Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Air Kata Joko Pinurbo
27 April 2024 19:45 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Hamid Basyaib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
JOKO PINURBO bersedia tampil di acara “Wisata Sastra” di Jogja beberapa tahun lalu, dengan syarat: satu-dua nama penyair/cerpenis — yang ia duga akan diundang juga — tidak tampil.
ADVERTISEMENT
Jika orang-orang itu ikut muncul, katanya dengan datar, ia memilih untuk tidak berpartisipasi di acara yang digagas oleh kritikus Wicaksono Adi itu bersama sejumlah penulis Jakarta (saya sendiri hanya bertugas “mengawal” mereka; tanpa pengertian yang jelas tentang makna kata ini).
Acara itu terlaksana dengan baik, dan Jokpin tampil dengan bersahaja — dengan jaket krem lusuh, yang tampaknya sejak lama ia pakai siang-malam di mana saja. Suaranya pelan, dan ia membacakan puisi-puisi ringkasnya dengan datar, monoton, tanpa teriakan apa pun, tanpa memainkan ritme, jeda dan artikulasi, tapi kekocakan materi dan formulasi kalimat-kalimatnya berulang kali membuat penonton tertawa.
Kenapa ia tak sudi tampil di satu panggung dengan orang-orang yang ia sebut itu? Alasannya ia kemukakan dengan tegas dan ringkas, meski dengan kedataran suara tipikalnya: karya-karya mereka tidak bermutu, dan ia — meski sama sekali tak merasa karya-karyanya yang terbaik — tidak ingin kualitas karyanya terasosiasi dengan keburukan karya mereka, jika mereka tampil sepanggung.
ADVERTISEMENT
Ia bukan pengagum karya-karya peserta lain. Tapi, baginya setidaknya mereka terlihat berkarya dengan sungguh-sungguh; ada upaya untuk mencapai kualitas terbaik dalam puisi maupun prosa mereka.
Ia melihat kesungguhan itu sama sekali tidak tampak dalam karya-karya yang pembuatnya tak ia toleransi kemunculannya sepanggung dengan dirinya. Orang-orang ini, baginya, menulis karya dengan serampangan, jauh dari cerminan penghargaan terhadap kesastraan yang layak.
Ia menghargai ikhtiar, bukan hasil akhir. Bila hasil upaya itu bermutu, itu bonus yang menyenangkan. Tapi jika hasil akhir tak mencapai maksudnya, upaya yang terlihat jelas untuk meraihnya sudah cukup untuk dijadikan alasan guna menghargai si pembuat.
***
Jokpin adalah suara segar dalam persajakan Indonesia. Ia berupaya keras mencapai presentasi sesuai rukun klasik puisi: meraih formulasi pengertian emosional-kognitif semendalam mungkin dengan bahasa seringkas dan sepadat mungkin.
ADVERTISEMENT
Ia mengejar lapis dasar dan asal kata, lalu memadukannya dengan kata lain yang bukan “pasangan”nya, dan dengan itu ia menyajikan pengertian dan imaji-imaji yang kejutannya memaksa kita terdiam sejenak.
Maka, ada perempuan, seorang “sahabat malam”, yang “tekun mendengarkan hujan”, kemudian memainkan piano tua untuk seorang lelaki dan menyajikan “simfoni batuk” dan “nada-nada sakit” yang mengalun merdu sepanjang malam.
Keindahan — dengan definisinya sendiri, begitulah mungkin baginya — niscaya muncul dari konstruk semacam itu, bukan dari pengajuan kata-kata yang dirasa indah (dan seolah puisi wajib berisi kosakata yang berkualitas demikian).
Dengan menyidik dan mengusut makna kata, ia membongkar bunyi dan menggeser bahkan membalik pengertian lazimnya; ia bukan memburu kosakata baru atau langka — misalnya dengan menerapkan kata-kata Sansekerta, yang jarang digunakan dalam wacana publik sehingga terkesan canggih, arkaik dan filosofis.
ADVERTISEMENT
Jika untuk itu ia merasa perlu sedikit bergurau, tak mengapa. Dan ketika tendensi bergurau ini ternyata disukai penggemar puisi-puisinya, ia tampak semakin sengaja mengerahkannya.
Ia ikut membantu Romo Mangunwijaya mengembangkan eksperimen “dinamika edukasi dasar” di SD Mangunan, Karangmalang. Sebelumnya ia membantu Romo Dick Hartoko mengedit majalah “Basis” (dari sinilah ia mulai berani mengumumkan puisi-puisinya).
Tapi ia tak lulus dari seminari Mertoyudan, Jawa Tengah. Karena itulah Butet Kartaredjasa, salah satu dari sangat sedikit sahabatnya dan tempat ia berkeluh kesah, menjulukinya anggota “kopasgat”, komando pastur gagal total.
***
Dengan latar pendidikan dan pergaulan di lingkungan rohaniwan itulah tak mengherankan jika ia banyak menggarap tema-tema yang terkait agama. Namun, di sini pun ia tak meredam kenakalannya.
ADVERTISEMENT
Hari besar Paskah yang sakral ia plesetkan menjadi peristiwa pembuatan celana Yesus oleh ibunya. Seusai celana itu dijahit, sang ibu bertanya kepada puteranya, “Paskah?” — apakah celana itu pas di tubuh Yesus.
Frase baku “ibadah puasa” dimainkan bunyinya (dan dengan demikian pengertiannya) menjadi “ibadah puisi”. Maka ucapan standar “selamat menjalankan ibadah puasa” menjadi “selamat menjalankan ibadah puisi.” Ia selalu percaya gurauan sehat semacam ini adalah interupsi yang menyenangkan bagi pengikut, dan kesakralan agama tak perlu membuat para penganut sampai “tegang” dalam mengamalkannya.
“Di bawah kibaran bendera”, suatu frase nasionalistik yang heroik, dengan enteng digantinya menjadi “di bawah kibaran sarung”, judul sebuah puisinya yang ia jadikan judul salah satu antologinya.
Dan dengan pengubahan kata itu ia juga membalik makna kejayaan nasionalistik yang disiratkan dalam frase tersebut menjadi ironi hidup di sebuah komunitas miskin di “kampung kumuh di mana penyakit, onggokan sampah, sumpah serapah, mayat busuk, anjing kawin, maling mabuk, piring pecah, tikus ngamuk, timbunan tinja adalah tetangga.”
ADVERTISEMENT
***
Ia juga menulis sejumlah cerita pendek, yang kemudian dibukukan menjadi kumpulan. Di sini ia sulit disebut berhasil — agaknya senasib dengan penyair Sapardi Djoko Damono yang juga coba-coba menulis cerpen.
Terkesan kuat bahwa ia menulis cerita sebagai penyair — disadari atau tidak, ia mempertahankan langgam lazimnya dalam menulis puisi; tetap berusaha mencapai formulasi kalimat padat dan siratan-siratan puitis, membuat ceritanya tak mudah dicerna dengan lancar, meski isi ceritanya sendiri gampang dipahami.
Tendensi melucu dalam cerpen-cerpennya tetap hadir. Dalam sebuah cerita, narator sempat berkata (setelah ia meminta sesuatu kepada karakter bernama Subagyo): “Jangan lupa disampaikan ya, Su.”
Tentu saja semua orang tahu bahwa seseorang yang bernama Subagyo (atau Subroto, Sudarto, dsb) tidak dipanggil dengan “Su.” Tak salah lagi: ia mau menyiratkan “Su” sebagai penggalan “asu” — suatu makian lazim di Jogja yang semakin menjadi ungkapan kejengkelan atau kemarahan yang bersahabat dan bernada kocak.
ADVERTISEMENT
***
Ia rupanya bertekad menjadikan perpuisian sebagai jalan hidupnya. Ketika profesi kepenyairannya tidak mungkin diandalkannya untuk membiayai rumah tangganya, ia bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan buku di Jakarta.
Beberapa tahun kemudian, ia yang selalu gelisah dan canggung dalam bergaul, kembali ke kampung halamannya di Wirobrajan, Jogja. Barangkali ia tak tahan harus tiap hari mengedit teks orang-orang lain yang baginya ditulis dengan buruk.
Rupanya ia akhirnya memilih untuk rela mengorbankan penghasilan tetap yang lumayan daripada konstan tersiksa karena harus menghadapi naskah-naskah jelek. Ia kembali sepenuhnya menekuni puisi, dan mungkin sambil mengupayakan nafkah hidup dengan mengerjakan hal-hal lain.
Karya-karya barunya, yang sekali-sekali saya baca, memunculkan kesan bahwa ia semakin asik mengejar efek ironis-komedial dengan permainan kata-kata yang mirip bunyinya tapi sangat berlainan artinya — dan dalam hal ini kemampuannya sungguh mengagumkan; temuan-temuannya sering mencengangkan. Tetapi harga yang harus dibayarnya cukup mahal: bangunan formulaik puisinya cenderung prediktabel, dan ini tak terelakkan mendiskon efek kejutnya.
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan terakhir saya cukup sering mendapat kiriman fotonya saat ia sedang dirawat. Berulang kali ia sakit-sembuh untuk komplikasi beberapa penyakitnya. Tulang tubuh dan lengannya terlihat menonjol. Wajah kurusnya yang pucat semakin cekung, dengan lubang hidung yang konstan ditempeli selang nafas.
Terakhir, dua hari lalu, “minyak suci” yang diolesi oleh seorang pastur yang berusaha ikut merawatnya tampaknya tak berdampak. Ia berakhir di kampung halamannya dalam usia 61.
Segera saya teringat saat ia, beberapa tahun lalu, gelisah terhadap gejala menguatnya pembelahan bangsa karena isu agama (yang bersumber perbedaan preferensi politik). Penggalan puisinya tepat mewakili perasaan kita, dengan kesederhanaan kata-kata tipikalnya. Ia menulis:
apa agamamu?
agamaku adalah air yang membersihkan pertanyaanmu
Philipus Joko Pinurbo telah mengajari kita sebentuk cara memandang dunia dengan ketajaman yang menggetarkan — suatu ketajaman yang tak berkurang hanya karena ia menyuarakannya dengan kalem dan nada berbisik. ***
ADVERTISEMENT