Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Degradasi Posisi Seniman Makassar
10 November 2024 10:07 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Halim HD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kepastian relasi antara kehidupan kebudayaan termasuk kesenian dengan dunia politik merupakan kesahihan yang tak dapat ditolak. Sepanjang sejarah kebudayaan dan peradaban yang bisa kita pelajari dari zaman ke zaman membuktikan hal itu. Tak ada seorang penguasa politik dari periode mana pun yang membiarkan begitu saja kesenian sebagai unsur utama dalam dinamika kehidupan kebudayaan berjalan sendiri dan melepaskan dirinya dari posisi politik.
ADVERTISEMENT
Demikian juga dengan kaum seniman, melalui kesadaran kepada lingkungan sosialnya maka kaum seniman selalu menyadari bahwa posisi dirinya dan dunia kesenian yang dikelolanya harus dan wajib untuk menyadari bahwa tata Kelola kesenian dalam konteks kehidupan kebudayaan selalu harus berhadapan dengan politik.
Tentu kita selalu mendengar ungkapan dari kaum seniman bahwa politik memiliki niatnya sendiri, dan hanya menjadikan kesenian sebagai alat bagi kepentingan politik. Bahkan ada yang lebih kelam ungkapannya, bahwa politik telah menyalahgunakan kesenian tanpa suatu dasar kandungan tatanan nilai. Jika ungkapan itu kita perhatikan, maka kita mendapatkan realitas bahwa ada interaksi dan relasi antara kesenian politik yang tak sepenuhnya bisa sejalan.
Masing-masing memiliki kepentingan, dan kepentingan itu hanya didasarkan kepada tatanan nilainya sendiri. Bagi kaum politisi, kesenian tak boleh semaunya. Kesenian mestilah menjunjung suatu nilai kepentingan bagi masyarakat. Ungkapan ini merupakan suatu lip service di kalangan kaum politisi yang seolah olah membela kesenian untuk memasuki lingkungan masyarakat, tapi pada sisi lain juga ingin menggunakan kesenian sebagai kepentingan dirinya.
ADVERTISEMENT
Gambaran di atas menjadi tematik yang tak pernah padam dari perbincangan yang bisa kita dengar kapanpun, dari suatu periode rezim ke rezim lainnya, bahkan bisa kita tarik ke dalam rentang ruang sejarah yang lebih jauh. Tapi marilah kita menengok sejenak rentang ruang sejarah dalam setengah abad terakhir ketika Makassar menjadi salah satu pelatuk dalam dunia kesenian.
Dalam konteks ini, saya tertarik dengan refleksi historis yang disampaikan oleh Prof. Sofyan Salam di dalam merenungi perjalanan dunia kesenian di Makassar dan posisi kaum seniman berkaitan dengan kondisi politik dan tata kelola kebudayaan di wilayah Sulsel. Melalui kasus Rachman Arge sebagai figur kaum seniman, Prof. Sofyan Salam menyatakan peranan Rachman Arge bukan hanya dalam dunia kesenian tapi juga peranannya dalam politik Golkar di Sulsel khususnya di Makassar.
ADVERTISEMENT
Yang paling menarik dari refleksi historis Prof. Sofyan Salam dalam diskusi melalui WA, bahwa peranan Rachman Arge yang membuat Gubernur dan khususnya Wali Kota Patompo, menjadi begitu dekat. Kedekatan tentunya bukan sekadar adanya jalinan politik tapi dibalik itu ada kandungan lain: Rachman Arge sebagai pemikir kebudayaan menjadi icon dan juru bicara dalam perbincangan kesenian dan kebudayaan dari wilayah Sulsel.
Dalam kaitan itu Walkot Patompo yang memiliki kesadaran politik kebudayaan menangkapnya sebagai “partner dialog” yang disadarinya bahwa Rachman Arge bisa membawa dan mengangkat nama Makassar melalui dunia kesenian. Dinamika pergaulan formal dan informal itu terwujud melalui praktik politik kebudayaan yang diterapkan oleh Patompo. Dari situlah kenapa Makassar menjadi moncer dalam kehidupan kesenian.
ADVERTISEMENT
Pada kasus yang lain yang juga merupakan refleksi historis Prof. Sofyan Salam tentang relasi yang kuat antara Gubernur Palaguna dengan budayawan Prof. Fahruddin Ambo Enre. Sang Gubernur yang secara psikologis merasa menjadi “adik” budayawan yang pernah mendirikan Yayasan Kebudayaan Sulsel sebagai ruang percaturan dan praktik khazanah tradisi, sangat dihormatinya sebagai figur yang memberikan kontribusi kepada arah kehidupan kesenian.
Relasi yang juga bersifat personal antara Gubernur Palaguna dengan budayawan Prof. Fahruddin Ambo Enre namun lebih kuat kepada suatu kerangka kepentingan mewujudkan gagasan dan praktik politik kebudayaan untuk mengangkat wilayah Sulsel dalam percaturan kebudayaan di Indonesia.
Sejarah bisa menjadi cermin bagi siapa saja untuk mengetahui dan memahami apa makna dari lintasan waktu yang telah lalu. Yang lampau tak pernah mati, dan akan selalu hidup dalam pemikiran yang selalu diusung oleh mereka yang mengingat memori sosial yang otentik tentang peristiwa yang lampau sebagai khazanah yang pernah mengisi kehidupan warga dan masyarakat di Sulsel.
ADVERTISEMENT
Maka dua kasus dari kaum elite yang telah menjadi bagian sejarah itu patut kita ingat, bahkan sangat wajib kita renungkan dalam kaitannya dengan praktik politik kebudayaan pada periode Gubernur belakangan ini.
Pertanyaan kita sekarang, kenapa penguasa lokal tak lagi memiliki rasa rikuh, rasa hormat kepada kaum seniman? Kenapa gagasan kaum seniman hanya dianggap sebagai pelengkap penderita dalam kaitannya dengan politik kebudayaan? Dan kenapa pula politisi dan Partai Golkar yang dahulu pernah menjadikan kesenian dan kebudayaan sebagai pelatuk strategis dalam pengembangan wilayah dan citra pembangunan Sulsel selalu mengaitkan dunia kesenian, kini hanya menganggap sebagai embel-embel dari acara seremonial yang bersifat turistik?
Marilah kita renungkan kenapa pula Dewan Kesenian Sulsel (DKSS) dan Dewan Kesenian Makassar (DKM) tak memiliki suara kritis kepada kebijakan penguasa lokal yang sewenang wenang kepada khazanah tradisi? Kenapa pula ketika Majelis To Manurung menyatakan deklarasi sementara DKSS dan DKM hanya berdiam diri?
ADVERTISEMENT
Dalam konteks inilah saya bersepakat dengan refleksi historis Prof. Sofyan Salam, bahwa posisi figur yang memiliki bobot pemikiran dan mampu menciptakan relasi politik dan bisa menciptakan kondisi kondusif yang ikut menentukan arah politik kebudayaan di Sulsel dan Makassar.
Jika perspektif dan analisa tentang figur ini kita sodorkan kepada posisi DKSS dan DKM, maka konklusi yang kita dapatkan bahwa pengelola kedua lembaga kesenian itu tak lagi sahih dalam pemikiran, dan tak juga memiliki keberanian moral untuk menyatakan diri. Belasan tahun terakhir posisi DKSS dan DKM sebagai lembaga perwakilan kesenian, nampaknya menjadi sumbu awal dari degradasi posisi kaum seniman, ketika elite pengelola kota dan daerah tak lagi memiliki rasa rikuh kepada kaum seniman. Bahkan kepala dinas suatu instansi bisa saja tak peduli kepada gagasan dan konsep kaum seniman yang dianggapnya hanya nyinyir sambil menyodorkan proposal.
ADVERTISEMENT
Saatnya kini kaum seniman membangkitkan dirinya dalam kaitannya dengan marwah dan martabat kesenian dan kebudayaan di Sulsel melalui praktik politik kebudayaan menjelang pilkada. Kaum seniman harus memiliki bargaining position. Dan hal itu hanya bisa dilakukan jika kaum seniman memiliki rasa hormat dan keberanian moral serta pemikiran visioner kepada khazanah tradisi yang telah menghidupi dirinya.