkotika juga perlu diberikan pemahaman bahwa paradigma pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika di Indonesia telah memiliki banyak kesamaan dengan filosofi dari pemasyarakatan yang dilaksanakan oleh Kemenkumham RI, yakni mengupayakan pemasyarakatan bukan semata penghukuman.
Dalam strategi pemberantasan narkotika oleh BNN, dikenal juga prinsip pencegahan peredaran gelap (supply reduction) terhadap bandar dan pengedar gelap narkotika, serta kampanye pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi (demand reduction) terhadap pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Dengan demikian, sinergitas antar kedua instansi mulai dari level Pusat hingga Satuan Kerja (Satker) atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) diharapkan dapat berjalan dengan optimal.
ADVERTISEMENT
Terlebih pada tahun 2020, Presiden Republik Indonesia telah menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika (P4GN).
Inpres Nomor 2 Tahun 2020 tersebut dilanjutkan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN), Psikotropika dan Bahan Berbahaya lainnya. SKB tersebut ditandatangani oleh Menteri PANRB, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Kesehatan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Pemuda dan Olahraga, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI, Kepala BNN, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Informasi yang perlu disampaikan dari salah satu upaya "demand reduction" adalah pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika dapat mendaftarkan diri secara sukarela untuk memperoleh rehabilitasi dari BNN. Salah satu kesulitan untuk dapat mengoptimalkan pelaporan secara sukarela oleh pecandu dan keluarganya yakni kekhawatiran bahwa pecandu akan menghadapi permasalahan hukum yang berujung pada pemidanaan yang bersangkutan. Padahal Pasal 54 sampai dengan 59 UU No.35 Tahun 2009 telah mengatur secara jelas bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Bahkan selain rehabilitasi medis yang dilaksanakan di institusi pelayanan kesehatan, rehabilitasi sosial yang melibatkan masyarakat, pendekatan kepercayaan dan tradisional juga diakui oleh Undang-Undang tersebut. Selain itu, Kepala BNN juga selalu menyampaikan dalam berbagai kesempatan bahwa pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dapat secara sukarela melaporkan dirinya ke balai rehabilitasi yang dikelola oleh BNN dan akan mendapatkan pelayanan secara gratis hingga mereka dapat kembali hidup tanpa ketergantungan obat-obatan terlarang tersebut.
ADVERTISEMENT
Apabila tidak terdapat balai rehabilitasi yang dikelola oleh BNN di sekitar tempat tinggal para pecandu, pecandu atau keluarganya dapat secara langsung proaktif melaporkan diri ke Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL). Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, IPWL adalah pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah.
BNN telah membuat daftar lengkap IPWL yang tersebar di seluruh Indonesia yang dapat diakses oleh masyarakat dengan mudah. Karena itu, sosialisasi secara masif mutlak diperlukan secara terus-menerus bahwa tidak ada hukuman bagi pecandu yang telah memiliki kesadaran untuk mencari pengobatan. Melalui sosialisasi secara masif tersebut, program rehabilitasi yang disiapkan oleh tim penyusun program rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial nantinya dapat dijalani dengan baik dan berdampak nyata pada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, terdapat tantangan dalam program rehabilitasi yang dijalani secara sukarela oleh pecandu, yaitu kurangnya kesadaran dan komitmen dari pecandu dan/atau keluarganya untuk menyelesaikan program rehabilitasi yang telah disusun. Jika tantangan tersebut tidak segera dientaskan, penyalahgunaan narkotika berisiko terus berlanjut dan justru dapat semakin buruk akibat pecandu belum sepenuhnya lepas dari ketergantungan obat terlarang dan belum mampu memisahkan diri secara utuh dari lingkungan negatif sesama penyalahguna narkotika.
Pecandu narkotika yang tidak secara sukarela melaporkan dirinya untuk memperoleh rehabilitasi melalui balai rehabilitasi BNN dan IPWL, maka akan terpaksa menjalani rehabilitasi dengan lebih ketat di bawah pengawasan Kepolisian, BNN, Kejaksaan, dan Kemenkumham (Lapas dan Rutan) apabila nantinya tertangkap oleh aparat yang berwenang. Landasan dari aturan tersebut tertuang dalam Pasal 103 ayat (1) UU No.35 Tahun 2009 yang berbunyi
ADVERTISEMENT
Dengan kondisi tersebut, keluarga pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika sudah seharusnya memiliki kesadaran dan komitmen untuk dapat secara sukarela melaporkan diri ke BNN atau IPWL terdekat sesuai wilayah tempat tinggalnya. Sehingga upaya perang melawan narkoba (War on Drugs) khususnya pada masa pandemi COVID-19 dapat disadari dan diimplementasikan sebagai tanggung jawab seluruh pihak, tidak hanya pemerintah. Melalui gerakan kolaborasi yang melibatkan elemen masyarakat itulah, kita semua akan mampu mencapai target Indonesia yang bersih dari peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika.
ADVERTISEMENT
Referensi:
ADVERTISEMENT