Konten dari Pengguna

Gung Ahmad Tokoh Waskita Desa Aeng Panas

Hamdi
Hamdi Alumni PP. Annuqayah Guluk Guluk Sumenep Madura, Kini Aktif mengajar dan menulis di berbagai media Online. (Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. - Pramoedya Ananta Toer)
14 Februari 2024 18:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hamdi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Camera Samsung : Astah Gung Ahmad
zoom-in-whitePerbesar
Foto Camera Samsung : Astah Gung Ahmad
ADVERTISEMENT
Aeng Panas, Pragaan, merupakan berlabuhnya Gung Ahmad, salah satu tokoh waskita yang ada di Sumenep. beliau ditokohkan masyarakat sekitar, karena kealimannya serta kesabarannya.
ADVERTISEMENT
Areal astah yang berada diatas gunung membuat peziarahnya merasa tenang. Dipiggir astah terdapat beranekah pohon, salah satunya pohon kelapa, pohon pisang, dan ditengah-tengah astah terdapat pohon besar, penulis gak tau namanya.
Menurut juru kunci Astah, Penulis lupa namanya, bahwa astah ini di bangun Oleh Nyai Ramlah pengasuh Pondok Pesantren Karay. Menurutnya Pendiri PP. Karay masih termasuk dzurriyahnya.
Menurut Mantan Bupati Sumenep, Kiai Ramdan Siraj, beliau menjulukinya astah Nusantara. Sebab ada warga Malaysia yang nyekar atau berziarah. Anehnya lagi, sebagian peziarah membentuk sebuah perkumpulan di sejumlah daerah dan datang ke maqbarah saat malam Jum’at legi dan bulan Ramadhan.
Menurut Kiai Ma’mun, aliran keagamaan yang dianut oleh almarhum Gung Ahmad adalah Mazhab Syafi’iyah. Salah satu praktik spiritual yang dikenal di kalangan masyarakat adalah melibatkan diri dalam wiridan, seperti membaca shalawat Nabi dan surat Al-Ikhlas. Dikisahkan bahwa Gung Ahmad pernah melakukan perjalanan ke tanah suci dengan kemampuan berjalan di atas air.
ADVERTISEMENT
Salah satu warisan terkenal dari Gung Ahmad yang masih dikenang oleh masyarakat adalah suraunya (meskipun saat ini sudah tidak ada lagi) dan dua Al-Qur’an kuno yang ditulisnya dengan tangan.
Selain itu, nilai-nilai yang diwariskan kepada anak cucu dan santrinya termasuk kebiasaan untuk tidak tidur di tengah malam atau bangun pada tengah malam, rajin membaca shalawat Nabi dan surat Al-Ikhlas, serta kewajiban bagi anak keturunannya untuk mengajar.
Hal ini dianggap sebagai bentuk spiritualitas yang diwariskan kepada generasi berikutnya, seperti yang dialami oleh Kiai Muqaddas dan Kiai Zubairi Hasyim. Kedua tokoh tersebut mengaku pernah mendapat kunjungan spiritual dari Gung Ahmad melalui mimpi.
Di sisi lain, peninggalan dari generasi berikutnya termanifestasi dalam pendirian masjid kuno Al-Islah Bringin pada tahun 1943. Melalui masjid tersebut, berbagai kegiatan majlis ta’lim mulai bermunculan. Kiai Ma’mun dan ustadz M Su’udi Humaiz menyatakan bahwa petilasan atau batu besar yang menandai tempat tirakat Gung Ahmad kini terletak di masjid tersebut.
ADVERTISEMENT
Keputusan ini diambil karena Agung Rofi’at, anak angkat Gung Ahmad, tidak setuju dengan ide menjadikan tempat tersebut sebagai cagar budaya. Almarhum khawatir bahwa hal tersebut dapat menyimpang dari ajaran Islam. Saat ini, di masjid tersebut telah dibentuk kelompok dzikir yang dipimpin oleh Kiai Basyirah, Kiai Mahmudah, dan Kiai Munawar.
Astah ini tidak sepi pengunjung setiap harinya. Disana mereka mengaji Yasin, Tahlil serta membaca shalawat.
Sumber : Camera Hp Samsung- Jeding
Gung Ahmad memiliki keinginan untuk pindah dari Desa Pakamban Daya, Kecamatan Pragaan, tempat kelahirannya, dengan tujuan menyebarkan Islam di luar Madura. Dia memutuskan untuk menggunakan pelabuhan Aeng Panas sebagai jalur transportasi laut untuk menuju Jawa. Namun, karena keterlambatan dalam naik perahu, Gung Ahmad akhirnya tertinggal di pelabuhan tersebut.
ADVERTISEMENT
Keterlambatannya membuatnya menetap di Aeng Panas, di mana ia kemudian bertemu dengan Bhuju' To'eng, seorang warga China yang sudah lama menetap di sana. Pertemuan kedua tokoh ini menjadi panas karena Gung Ahmad ditantang untuk berdiskusi. Jika kalah, Bhuju' To'eng akan masuk Islam. Namun, kenyataannya, Bhuju' To'eng kalah dalam diskusi dan debat, dan akhirnya ia memenuhi janjinya dengan mengucapkan kalimat syahadat.
Sebagai hadiah kemenangannya, Gung Ahmad diberikan tanah dan diminta untuk mengurungkan niatnya pergi ke Jawa, tetapi malah menetap di desa yang terkenal dengan pemandian air hangatnya, yaitu Aeng Panas. Dari sana, Gung Ahmad memulai misi dakwahnya ke arah timur Aeng Panas, karena desa Prenduan memiliki masyarakat yang sangat kosmopolit.
Menurut cerita dari keturunannya, Gung Ahmad juga diamanahi oleh raja untuk menjadi imam di masjid kuno Sumenep yang berdekatan dengan keraton raja. Dia juga menjadi penasihat raja dalam segala keputusan yang berkaitan dengan hukum agama, karena kealimannya dalam ilmu bahasa Arab dan fiqih, ditambah lagi dengan ilmu laduni yang dimilikinya. Hubungan dekat ini terus berlanjut setelah kematiannya dan dilanjutkan oleh menantunya, Agung Mahmud bin Abd Karim (Babbalan Pasongsongan), hingga berakhir pada masa Bindara Saod.
ADVERTISEMENT
Kemampuan kealiman Gung Ahmad juga terlihat saat ia mengajar kitab kuning kepada santri di pesantren kecilnya. Bahkan, makhluk halus atau jin pun dikatakan turut menyimak ketika Gung Ahmad mentransfer ilmu pada santrinya. Setiap kali mengajar, makhluk ghaib tersebut muncul dalam bentuk hewan seperti ular, buaya, dan lain sebagainya. Semoga yang membaca ini teraliri ilmu beliau.