Konten dari Pengguna

Ironi Plagiarisme di Tengah Eksistensi Sumber Pustaka

HAIDHAR FADHIL WARDOYO
Mahasiswa hubungan internasional, Universitas Islam Indonesia
23 Januari 2023 14:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari HAIDHAR FADHIL WARDOYO tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Gambar: Unsplash
ADVERTISEMENT
Plagiarisme merupakan momok menakutkan yang selalu menjadi masalah di setiap tahunnya. Budaya asal copas atau copy paste semakin menjamur, terlebih ketika tidak ada regulasi ketat terkait hak kekayaan intelektual terhadap gagasan yang ditulis oleh seseorang.
ADVERTISEMENT
Mulai dari penulisan artikel sampai jurnal, penulis asli seringkali tidak dianggap. Padahal, pencantuman sitasi dan daftar pustaka adalah hal sakral yang seharusnya dapat dilakukan dalam setiap kutipan dalam penulisan.
Sebelum membahas lebih jauh, plagiarisme sendiri merupakan sebuah tindakan penulisan yang mengutip dari karya tulis orang lain, tanpa menyertakan sumber pustaka dalam tulisannya.
Singkatnya, plagiarisme adalah sebuah kejahatan. Sebab, plagiarisme tak ubahnya dengan mencuri karena mengambil dan menjiplak karya tulis orang lain, tanpa adanya kredit terhadap penulis aslinya—dalam hal ini adalah gagasan atau opini pribadi.

Teknologi dan Kemudahan Akses

Ilustrasi jurnalis menulis berita. Foto: Getty Images
Kemudahan akses melalui teknologi dengan adanya jutaan karya tulis pada situs pencarian internet, ternyata tidak serta merta memberikan dampak positif.
ADVERTISEMENT
Tak jarang, khalayak menganggap bahwa semua yang ada di internet adalah konsumsi publik, gratis, dan dapat digunakan sesukanya. Karya tulis pun keluar menjadi salah satu komoditas yang paling rentan. Teknologi yang terus berkembang tidak hanya membentuk pola pikir praktis, tetapi juga tindakan praktis dengan masifnya plagiarisme.
Menyertakan sumber pustaka sejatinya adalah tindakan yang sangat mudah. Berbagai macam platform penulisan seperti Microsoft Word dan Google Docs memiliki fitur sitasi otomatis.
Gaya sitasinya pun sangat beragam, mulai dari Modern Language Association (MLA), American Psychological Association (APA), sampai Chicago.
Ilustrasi menulis. Foto: fizkes/Shutterstock
Hanya dengan menyalin tautan artikel atau menuliskan nomor DOI dari sebuah jurnal ke fitur sitasi, maka sumber pustaka akan keluar dengan lengkap.
ADVERTISEMENT
Siapa penulisnya, kapan terbitnya, apa judul karya tulisnya, dari website atau jurnal apa karya tulis diambil, sampai kapan karya tulis tersebut dikutip dihasilkan secara otomatis.
Demikian dapat dikatakan pula, bahwa menyertakan sumber pustaka sebenarnya semudah membalikkan telapak tangan saja.
Namun, masih ada begitu banyak orang yang terus melakukan plagiarisme. Sebuah tindakan yang lambat laun menjadi budaya yang tidak hanya mengkerdilkan usaha, tetapi juga membunuh intelektualitas. Masyarakat menjadi abai terhadap karya orang lain, kredit tidak ada, apresiasi apa lagi.

Ironi Dunia Pendidikan

ilustrasi anak di sekolah Foto: Shutterstock
Bermain api basah, bermain air lecur. Peribahasa itu adalah yang seharusnya ada di setiap pikiran manusia, terlebih civitas akademika. Setiap pekerjaan atau usaha pasti akan mengalami kesusahan.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, kesusahan yang dimaksud adalah perihal menyertakan sumber pustaka. Meskipun sebenarnya, menyertakan sumber pustaka ini pun tidak begitu susah di era yang serba canggih seperti sekarang.
Hal ini membentuk sebuah ironi karena oknum plagiarisme itu malah mayoritas berasal dari dunia pendidikan. Melansir dari JawaPos, seorang praktisi pendidikan Indra Charismiadji dalam webinar bertajuk Plagiarisme dan Wajah Masa Depan Dunia Akademik memaparkan bahwa berdasarkan data kajian, tindakan plagiat di tingkat SD-SMA mencapai angka 94 persen (Zaking, 2021).
Sedikit banyaknya, data ini membuktikan bahwa budaya plagiarisme tidak serta merta hadir ketika menginjakkan kaki di bangku perkuliahan saja.
com-Ilustrasi Melihat Review di Internet Foto: Shutterstock
Lebih jauh, plagiarisme telah menjadi budaya struktural. Mengakar dan terus berkembang seiring dengan langgengnya miskonsepsi tentang karya tulis yang beredar di internet.
ADVERTISEMENT
Plagiarisme yang bermula dari sekadar lirikan mata singkat terhadap jawaban rekan sebangku, lambat laun meluas hingga tindakan copy paste atau salin tempel terhadap buah pikiran orang lain.
Mahasiswa yang sedari awal semester sudah diajarkan berbagai teknik untuk menghindari plagiarisme seakan lupa dan memprioritaskan kerja cepat, tanpa usaha, dan tanpa berpikir, alias copas.
Teknik sintesis, parafrase, sampai sitasi yang lagi-lagi semudah membalikan telapak tangan seolah-olah hanya masuk ke telinga kanan dan keluar ke telinga kiri saja.
Ilustrasi jurusan kuliah. Foto: wutzkohphoto/Shutterstock
Adapun menilik pada regulasi pemerintah, aturan terkait plagiarisme pada dasarnya memang kurang ketat dan tegas. Permendikbud No. 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi sebagai satu-satunya regulasi tentang plagiarisme masih belum maksimal dalam menjerat berbagai macam kasus plagiarisme. Terlebih dalam penerapannya, regulasi ini masih terkendala dalam konteks pengaplikasian.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, sebaiknya dosen atau tenaga pendidikan dapat turut serta berperan dalam konteks pengaplikasian aturan melalui pemberian sanksi yang tegas, seperti misal tidak memberikan nilai atau bahkan tidak meluluskan mahasiswa yang melakukan plagiat di mata kuliah terkait.
Lebih jauh, kesadaran mahasiswa akan eksistensi sumber pustaka harus diperdalam. Sebab, meruntuhkan budaya struktural harus dilakukan secara kolektif, dengan cara mau untuk bersama-sama berintrospeksi dan berubah menjadi lebih baik.