Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Meraba Politik Kebudayaan Prabowo
4 Oktober 2024 14:27 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Halim HD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam hitungan hari, dua minggu ke depan, pemerintahan baru akan menggantikan rezim yang selama dua periode telah mengelola negeri ini. Pergantian kekuasaan melalui pilpres menjadi faktor penting di dalam proses politik suatu negeri yang berusaha untuk menerapkan tatanan nilai demokrasi.
ADVERTISEMENT
Di antara perspektif politik praktis rezim yang terpilih, ada baiknya kita menguji pemikiran melalui berbagai pemaparan masalah. Salah satunya tentang kehidupan kebudayaan. Kini kita masih punya waktu untuk mempertimbangkan apa yang telah dikerjakan, dan apa yang akan dilakukan untuk masa yang akan datang dalam kaitan dengan rencana dan usaha untuk menguak program rezim yang akan datang.
Melalui suatu perbandingan, dan membaca struktur komposisi kabinet yang dilansir oleh kumparan beberapa waktu yang lalu, informasi tentang struktur kabinet antara 44-54 kementerian dan formasi, membuktikan suatu kompromi politik seperti yang telah diduga oleh kaum analis.
Tulisan ini mencoba meraba arah politik kebudayaan sehubungan dengan pemisahan Kementerian Kebudayaan dari Kemendikristek, dan Kementerian Pariwisata dengan Kementerian-Badan Ekonomi Kreatif. Ketiga instansi sangat kuat kaitannya dengan kehidupan kebudayaan.
Dua periode rezim Jokowi dalam politik kebudayaan yang kita saksikan, nampak dunia panggung menjadi taruhan utama. Panggung (staging) merupakan ruang bagi presentasi dan sekaligus pencitraan tentang kehidupan kesenian yang menjadi pelatuk strategis bagi suatu rezim untuk menyatakan diri, bahwa demokrasi dan kegembiraaan warga-masyarakat melalui ekspresi kesenian adalah ujian terpenting berkaitan dengan kondisi ekonomi dan politik.
ADVERTISEMENT
Ratusan festival setiap tahun diselenggarakan, dan tak terhitung kegiatan kesenian dalam berbagai jenis dan disiplinnya seperti teater, tari, musik, sastra, seni rupa, dalam perspektif tradisi, modern dan kontemporer, dari tingkat perdesaan, kabupaten, kota, provinsi, nasional dan internasional. Tak semua memang aktivitas itu berkat uluran birokrasi kebudayaan di daerah-kota atau dari pusat.
Itulah hal yang menarik. Ada daya dorong dan energi partisipatif yang bergairah dari komunitas, sanggar, grup kesenian untuk menghadirkan diri melalui ekspresi dengan mengusung tema yang spesifik. Hal ini membuktikan, betapa pentingnya menciptakan kondisi kondusif bagi kaum seniman yang dengan berdarah-darah hanya untuk menyatakan diri di hadapan publik.
Tentu kita juga menyaksikan banyak keluh kesah dan kritik kaum seniman tentang ruang publik kebudayaan yang menyusut, dan pada sisi lainnya ruang-ruang ekspresi juga dalam belitan birokrasi yang punya konsekuensi logis secara ekonomis: ruang tak bisa lagi gratis, sementara biaya produksi kesenian kian meninggi berkaitan dengan kebutuhan hidup kaum seniman.
ADVERTISEMENT
Inilah dampak otonomi daerah ketika elite lokal tak cukup memahami politik kebudayaan: bahwa investasi kebudayaan melalui politik ekonomi kebudayaan bukan sekadar dana terbuang, tapi lebih dari itu sebagai proses penanaman tatanan nilai dan sekaligus menciptakan basis produksi kebudayaan dalam kaitannya dengan dunia pariwisata dan ekonomi kreatif.
Membaca kondisi itu, sangat menarik apa yang dilakukan oleh Dirjenbud selama dua periode yang mencoba mengatasi hambatan birokrasi lokal yang dihadapi oleh kaum seniman. Melalui Indonesiana dan beberapa pendanaan taktis Dirjenbud melakukan terobosan yang sekaligus juga untuk menciptakan proses profesionalisme kaum seniman melalui penyaringan konsep dan gagasan. Walaupun kita masih bisa melihat proses ini banyak tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal itu berkaitan dengan program Indonesiana dan pendanaan lainnya yang tak didukung oleh pengelola yang kompeten dan tak cukup memiliki data dari basis riset lapangan.
ADVERTISEMENT
Secara umum praktik politik kebudayaan lumayan berjalan lancar termasuk di antaranya pelibatan kaum akademisi walaupun banyak di antara mereka lebih canggih membuat proposal ketimbang memahami masalah yang ada di lapangan. Catatan lain pembenahan birokrasi di lingkungan Dirjenbud dan pelibatan staf khusus lumayan membawa pengaruh kepada kerangka kerja tematik.
Tapi kasus, misalnya, Direktorat PTLK (Pembinaan Tenaga & Lembaga Kebudayaan), terasa kedodoran. Instansi yang begitu penting ini tak didukung oleh mereka yang sungguh memahami betapa pentingnya PTLK dalam konteks menciptakan infrastruktur sumber daya manusia (SDM) dan pembenahan organisasi kesenian dan kebudayaan yang berada di bawah naungan pemerintah maupun swasta di Indonesia.
Sementara Direktorat Film Seni, Pertunjukan dan Multimedia terasa selalu manggung, yang bikin cemburu PTLK. Sedangkan Museum dan Balai Pelestarian Arkeologi punya tugas berat untuk menjaga khasanah warisan budaya dalam kaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan pariwisata.
ADVERTISEMENT
Kementerian Kebudayaan pada pemerintahan Prabowo nampaknya akan meneruskan politik panggung yang sudah tercipta dan membawa citra. Semoga politik panggung kebudayaan ini bisa lebih canggih dalam mengelola data lapangan sehingga pengolahan data melalui jejaring yang ada bisa lebih maksimal untuk dikembangkan. Sebab, salah satu masalah di negeri ini adalah masalah data kebudayaan yang begitu melimpah namun menyebar dan tak terkelola dengan baik.
Hal itulah yang juga dihadapi oleh Kementerian Pariwisata. Sesungguhnya Kementerian ini bisa melakukan koordinasi informasi dan mendudukkan dirinya sebagai marketing dan distribusi informasi khazanah dan produksi kesenian. Jika kita melongok birokrasi pariwisata kita, dari tingkat pusat sampai dengan daerah-kota, masalah yang ada SDM pengelola data yang langka.
Kerepotan lain karena instansi pariwisata juga ingin naik panggung, maka sering lupa kepada tugasnya: menciptakan sistem produksi informasi dan mengemasnya secara canggih. Untung dunia pariwisata kita juga tak sepenuhnya tergantung kepada birokrasi pemerintah.
Badan Ekonomi Kreatif menjadi instansi yang sangat menarik jika dikelola oleh mereka yang betul-betul memahami bagaimana sistem produksi seni budaya dalam berbagai disiplinnya melalui penciptaan jaringan laboratorium kesenian. Laboratorium seni budaya ini bisa berupa komunitas, sanggar, grup, jejaring laboratorium yang bersifat regional itu bisa terhubung melalui dunia digital, dan menciptakan relasi dan dialog secara berkesinambungan.
ADVERTISEMENT
Dalam kaitan inilah Kementerian Kebudayaan, Pariwisata dan Badan Ekonomi Kreatif harus memiliki jalinan kuat untuk selalu berdialog, berbagi data dan bisa mengelolanya secara bersama dan merumuskan tematik dan sub-tematik untuk lima tahun ke depan. Sebab selama ini seperti sejak periode SBY sampai dengan Jokowi terjadi persaingan dan tumpang tindih tugas antara instansi kebudayaan, pariwisata dan ekonomi kreatif.
Menciptakan ekosistem kerja yang kondusif dan terbuka memang bukan gampang. Tapi usaha itu perlu dilakukan agar kehidupan kebudayaan yang bukan hanya menjadi fondasi tatanan nilai bagi kehidupan bangsa dan masyarakat, tapi juga secara politik ekonomi bisa dijadikan material penting bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan basis material kebudayaan yang sangat melimpah maka kompetensi dan profesionalisme dengan kerangka kerja yang canggih dan solid sangat dibutuhkan. Di situlah pentingnya pengembangan SDM pada tiga instansi yang satu sama lain kuat kaitannya dengan kehidupan kebudayaan.
ADVERTISEMENT