Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Polyester si Primadona dalam Fast Fashion, Kain atau Plastik?
2 Desember 2024 11:16 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Hanifah Alif Putri Ferdy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fast fashion telah menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup modern di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia. Dengan menawarkan produk berharga terjangkau dan desain yang selalu mengikuti tren terkini, berbagai merek global seperti Zara, H&M, dan Uniqlo, serta brand lokal seperti Colorbox, This is April, dan Cottonink, berhasil mendominasi pasar fesyen domestik. Keberhasilan ini tidak lepas dari pemanfaatan bahan utama yang sangat populer dalam produksi mereka: polyester. Serat sintesis ini dikenal karena sifatnya yang ekonomis, tahan lama, dan mudah diproduksi. Bahan ini sering dipilih untuk berbagai produk mulai dari pakaian hingga aksesori, karena mampu memenuhi kebutuhan produksi massal yang cepat dengan biaya rendah, sekaligus menawarkan daya tahan yang tinggi untuk berbagai keperluan.
ADVERTISEMENT
Apa Sebenarnya Polyester dan Mengapa Bahan ini Menjadi Primadona dalam Industri Fast Fashion?
Polyester adalah serat sintetis yang berasal dari Polyethylene terephthalate (PET), bahan yang sama digunakan dalam pembuatan botol plastik. Keunggulannya dibandingkan serat alami seperti katun atau wol adalah ketahanan terhadap kusut, daya tahan tinggi, dan umur pakai yang lebih panjang. Karakteristik ini menjadikannya pilihan utama bagi industri fast fashion yang membutuhkan material dengan biaya produksi rendah namun tetap serbaguna. Selain ekonomis, polyester juga memungkinkan produksi pakaian dengan beragam tekstur, warna cerah, dan desain menarik yang disukai konsumen muda, khususnya generasi Milenial dan Gen Z yang terus mengikuti perkembangan tren mode.
Dampak Penggunaan Masif Polyester pada Lingkungan
Sayangnya, tidak banyak yang menyadari bahwa popularitas polyester yang berbahan dasar plastik ini memiliki konsekuensi besar terhadap lingkungan. Proses produksinya tidak hanya memerlukan energi besar tetapi juga menghasilkan emisi karbon tinggi yang memperburuk pemanasan global. Menurut penelitian dari Lawrence Berkeley National Laboratory, emisi global dari produksi plastik, termasuk polyester, diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2050, mencapai 6,78 gigaton CO2. Ini setara dengan emisi lebih dari 1.700 pembangkit listrik tenaga batu bara. Proses produksi polyester yang melibatkan ekstraksi minyak bumi, pemurnian, dan polimerisasi memerlukan energi tinggi dan menghasilkan emisi karbon yang besar. Proses pencetakan juga memerlukan suhu tinggi yang biasanya diperoleh dari pembakaran bahan bakar fosil.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pembuangannya membawa dampak signifikan bagi lingkungan karena polyester membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai secara alami. Setiap tahunnya, jutaan ton limbah tekstil berbahan polyester berakhir di tempat pembuangan akhir atau mencemari ekosistem, termasuk lautan. Lebih parah lagi, ketika dicuci, pakaian berbahan polyester melepaskan mikroplastik yang sulit terdeteksi namun dapat mencemari rantai makanan melalui kehidupan laut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Riset Oseanografi Institut Pertanian Bogor (IPB), sekitar 70% bagian tengah Sungai Citarum tercemar mikroplastik, yang sebagian besar berasal dari serat benang polyester. Mikroplastik ini tidak hanya mencemari air tetapi juga mengancam kehidupan biota perairan dan kesehatan manusia.
Upaya yang Dapat Dilakukan
Penggunaan polyester yang masif dalam industri fast fashion menjadikannya salah satu kontributor utama krisis limbah global, memperburuk situasi yang sudah kritis akibat konsumsi berlebihan, rendahnya kesadaran konsumen, dan sistem pengelolaan sampah yang kurang memadai di banyak negara, termasuk Indonesia. Limbah tekstil berbasis polyester tidak hanya mencemari daratan tetapi juga menciptakan masalah besar di lautan. Di Indonesia, kondisi ini semakin diperburuk oleh kurangnya infrastruktur daur ulang tekstil, yang menyebabkan sebagian besar pakaian bekas berakhir di tempat pembuangan akhir atau bahkan dibakar, memicu polusi udara dan kerusakan lingkungan yang lebih luas. Jika tren ini terus berlanjut tanpa intervensi yang signifikan, krisis limbah polyester dapat berdampak serius pada keberlanjutan lingkungan global maupun lokal.
ADVERTISEMENT
Kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat diperlukan untuk menghadirkan solusi yang menyeluruh. Pemerintah dapat berperan dengan memberlakukan regulasi yang lebih ketat terkait limbah tekstil, mendukung inovasi bahan ramah lingkungan, serta menyediakan infrastruktur daur ulang yang lebih baik. Misalnya, pengenalan pajak karbon untuk produsen besar atau insentif untuk perusahaan yang beralih ke produksi berkelanjutan dapat menjadi langkah awal. Selain itu, pendidikan kepada masyarakat tentang dampak fast fashion dan cara mengelola pakaian bekas juga perlu digalakkan melalui kampanye publik yang masif.
Industri tekstil di Indonesia mulai menunjukkan respons terhadap isu limbah polyester dengan menerapkan prinsip ekonomi sirkular. Beberapa merek lokal, seperti Semilir Ecoprint, menggunakan bahan daur ulang atau teknik ramah lingkungan dalam produksi mereka. Selain itu, kampanye seperti ‘Tukar Baju’ yang diinisiasi oleh Zero Waste Indonesia mendorong konsumen untuk mendonasikan pakaian layak pakai agar dapat digunakan kembali, mengurangi limbah yang berakhir di TPA. Langkah-langkah seperti ini tidak hanya membantu mengurangi jejak limbah tetapi juga membuka peluang inovasi bisnis berkelanjutan yang semakin diminati pasar.
ADVERTISEMENT
Konsumen memiliki peran besar dalam mendorong perubahan. Kesadaran untuk memilih produk yang lebih ramah lingkungan, membeli pakaian berkualitas yang tahan lama, dan mendukung mode berkelanjutan (slow fashion) dapat memberikan tekanan kepada industri untuk lebih bertanggung jawab. Mengurangi kebiasaan membeli pakaian secara impulsif juga dapat membantu menekan permintaan produksi besar-besaran yang menjadi inti dari masalah fast fashion. Selain itu, masyarakat dapat berpartisipasi dalam gerakan daur ulang dan memperpanjang umur pakaian mereka dengan mendonasikan pakaian bekas atau mengubahnya menjadi barang baru melalui upcycling.
Polyester memberikan keuntungan ekonomi besar dalam fast fashion, tetapi dampaknya terhadap lingkungan sangat signifikan. Di Indonesia, rendahnya kesadaran konsumen dan kurangnya pengelolaan limbah tekstil memperburuk masalah ini. Langkah bersama diperlukan melalui inovasi industri, perubahan perilaku konsumen, dan kebijakan pemerintah. Mari menjadi konsumen bijak dengan membeli sesuai kebutuhan, mendukung mode berkelanjutan, dan mengelola limbah pakaian dengan lebih bertanggung jawab untuk masa depan yang lebih hijau.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Agustin, A. A., & Bastaman, W. N. U. (2022). Pengembangan Desain Pakaian Outerwear Sebagai Penunjang Aktivitas Komunitas Strong Nation Di Kota Bandung. Moda, 4(2). https://doi.org/10.37715/moda.v4i2.2083
https://www.detik.com/bali/berita/d-6411119/mengenal-bahan-polyester-jenis-hingga-kelebihannya
https://betahita.id/news/detail/10155/emisi-produksi-plastik-bakal-melonjak-tiga-kali-lipat-pada-2050.html?v=1713906133
https://ekonomisirkular.id/newsideas/fenomena-fast-fashion-waste:-meninjau-pendekatan-ekonomi-sirkular-dalam-industri-tekstil
https://zerowaste.id/siaran-pers/tukarbaju-sebuah-kampanye-dan-solusi-akan-sampah-fesyen-dan-limbah-tekstil-di-indonesia/