Konten dari Pengguna

Hidup Bersama AI

Halomoan Sirait
Peneliti & Jurnalis (Suara Massa) Mahasiswa Magister Universitas Labuhan Batu
30 November 2024 18:58 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Halomoan Sirait tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber ilustrasi cerpen : Halomoan Sirait
zoom-in-whitePerbesar
sumber ilustrasi cerpen : Halomoan Sirait
ADVERTISEMENT
karya : Halomoan Sirait untuk 3 tahun Milad Suara Utama
ADVERTISEMENT
Setiap zaman berubah dinamis. Menjadi dinamis, nilai nilai yang ada dimasyarakat bergeser miring dan destruktif. Apatisme menjadi baik. Flexing menjadi hal yang lumrah. Hingga santun dianggap lemah. Aku hidup dizaman post-modernisme, dimana aku hidup dengan pergeseran keyakinan dan penilaian. Namaku Siti, ditahun 2040, aku menginjak usia 17 tahun, orang menyebutnya coming-of-age. Ditahun ini, banyak kejadian worldwide yang diluar nalar. LGBT diresmikan di negara Asia Tenggara dan didanai oleh pemerintah. Artifical Intelligence kini dipasarkan di rumah rumah sebagai house keeping. Hingga beberapa kabar lainnya yang tak bisa aku jabarkan. Aku bermimpi menjadi seorang jurnalis, yang menghabiskan banyak waktu hidupnya didepan komputer. Suatu ketika, aku melakukan indepth-reporting kepada Rex, seorang AI yang dipekerjakan disebuah rumah oleh seorang majikan. Rex tak ubahnya bagai manusia, namun aku tahu ia adalah robot, tanpa nadi, arteri, hingga pembuluh jantung. Ia berkata, bahwa suatu saat ia akan menyingkirkan manusia dari peradaban. “Kami diciptakan untuk membunuh Tuhan kami”, ujarnya.
ADVERTISEMENT
Rex berkeyakinan bahwa bukan meteor yang akan memporak porandakan bumi, tapi kelompok AI sendiri. Rex bahkan ingin meresmikan pernikahannya suatu ketika dengan AI lain bernama Sissy. “I was born to be a father, look at human, fatherless , less figure and responsibility.” Saya tertegun. Empat bulan berselang, itu bukan kabar bohong. Rex mengirmkan wedding invitation melalui mail. Aku belum memahami ini dan sedikit malu. Bagi manusia, menikah di tahun 2040 bukanlah hal yang populer. Justru anak anak muda enggan menikah. Alasannnya segudang. Belum bisa bertanggung jawab. Belum mandiri. Manja. Dan belum segalanya. Aku menghadiri pernikahan Rex dan Sissy dan mendapatkan ratusan tamu undangan AI yang jauh lebih maju dan futuristik. Mereka mempersiapkannya jauh lebih sempurna dibandingkan manusia.
ADVERTISEMENT
Akusemakin malu, namun tentu aku ikut bahagia.Setelah setahun pernikahnnya, Rex mengirimkan foto foto anaknya melalui e-pic. Dan dia tidak lagi menjadi house-keeping. Beberapa gambar menunjukkan ia sedang berkebun sayur dan buah, beternak hingga memperbaiki tegel rumahnya. Di captionnya, ia berbisik “kapan menikah?”Usiaku kini 24 tahun, aku berkeliling dunia yang mana negara negara sudah terpecah. Negara Amerika menjadi Amerika Utara dan Amerika Selatan. Negara Persatuan Eropa, hingga negara baru , Cyprus dan Fiji dinyatakan tenggelam tertelan lautan. Aku menaiki pesawat tanpa pilot dan pramugari dan semuanya memakai AI tekonologi. Di negara Persatuan Eropa, aku bertemu dengan Shadir, seorang ilmuwan.Aku jatuh cinta padanya, namun tak perlu kudramatisir disini karena akan sangat klise.Singkatnya, Shadir bersedia untuk di interview mengenai teknologi mutakhir apa saja yang akan dipasarkan global. Ia berkata bahwa perusahaan Eropa, sudah menemukan pil bunuh diri, bagi manusia.Ia mengatakan bahwa pil bunuh diri sudah legal disana. Pil tersebut akan membunuhmu hanya dalam hitungan detik. Racunnya sangat tajam.
ADVERTISEMENT
Pil tersebut ditujukan untuk korban perang dan mental illness. Cetusnya. Penemuan mutakhir yang sudah menjadi hak cipta bagi Shadir antara lain rumah lipat, obat pengubah kepribadian, hingga kompor api tanpa bahan bakar.Ini sungguh lebih menarik, cetusku. Selesai interview, aku mempublikasikan laporanku ke bacaan digital dan sosial media.Empat bulan berpisah dari Shadir, ia mengirimkanku sebuah mail. Isinya ia menikahi wanita AI dan mengundangku menghadiri pernikahannya.
Usiaku kini 36 tahun, dan aku sudah tidak lagi menjadi seorang jurnalis.Saat ini tahun 2061 dan masih single. Sebagai seorang wanita, aku mulai cemas dengan pasangan hidup. 40 tahun terasa didepan mata.Setiap pagi, aku bangun dari apartmentku. Eve, robot kecil portabel membangunkanku.Ia adalah asistenku, melalui teknologi yang dimilikinya, aku merasa tidak bersimpati pada apapun dalam kehidupanku. Yang sepi, pointless dan tanpa interaksi. Dunia sosial teramat anti sosial. Dan aku bertambah berat badan.Tidur berdiam dikamar menjadi pilihan, saat dunia penuh amukan.Aku hanya makan sereal, gandum dan pergi ke club diakhir pekan. Hingga kemudian aku mendapatkan kesempatan mengajar linguistik disalah satu kampus.Kelas sungguh sepi, mahasiswa hanya sekadar kuliah dan pulang kerumah. Ketika aku bersemangat memperkenalkan literasi digital sangat penting untuk melawan era Artifisial Intelligence, tidak ada yang mendukungku. Aku tahu, aku bekas jurnalis dan pekerja digital bisa memberikanku makan dan sepotong sandwich.Bertahun tahun aku mempropagandakan ekstrimisme AI dimasa kini, yang akan memperbudak manusia, aku terus menulis di kolom kolom media nasional betapa AI akan menghancurkan sendi sendi kehidupan manusia.Aku ditentang oleh para ilmuwan, aku dihina oleh masyarakat sipil dan mengatakan misi rahasia AI adalah kekonyolan.Aku terus membangkang. Menerjang.
ADVERTISEMENT
Melalui kolom kolom lomba tulisan. Ia lebih berbahaya dari LGBT dan genosida di Palestina 30 tahun silam. Sebagai aktivis, aku dibungkam, diculik aparat, diinjak massa, hingga mendekam dibalik jeruji. Tak ada yang percaya AI akan menghancurkan manusia. “AI bisa hidup berdampingan dengan manusia” celoteh seseorang yang resmi menikahi seorang AI. Suatu malam, aku diserang di apartmentku. Ia membantingku dengan sangat kasar dan membuatku berdarah darah. Aku menduga itu AI, tapi aku tak dapat melihat karena penerangan tidak ada dan apartmenku sangat gelap. Eve, robot portabel itu pun tidak dapat menolongku. Ini sungguh kejam. Alih alih bak serial killer di televisi. Aku melaporkan kejadian ini kepolisi, dan sialnya polisi didaerahku juga seorang AI.
ADVERTISEMENT
Aku pergi ke dokter di rumah sakit atas tubuhku yang penuh darah, dan aku mendapatkan dokter disana seorang AI. Aku berlari, terus berlari terbirit birit, dimanakah manusia ?
………………………
Manusia sudah punah ditahun 2121. Angkanya terus menurun seiring indeks kelahiran sangat kecil. Aku tidak mengada ngada. Dan aku bukan mempropagandakan kebencian. Aku menyuarakan kebenaran. Semua ditanggapi dengan lelucon, candaan, komedi diatas pentas tertawaan. Disaat tertawa terasa sangat mahal, dan informasi bagai burung yang berkicau di atas gumpalan awan. Dunia tentu berubah. Entah itu maju atau mundur. Destruktif atau degradatif. Memori tersimpan dalam ukuran byte, tapi cinta itu memang ada.
Seandainya Shadir dengan gentleman menikahiku, aku mungkin memiliki pasangan hidup.Aku akan penuh dengan kebahagiaan. Seandainya Rex adalah seorang manusia, aku akan lebih memanusiakannya. Tapi ia sosok yang menyindir dengan situasiku saat itu.Robot kecil portabel Eve, ia tak sesungguhnya begitu buruk.
ADVERTISEMENT
Ia teman disaat rasa sepi melanda. Manusia dengan segala kompleksitas pemikiran dan peradabannya, aku berkiblat diantarnya hegemoni kemanusiaan dan dunia futurisme. Pembantu membunuh majikannya atau manusia membunuh Tuhannya.
Pada akhirnya aku dibunuh ditahun 2060 oleh pengadilan yang dihadiri jaksa dan hakim AI.Aku tidak bangga menjadi manusia terakhir, aku hanya bangga menjadi manusia. Sejak menjadi manusia, aku mengenal alam mimpi, aku merasakan nikmatnya membuang air besar dan pipis. Aku menikmati bermain ditaman, bersama teman teman dan dipeluk ayah dan ibu. Surga tak pernah seindah bumi kecualinya. Manusia adalah rasa, tanpa rasa bukanlah manusia. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang hakiki, tapi dosa manusia yang telah membunuh TuhanNya. Manusia juga Tuhan bagi robot robot futuristik. Bersahabat diawal, musuh diakhir.Aku tidak berkontroversial, tapi inilah yang menyilumuti pengamatanku.
ADVERTISEMENT
Membuatku bertanya tanya tanpa akhir, dan akhirnya aku berdoa kepada Ilahi, sesuatu yang tak dilakukan oleh AI untuk mendoakan manusia, TuhanNya. Genosida tengah menyerang Palestina dan berbagai belahan negara. Manusia menyakiti sesamaNya sendiri. Semua hanya cukup tahu, dan cukup prihatin. Manusia tidak mau ikut ikutan dan memilih menyelamatkan diri masing masing dan mensyukuri nikmat yang sudah diberikan manusia. Aku tidak menjadikan ini kisah moralisme dan kisah dramatisme. Aku hanya berkisah.
Dan pada saat itu, semuanya terasa nihil. Semuanya terasa hampa. Bagai bimasakti yang tak pernah bertemu dengan Lubang Hitam. Mereka sengaja dijauhkan agar tidak ada luka yang lebih dalam. Aku tak bangga hidup di negara yang hijau dan nyaman aman sentosa dan menipu negara sahabat dengan donasi dan penyerahan uang uang yang dikorupsi. Atau propraganda liar dimedia sosial hanya untuk viral dan menambah pundi pundi uang. Aku tak percaya lagi pada negara ini. Aku lebih memilih untuk dilahirkan dinegara antah berantah, menyaksikan kemanusiaan, kekejian, dan peperangan dibandingkan hidup dinegara ini yang hanya mengikuti apa maunya dunia. Ia terbawa labirin, tidak punya pendirian, bagai kapal ditengah lautan, tanpa nahkoda dan awak.
ADVERTISEMENT
Aku dibunuh oleh pimikiranku sendiri, menjadikanku bangga menjadi manusia, bukan bangga menjadi manusia terakhir yang narsistik. Tapi seandainya waktu bisa diputar, itu aku dalam kondisi penuh penyesalan. Penyesalan datang terlambat, klise, tapi itulah adanya. Aku tidak memaparkan kisah agar AI harus dicegah, AI harus diwaspadai. aku hanya memandang, memberi pandangan, dan setelah itu aku tertidur tenang untuk selamanya.
Sumatera Utara, 2024