Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dari Demokrasi ke Sumbiokrasi: Upaya Melibatkan Ekologi Dalam Politik
5 Agustus 2024 11:09 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Haikal Fadhil Anam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak dapat dipungkiri, krisis lingkungan (climate crisis) global semakin mendesak perhatian dunia. Dari pemanasan global, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga polusi udara dan air, tantangan-tantangan ini memerlukan solusi yang inovatif dan berkelanjutan. Demokrasi sebagai sistem politik yang dominan saat ini sering kali gagal menghadirkan solusi yang efektif untuk krisis lingkungan. Terbukti dengan banyaknya kasus yang justru demokrasi (cenderung antroposentris) digunakan sebagai alat eksploitatif untuk kepentingan manusia semata.
ADVERTISEMENT
Selain itu, lobi-lobi korporasi yang kuat sering kali mengarahkan kebijakan pemerintah yang lebih pro-bisnis daripada pro-lingkungan (Latour, 2017). Sebuah konsep baru yang dikenal sebagai "sumbiokrasi" muncul sebagai alternatif yang potensial. Sumbiokrasi mengedepankan harmoni antara manusia dan alam, serta mengintegrasikan nilai-nilai ekologi dalam pengambilan keputusan politik.
Sumbiokrasi adalah konsep yang menggabungkan nilai-nilai ekologis dengan struktur politik. Istilah "sumbiokrasi" berasal dari kata "sumbio" yang berarti simbiosis, mengacu pada hubungan timbal balik yang harmonis antara manusia dan alam.
Beberapa prinsip utama sumbiokrasi antara lain: Keberlanjutan Ekologis dimana keputusan politik harus memprioritaskan keberlanjutan lingkungan dan keseimbangan ekosistem; partisipasi inklusif dalam artian semua lapisan masyarakat, termasuk komunitas lokal dan kelompok marjinal, harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan; dan keberlanjutan antar generasi yang menekankan bahwa kebijakan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap generasi mendatang, memastikan mereka dapat menikmati lingkungan yang sehat dan berkelanjutan (Horn & Albrecht, 2016).
ADVERTISEMENT
Sederhananya, sebagaimana Ryan (2021) jelaskan bahwa “sumbiocracy can emerge as a mode of governance based on reciprocal relations between humans and other life forms”.
Salah satu yang dapat diadopsi adalah dari praktik dan tradisi yang sudah lama dilakukan oleh masyarakat adat di mana mereka terhubung dengan alam bahkan dengan Tuhan. Sebagai contoh, masyarakat adat Ciptagelar di Sukabumi memegang nilai-nilai leluhurnya untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Misalnya dalam bidang pertanian, masyarakat adat Ciptagelar menyelenggarakan sedikitnya tiga puluh dua tahapan acara budaya padi dan ritual adat yang selalu berulang dalam satu siklus tanam (Kusdiwanggo, 2014).
Semua ritual atau tahapan tersebut adalah cara mereka berhubungan dengan alam dan Tuhan. Dalam kepercayaan dan sistem nilai masyarakat Ciptagelar, mereka tidak bisa dipisahkan dari hutan. Menurut adat Kasepuhan Ciptagelar, hutan merupakan instrumen penting dalam menunjang kehidupan dan menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakat. Masyarakat Ciptagelar meyakini bahwa hutan merupakan pusat kehidupan manusia sehingga kelestariannya harus dijaga dengan baik (Agung Citra Resmi Wulangsih et al., 2022).
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, dalam kaitannya dengan penanaman padi, ketika akan menanam mereka selalu melakukan ritual untuk mendapatkan izin menanam. Begitu pula setelah panen, mereka melakukan ritual sebagai bentuk rasa syukur terhadap tanah dan alam atas hasil panen yang mereka peroleh untuk kebutuhan dan kehidupan mereka.
Contoh lain adalah pengelolaan air yang dilakukan di Bali melalui system Subak. Sistem irigasi subak adalah teknologi yang telah terintegrasi erat dengan sosio-kultural masyarakat setempat. Teknologi Subak ini dianggap sepadan karena anggota subak memahami cara memanfaatkan air irigasi berdasarkan prinsip Tri Hita Karana (THK).
Sistem subak mengelola irigasi dengan prinsip harmoni dan kebersamaan sesuai dengan konsep THK. Dengan dasar ini, sistem subak mampu mengantisipasi kekurangan air, terutama pada musim kemarau, dengan mengatur pola tanam yang sesuai dengan peluang keberhasilannya. Sebagai teknologi yang sepadan, sistem subak berpotensi untuk ditransformasi asalkan nilai-nilai kesepadanan teknologinya tetap dipertahankan.
ADVERTISEMENT
Tentunya hal tersebut adalah contoh terkecil dari sebuah pengambilan keputusan tentang pengelolaan lahan pertanian yang mempertimbangkan kelestarian dan keberlanjutan alam yang tidak eksploitatif. Lebih dari itu, tidak hanya sekedar untuk menjaga kelestarian, tetapi juga membangun hubungan atau koneksi dengan alam yang tidak hanya dijadikan sebagai objek yang dikuasai, tetapi dijadikan mitra yang saling menguntungkan dan saling bergantung.
Bagaimanapun, tanah dan hal (things) lainnya dari sudut pandang new materialism memiliki agency yang tidak bisa diacuhkan begitu saja atau apa yahg disebut oleh Barad (2007) sebagai agential realism.
Dalam kaitannya dengan implementasi sumbiokrasi, beberapa langkah konkret dapat diambil seperti pembuatan undang-undang lingkungan yang lebih ketat dan kebijakan yang mendorong praktik bisnis berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Misalnya, menerapkan pajak karbon untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan insentif untuk energi terbarukan. Selanjutnya, desentralisasi kekuasaa yaitu dengan memperkuat pemerintahan lokal dan komunitas untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan sesuai dengan kearifan lokal. Terakhir dengan meningkatkan kesadaran lingkungan melalui pendidikan formal dan kampanye publik untuk mendorong perubahan perilaku dan budaya yang lebih ramah lingkungan.
Di satu sisi sumbiokrasi menawarkan banyak potensi, namun, ada beberapa tantangan yang harus diatasi seperti perlunya perubahan paradigma seperti mengubah pola pikir masyarakat dan pemimpin politik yang sudah terbiasa dengan model pembangunan yang eksploitatif; mengatasi ketimpangan ekonomi yang bisa menjadi penghalang dalam implementasi kebijakan lingkungan yang adil; dan membangun kerjasama internasional yang kuat untuk menangani isu-isu lingkungan global yang tidak mengenal batas negara.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, terlepas dari tantangan tersebut, peluang untuk menerapkan sumbiokrasi juga besar. Dengan semakin meningkatnya kesadaran akan krisis lingkungan dan tekanan dari masyarakat sipil, ada ruang untuk reformasi yang lebih besar. Teknologi hijau dan inovasi dalam bidang energi terbarukan juga menawarkan solusi praktis yang bisa diintegrasikan dalam kebijakan sumbiokrasi.
Dengan begitu, krisis lingkungan global memerlukan solusi yang melampaui pendekatan politik konvensional. Sumbiokrasi, dengan prinsip-prinsip keberlanjutan ekologis, partisipasi inklusif, dan keberlanjutan antar generasi, menawarkan jalan keluar yang menjanjikan. Mengintegrasikan nilai-nilai ekologis dalam pengambilan keputusan politik dapat menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan dan harmonis antara manusia dan alam.